SANGGAH KAWITAN
SIRA ARYA GAJAH PARA
BRETARA SIRA ARYA GETAS
DI BANJAR BANDA
DESA TAKMUNG KLUNGKUNG
OLEH:
IR. PUTU JANUAR
ARDHANA
KLUNGKUNG
2004
K a t
a P e n g a n t a r
Om, Swastiastu
Puji Syukur penulis panjatkan kehadapan Ida
Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat Asung Wara Nugrahanya,
penulis dapat menyelesaikan tulisan ini. Penulisan tentang “Sanggah/Merajan
Kawitan Sira Arya Gajah Para Di Banjar Banda” sebenarnya didasari karena sampai
saat ini belum ada yang bisa dipakai pedoman tentang Fungsi Pelinggih dan Pula Pali rikala Odalan,
Purnama, Tilem, Kajang Kliwon atau Rainan yang lainnya. Kalau toh ada pedoman,
itu hanya merupakan cerita lisan dengan
dasar hukum “Mule Keto”,walaupun
mule keto bukan berarti salah tetapi belum tentu benar.
Maka itu, penulis memberanikan diri untuk
menulis buku ini yang bahan dan sumbernya penulis dapatkan dari banyak sumber,
termasuk pengelingsir Pretisentana Sira Arya Gajah Para yang ada di Klungkung.
Tetapi sebagai pokok tulisan adalah rontal dan catatan-catatan kecil yang ada
di rumah penulis,
Maka itu, di dalam kesempatan ini penulis mengucapkan
banyak terimakasih kepada yang terhormat :
1. Ida Pedanda Gede Mas Diatmika. Beliau jenek di Geria Perean Kediri Tabanan, Beliau
merupakan Nabe, bahkan segalanya bagi penulis.
2. Ratu Kakiang, Ida Bagus Ketut Kaler, Geria Sanur, Beliau adalah
orang yang paling penulis hormati selama ini.
3. Ida Bagus Upadana. Geria Sanur, merupakan penuntun spiritual penulis
4. Ida Bagus Abian. Geria Batur Sari Kesiman
5. Ida Bagus Rai Darmawijaya. Geria Renon
6. Ida Bagus Agung Dharma Putra Pemaron. Geria
Agung Mandhara Pemaron Munggu
7. Ida Bagus Gede Tarmiana. Geria Manuaba Jalan
Gadung
8. Ketut Wija. Banjar Taensiat Denpasar
9. Bapak Wayan Sirna. Banjar Banda Takmung Klungkung
10. Almarhum Bapak Wayan Genah. Desa Kusamba
Klungkung
11. Ir. Nyoman Warnata, MT. Dosen Teknik
Universitas Warmadewa
12. IBG. Budayoga. Geria Kapal Badung
13. Pengelingsir Sira Arya Gajah Para seperti, Guru
Sukanta Wahyu di Sengkiding, Mangku Nama di Desa Tegak, Guru Ketut Rawu di Desa
Bebandem, Ketut Winaya Di Banjar Pangi
14. A.A.Ayu Ratih Dewi, isteri penulis yang setia
menemani dalam duka maupun suka
Penulis Menyadari, tulisan ini masih jauh
dari sempurna, maka itu, kritik dan saran
sangat penulis perlukan dalam setiap saat, guna
memperbaiki isi maupun format tulisan ini dimasa mendatang
Akhirnya, semoga tulisan ini
berguna bagi pembaca, terutama bagi generasi muda Sira Arya Gajah Para.
Om, Santi, Santi, santi, Om
Klungkung, 9 Agustus 2004
Penulis
Ir.
Putu Januar Ardhana
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
BAB. I SELAYANG PANDANG
A. Pendahuluan
B. Selayang Pandang
Tentang Banjar Banda
C. Selayang Pandang
Tentang Sanggah/Merajan
D. Fungsi Sanggah/Merajan
BAB. II LETAK
DAN
PENYUNGSUNG
SANGGAH/MERAJAN KAWITAN
SIRA ARYA GAJAH PARA
A. Letak Sanggah/Kawitan
B. Pengemong
C. Piodalan
D. Pemangku
BAB. III BENTUK DAN FUNGSI
PELINGGIH
A. Utama Mandala/Jerowan
B. Madia Mandala
C. Nista Mandala/Pawongan
D. Palemahan/Tebe
BAB. IV PELAKSANAAN PIODALAN
DAN BANTEN SANE MUNGGAH
DI SETIAP PELINGGIH
A. Pelaksaan Piodalan
B. Banten Sane Munggah Rikala Odalan
C. Banten Sane Munggah Rikala Purnama dan
Tilem…….
D. Banten Sane Munggah Rikala Kajang Kliwon
E. Banten Sane Munggah Rikala Tumpek Pengatag
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
SANGGAH KAWITAN
SIRA ARYA GAJAH PARA
DI BANJAR BANDA KLUNGKUNG
BAB I
PENDAHULUAN
Om, Awighnemastu Nama Sidem
A. Selayang Pandang Tentang Sanggah/Merajan
Para pembaca yang penulis hormati, sebelum penulis menghaturkan segala sesuatu tentang Sanggah/Merajan Kawitan Sira Arya Gajah Para ini, ijinkanlah penulis menghaturkan sembah sujud kehadapan Ida Sanghyang Aji Saraswati dan Bhatara Bhatari yang melinggih di Sanggah/Merajan Kawitan Sira Arya Gajah Para ini. Mudah-mudahan Beliau asung Kertha Wara Nugraha kepada penulis serta para damuh-damuh beliau yang ingin mengetahui lebih jauh tentang Sanggah/Merajan Kawitan Sira Arya Gajah Para ini. Khususnya tentang Fungsi Pelinggih dan Pula-Pali yang berlaku pada setiap Odalan, Purnama, Tilem, Kajang Kliwon dan Tumpek Pengatag.
Seperti diketahui sampai sekarang, pedoman baku tentang keberadaan merajan atau Sanggah Kawitan Sira Arya Gajah Para yang ada di Banjar Banda Klungkung ini, terutama tentang fungsi pelinggih dan pula pali yang dilaksanakan setiap odalan atau pada hari hari penting agama hindu. Sehingga didalam setiap pelaksanaannya selalu memakai pedoman mule keto atau apa yang mereka tahu, sehingga pelaksanaannya menjadi tidak jelas dan berbeda setiap saat.
Disamping itu, masalah nama pelinggih atau apa fungsinya serta siapa yang berstana di sana, tentulah tidak semua orang mengetahui.
Hal ini karena minimnya bacaan tentang Merajan atau Sanggah, khususnya Merajan atau Sanggah Kawitan Sira Arya Gajah Para. Maka itu, penulis merasa tergerak untuk menulis tentang Merajan/Sanggah ini, walaupun pengetahuan tentang itu sangatlah terbatas. Tetapi berdasarkan keyakinan, Ida Lelangit pasti akan memberikan restu dan tuntunannya, maka dengan besar hati penulis memberanikan diri untuk menulisnya. Apalagi sekarang sudah banyak diterbitkan buku-buku tentang Agama Hindu, khusunya mengenai Agama Hindu di Bali.
Sekali lagi Penulis yang kebetulan merupakan keturunan Pemangku Jan Banggul di Sanggah/Merajan ini, dengan penuh rasa sujud bakti mohon ampun kehadapan Bhatara Bhatari yang melinggih ring Sanggah/Merajan Kawitan Sira Arya Gajah Para ini. Karena Damuh Bhatara Bhatari, berani menulis dan menyebut-nyebut nama Bhatara-Bhatari. Tetapi tujuan penulis tiada lain hanya ingin berbakti, agar para damuh Bhatara Bhatari lebih mengenal tentang Sanggah/Merajannya. Semoga setelah mereka mengenal lebih dekat tentang Sanggah/Merajannya, para Damuh Beliau di masa-masa mendatang akan lebih sujud dan berbakti lagi.
B. Selayang Pandang Tentang Banjar Banda
Banjar Banda merupakan Banjar yang cukup Indah dan Tenang dengan letak yang memanjang dari Utara ke Selatan. Banjar Banda merupakan salah satu Banjar yang ada di Desa Dinas Takmung. Sedangkan Desa Dinas Takmung terdiri dari beberapa banjar seperti misalnya, Banjar Takmung Kangin, Banjar Takmung Kawan, Banjar Banda, Banjar Sidayu Kangin, Banjar Sidayu Kawan, Banjar Lepang, Banjar Umesalakan dan Banjar Losan, yang terbagi menjadi 5 Desa Adat, yaitu Desa Adat Takmung, Desa Adat Lepang, Desa Adat Umasalakan, Desa Adat Sidayu Kawan dan Desa Adat Sidayu Kangin. Desa Adat Takmung terdiri dari Banjar Takmung Kangin dan Kawan, Banjar Losan dan Banjar Banda. Sebagai konsekwensinya sebagai anggota Desa Adat, maka Banjar Banda ini juga sebagai pengempon Pura Puseh, Pura Dalem dan Pura Bale Agung atau Pura Kahyangan Tiga.
Tetapi di Banjar Banda sendiri juga ada sebuah Pura yang sangat dibanggakan oleh Warganya yaitu Pura Suralaya. Seperti di Ketahui, Suralaya ini adalah tempat bersemayamnya Bhatara Indra yang sering disebut Indra Loka. Maka itu, Pura Suralaya ini pun diyakini oleh seluruh Anggota Banjar Banda merupakan tempat Bersemayamnya Bhatara Indra. Sedangkan tempat Pura Suralaya ini, konon merupakan tempat menginapnya Raja Klungkung/Dalem Klungkung pada saat menginfeksi Balayudha Ida ketika perang melawan Balayudha Gianyar. Sedangkan kisah berdirinya Pura Suralaya ini, juga ada beberapa versi. Maka itu, untuk sementara ini penulis belum berani menuliskannya disini.
Sebagai peringatan, tonggak berdirinya pura Suralaya ini, terus diperingati sampai sekarang, yaitu Anggar Kasih Medangsia dalam bentuk Piodalan. Piodalan di Pura Suralaya ini berlangsung selama 3 hari, atau nyejer selama 3 hari.
Mata Pencaharian masyarakatnya sebagian besar adalah di Bidang Pertukangan, sehingga darah seni sudah mengalir semenjak lama. Maka itu tidak mengherankan kalau dari Banjar ini lahir seorang Maestro Seni yang sudah sangat terkenal ke Manca Negara yaitu seorang pelukis yang bernama Nyoman Gunarsa. Sebagai rasa bangga terhadap Banjarnya ini, maka beliau mendirikan sebuah Museum Seni. Bahkan museum ini, sekarang menjadi semacam Identitas bagi Banjar Banda.
Banjar Banda ini tepatnya terletak 4 Km di Barat Kota Klungkung, yang dibatasi oleh, Batas-batas geografis. Sebelah Utara adalah Banjar Penasan (Desa Tihingan), Di Bagian Barat adalah Sungai Kerincing atau sering disebut Tukad Bangka, Di Selatan Desa Adat Umasalakan dan Sebelah Timur adalah Banjar Takmung.
Menurut para tetua dan sesepuh Banjar Banda, dulunya Banjar Banda ini menjadi bagian dari Banjar Takmung. Tetapi karena sesuatu hal, maka pada tahun 1940 an, Banjar Banda menjadi Banjar tersendiri. Pada Tahun 1980 an anggota Banjar Banda berkisar antara 70 sampai 75 Kepala Keluarga. Sedangkan saat ini jumlah anggota Banjar Banda ini sudah mencapai kira-kira 100 Kepala Keluarga.
Sedangkan Kisah dan Sejarah, bagaimana terbentuknya Banjar Banda ini masih banyak versi. Sebab sampai saat sekarang, penulis belum menemukan bukti otentik, baik berupa tulisan maupun bukti-bukti lain, tetapi hanya berupa cerita dari beberapa orang tua, itupun beragam adanya. Maka itu, penulis tidak berani mencamtumkan disini, entah mana yang benar.
Khusus Keluarga Besar Sira Arya Gajah Para yang ada di Banjar Banda ini berasal dari Banjar Pangi Desa Pikat, Kecamatan Dawan Klungkung, yang pada mulanya terdiri dari 3 Kepala Keluarga.
C. Selayang Pandang Tentang Sanggah/Merajan
Agama Hindu Mengenal empat jalan untuk memuja dan menghubungkan diri dengan Tuhan atau Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam berbagai manipestasinya. Empat jalan itu disebut dengan istilah Catur Marga, yaitu Bhakti Marga, Karma Marga, Jnana Marga, dan Yoga Marga. Di antara empat marga tersebut, Bhakti Marga dan Karma Marga merupakan ajaran yang paling dominan dilaksanakan. Dalam pelaksanaan ajaran ini, terkait beberapa unsur yang paling berhubungan antara lain, kelompok umat yang melaksanakan Yadnya (Yajamana), Unsur Rohaniawan yang bertugas muput yadnya, Tempat Suci untuk memuja Tuhan dan mempersembahkan Yadnya, pedewasaan atau pemilihan hari baik untuk melaksanakan yadnya dan unsur-unsur lain yang mendukung.
Dalam rangka melaksanakan Bhakti dan Karma Marga, umat Hindu yang terhimpun dalam ikatan sosial tertentu, memiliki kewajiban masing-masing. Misalnya dalam ikatan terkecil, yaitu dalam satu kesatuan keluarga, memiliki Sanggah atau Pemerajan masing-masing.
Pemerajan/Sanggah adalah suatu tempat yang disucikan dan merupakan tempat pemujaan yang di sungsung oleh minimal satu keluarga atau oleh kelompok keluarga dari satu garis keturunan.
Dilihat dari segi istilah, kedua kata itu berasal dari bahasa Sansekertha, yaitu Raja yang juga disebut Rajan yang secara umum berarti Raja, yaitu sebutan atau gelar Kepala Pemerintahan dari suatu system Pemerintahan Kerajaan dan merupakan jabatan yang mulia atau dimuliakan.
Timbul tradisi dan kebiasaan bilamana menyebut seorang Raja yang didahului dengan kata penghormatan seperti misalnya dengan kata yang Mulia. Kata Rajan dalam bahasa sansekertha kemudian memperoleh awalan ma lalu menjadi Marajan, yang bermakna tempat memuliakan dan memuja, yang dalam hal ini untuk memuliakan dan memuja arwah suci para Leluhur terutama anggota keluarga yang sudah tiada dan sudah bersih. Sedangkan kata Sanggah berasal dari kata Sanggar yang secara harfiah berarti Kuil atau Sangga dalam kaitan kata Anangga yang berarti memegang tinggi-tinggi atau juga bermakna menjungjung atau memuja.
Selanjutnya Merajan atau Sanggah yang memiliki pelinggih (bangunan suci), dapat dibedakan menjadi empat kelompok berdasarkan jumlah pelinggihnya yaitu,
1. Tri Lingga
Merajan atau Sanggah yang terdiri dari 3 (tiga) pelinggih yaitu Kemulan, Taksu dan Tugu yang biasanya disebut Paibon dan merupakan penyungsungan bagi keluarga satu rumah tangga.
2. Panca Lingga
Merajan atau Sanggah yang terdiri dari 5 (lima) bangunan pelinggih, yaitu Kemulan, Taksu, Tugu (Pengerurah), Pelik Sari dan Gedong yang biasanya disebut Panti dan sungsung oleh beberapa keluarga atau oleh anggota Paibon.
3. Sapta Lingga
Merajan atau Sanggah yang terdiri dari 7 (tujuh) bangunan suci yang terdiri dari Kemulan, Taksu, Tugu, Pelik Sari, Gedong, Catur dan Menjangan Seluwang dan biasanya disebut Dadia yang disungsung oleh anggota Panti dan Paibon
4. Ekadasa Pepeking Dewata
Merajan atau Sanggah yang terdiri dari 11 (sebelas) bangunan pelinggih yaitu, Kemulan, Taksu, Tugu, Pelik Sari, Gedong, Catu, Menjangan Seluwang, Pesaren, Limas Sari, Lurah, Padma dan disebut Dadya Agung yang disungsung oleh anggota Dadia, Panti dan Paibon.
Sedangkan Wiana dalam Bukunya yang berjudul “Bagaimana Umat Hindu Menghayati Tuhan”, dikatakan Pura untuk keluarga dalam pekarangan rumah di sebut Kemulan. Pura untuk tingkatan keluarga yang lebih besar yang memiliki pelinggih dan Gedong Pretiwi disebut Merajan Gede atau Sanggah Gede. Sedangkan Untuk pemujaan bagi tingkatan kelompok yang lebih besar lagi disebut Pelinggih Ibu. Yang lebih besar lagi disebut Pura Panti. Jenis pura yang tergolong Pura Kawitan ini juga sering disebut Pura Dadia dan Pura Batur (bukan Pura Ulun Danu Batur di Kintamani)
Tempat lokasi Merajan atau Sanggah biasanya di arah Hulu pekarangan rumah bersangkutan, sesuai dengan konsep Tri Hita Karana.
Maka itu, dalam setiap rumah keluarga Hindu, terdapat Parhyangan, Palemahan dan Pawongan.
1. Parhyangan
yaitu genah Pitra Puja yaitu tempat suci untuk menghormati serta memuliakan dan memuja arwah suci nenek moyang atau leluhur, yang sekarang dikenal dengan sebutan Merajan atau Sanggah. Di Merajan atau di Sanggah ini disungsung para leluhur dari keluarga bersangkutan, maka itu keluarga dari keturunan lain tidak patut untuk bersembahyang di Sanggah dari keluarga lain.
2. Palemahan,
yaitu kakuwub muwang sadaging pekarangan ialah tanah pekarangan dimana dibangun rumah sebagai tempat pemukiman yang sekarang dikenal dengan nama Pekarangan Rumah.
3. Pawongan
yaitu Sang Adruwe Karang yaitu pemilik tanah pekarangan, rumah dan semua isinya yaitu penghuni rumah tersebut.
Sedangkan masing-masing pekarangan rumah dibedakan menjadi 3 bagian, yaitu Merajan atau Sanggah, Perumahan, dan Tebe.
Merajan, Sanggah atau Pemerajan adalah pengertian yang diangkat dari realitas religius yaitu sebagai tempat pemujaan yang dianggap suci dan ditujukan kepada roh suci leluhur dan kemudian ditujukan pula kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Perlu diketahui bahwa, pemujaan roh suci leluhur di Bali bukanlah pengaruh Hindu dari India tetapi telah ada jauh sebelum pengaruh itu masuk ke Bali. Konsepsi religi yang berwujud pemujaan leluhur adalah unsur asli Bali atau bahkan di Indonesia ini. Berdasarkan bukti-bukti arkeologis, dapat di lacak semenjak jaman neolitik, kurang lebih 2500 sebelum masehi sampai dengan jaman Perunggu. Pemujaan leluhur pada jaman itu diwujudkan dalam bentuk bangunan teras piramid, menhir dan sarkopagus yang dapat diketemukan di beberapa Desa-Desa, seperti Desa Sembiran, Tenganan Pegringsingan, Gelgel dan lain-lain. Setelah datangnya pengaruh Hindu di Indonesia pada permulaan abad masehi, maka terjadilah perpaduan dalam pemujaan menurut agama Hindu. Yaitu Antara pemujaan Roh Suci Leluhur (Bhatara-Bhatari) yang asli Bali dengan pemujaan sinar Tuhan (Dewa-Dewi) pengaruh dari India.
Dari beberapa sumber dikatakan, pencetus gagasan dan konseptor pelinggih suci Sanggah atau Merajan adalah Empu Kuturan atau Mpu Rajakrete. Gagasan ini dicetuskan pada jaman pemerintahan Raja Cri Gunapria Dharmapatni/Udayana (Dharmodayana) Warmadewa, yang dinobatkan menjadi raja di Bali pada tahun saka 910 (tahun 988 masehi). Gagasan ini kemudian dituangkan dalam pustaka lontar berjudul ”Ithi Prakerthi”. Di dalam perjalanannya, tempat suci untuk memuja arwah suci nenek moyang atau leluhur ini diberi istilah Sanggah atau Pemerajan.
Sebagai masyarakat Hindu Di Bali, keberadaan Sanggah atau Merajan, adalah merupakan sesuatu hal untuk melaksanakan Dharma selaku keturunan terhadap nenek moyang atau leluhur.
Bahkan sudah merupakan Bisama antara lain berbunyi ”Apabila kamu lupa dan lengah terhadap Kahyanganmu (Sanggah, Pura Kawitan atau Pedarman), mudah-mudahan tidak menentu jalan hidupmu, banyak halangannya, hana kene hana keto, giat bekerja tetapi kurang makan, tidak henti-hentinya cekcok di dalam keluarga dan selamanya merasa gundah”.
Bahkan dalam Kekawin Ramayanan yang merupakan sastra agama yang memuat tentang penghayatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan ajaran ajarannya. Bahkan menurut penulis kekawin ini merupakan kArya sastra yang benar benar sempurna, sebagai penuntun kehidupan umat manusia menuju hidup sempurna, juga memuat tentang pemujaan terhadap leluhur.
Pada sargah I.3, misalnya disebutkan “Gunamantta Sang Dasaratha, Wruh Sira Ring Weda, Bhakti Ring Dewa, Tar Malupeng Pitra Puja, Masih Ta Sireng Swagotra Kabeh” yang artinya sbb, Sang Dasaratha mempunyai Pikiran yang sangat jernih dan hati yang budiman, beliau juga sangat memahami isi Kitab Suci Weda, Yang diterapkan sehari-hari untuk memuja Tuhan, tetapi beliau juga sangat memuja Leluhurnya, Bahkan beliau juga mendidik dan sangat menyayangi seluruh keluarganya. Maka itu, Bagi seorang Hindu, pemeliharaan tempat-tempat suci seperti sanggah, adalah merupakan sesuatu yang merupakan keharusan, salah satunya adalah menyelenggarakan Upacara Piodalan. Maksud dari Piodalan adalah, peringatan hari kelahiran suatu Pura atau bangunan suci yang biasanya berpatokan pada saat pemendeman pedagingan.
Odalan ini dilaksanakan 6 bulan sekali atau setahun sekali. Tujuan Piodalan ini adalah untuk memelihara dan menjaga secara spiritual kesucian suatu tempat pemujaan sehingga tetap dapat dijadikan tempat memuja Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam berbagai manifestasinya, karena Banten yang digunakan saat Piodalan ada yang berfungsi sebagai Penyucian.
Dari jaman dahulu, orang Bali di dalam melaksanakan agamanya selalu berdasarkan gugon tuwon, sehingga mereka tidak pernah bertanya kenapa begitu, kenapa begini, apalagi melakukan protes. Mereka tidak mau tahu apakah yang mereka lakukan itu benar apa salah. Tetapi dari pengamatan penulis ada 2 hal kenapa mereka begitu?. Yang pertama mereka merasa apa yang diterima dari pendahulunya adalah benar. Yang kedua, karena mereka tidak tahu. Hal ini bisa dimengerti karena sumber yang dapat dipakai acuan atau pedoman pada waktu itu sangat minim. Misalnya buku-buku hampir tidak ada, apalagi orang-orang yang pintar pada waktu itu sangat kikir untuk menurunkan kepintarannya. Mereka selalu berlindung di bawah Kalimat, Ayue Were, yang mereka terjemahkan tidak boleh diketahui oleh umum. Dengan perkembangan Jaman dan adanya pendidikan modern yang mengajarkan orang berpikir kritis, maka mulailah timbul pertanyaan-pertanyaan akan kebenaran pelaksanaan ajaran Agama yang berdasarkan sastra, tidak lagi mule keto.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, penulis mencoba menulis buku ini, agar Pretisentana Gajah Para yang ada di Banjar Banda, dapat melaksanakan Pula-Pali yang benar di Sanggah Kawitannya, sesuai dengan sastra agama dan bukan benar karena mule keto
D. Fungsi Sanggah/Pemerajan
Semenjak Dahulu Umat Hindu, khususnya yang ada di Bali selalu melaksanakan ajaran dan kewajiban Agamanya sesuai yang diterimakan oleh leluhurnya, yang di Bali disebut dengan istilah Gugon Tuwon. Yang artinya melaksakan apa yang diturunkan tanpa bertanya apa gunanya, atau apa sebabnya. Tetapi dengan kemajuan jaman, yang disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya anak-anak sekarang sudah lebih cerdas, lebih terbuka karena era Globalisasi, ingin tahu, maka mulailah timbul pertanyaan-pertanyaan akan pelaksanaan ajaran Agama yang benar, termasuk Fungsi Sanggah atau Merajan.
Memang untuk memberikan jawaban yang memuaskan tentunya sangatlah sulit. Jangankan memberikan jawaban tentang Fungsi, pertanyaan tentang apa perbedaan Merajan dan Sanggah saja masih banyak persi. Ada yang mengatakan Sanggah Bahasa Halusnya Merajan, ada yang mengatakan Sanggah adalah Merajan masih dalam bentuk sederhana yang terbuat dari Turus lumbung atau canggah. Sedangkan Merajan sudah dalam bentuk permanen, karena sudah di Rajah, sehingga istilah menjadi merajah atau Merajan.
Dalam kata lain, Sanggah yang sudah merajah disebut Merajan. Maka itu, apa Fungsi Merajan atau Sanggah tentulah memerlukan penelitian yang mendalam, sehingga hasilnya dapat memberikan jawaban yang memuaskan.
Tetapi yang jelas Menurut I Gede Sura, Sanggah atau Merajan adalah merupakan tempat Pemujaan yang erat hubungannya dengan ajaran Ketuhanan di Bali.
Maka itu penulis sangat tidak setuju kalau ditempat-tempat tertentu di buat Sanggah atau Padmasari, kalau tidak disembahyangi. Kasus seperti ini penulis temukan di rumah-rumah orang non Hindu atau di rumah-rumah yang khusus dikontrakkan, sehingga tempat pemujaan di tempat itu tidak pernah di sembahyangi, dan hanya sebagai pajangan.
Maka itu, Kesimpulannya Sanggah atau Merajan adalah tempat memuja Bhatara Siwa dalam berbagai aspek, terutama dalam aspeknya sebagai Mulajadi. Karena Sanggah atau Merajan adalah tempat pemujaan keluarga, maka Bhatara-Bhatari yang dipuja disanalah yang paling diyakini dan paling berpengartuh terhadap seluruh tatanan kehidupannya. Sehingga apabila ada keluarga yang kehidupannya tidak baik, misalnya sering sakit, gagal dalam usaha, atau tidak rukun dalam keluarga, maka hal yang pertama dilakukan adalah melaksanakan tugas yadnya yang benar di Sanggah atau Merajan.
Jadi jelaslah betapa pentingnya Fungsi dan Kedudukan Sanggah atau Merajan bagi umat Hindu di Bali, terutama Sanggah Kemulan atau Sanggah Rong Tiga.
BAB II
LETAK DAN PENYUNGSUNG
SANGGAH PAIBON KAWITAN
SIRA ARYA GAJAH PARA
A. Letak Sanggah
Sesuai dengan konsep Tri Hita Karana, maka dalam setiap rumah Keluarga Hindu di Bali, biasanya akan terbagi menjadi 3 bagian, yaitu Parhyangan (Utama Mandala/Hulu), Pawongan (Madya Mandala) dan Palemahan (Nista mandala).
Pada dasarnya melatakkan Sanggah di Bali ada 2 cara yaitu di Hulu (Kepala) dan di Arep (muka). Sedangkan yang disebut Hulu juga ada 2 paham, ada yang menganggap gunung sebagai hulu, tetapi ada yang memakai terbitnya matahari sebagai hulu. Sedangkan Arep adalah memakai Margi Agung/Jalan sebagai kiblat.
Sedangkan yang disebut Hulu atau Kepala pekarangan rumah adalah, arah Timur dan Utara. Arah Timur karena merupakan asal dari kehidupan atau kelahiran, karena dari arah inilah matahari mulai terbit. Sedangkan ke Adya berarti ke arah Gunung.
Dalam pandangan umat Hindu, para Dewa dianggap berstana di puncak Gunung. Maka itu arah Ke Adya dan Kangin (Purwa) dianggap sebagai tempat yang paling suci dari setiap areal tanah, maka itu Kaja Kangin dianggap sebagai Hulu. Beberapa sumber mengatakan Kaja berasal dari kata Ke Ja yang berasal dari bahasa Sanskertha yang bermakna kelahiran dan berkiblat kepada aliran air sungai. Seperti diketahui hulu sungai selalu berasal atau lahir dari gunung dan muaranya di laut (lod)
Sedangkan yang disebut Arep adalah Muka. Maka itu, kalau meletakkan sanggah memakai konsep arep ini, maka letak sanggah sesuai dengan letak pekarangan. Kalau Pekarangan menghadap ke Barat, maka letak sanggah biasanya di Barat Daya, atau pekarangan yang menghadap ke Selatan maka letak sanggah biasanya di Tenggara. Kalau pekarangan ini dipersonipikasikan seperti manusia, maka sanggah itu adalah kepala, pekarangan adalah badan, sedangkan tebe adalah kakinya. Maka itu, luas Sanggah atau Pemerajan ini biasanya 1/9 dari luas Pekarangan. Kalau pekarangannya seluas 9 are, luas sanggah atau pemerajan biasanya 1 are, sisanya biasanya akan dipakai tebe.
Sedangkan Konsep Tri Mandala juga membagi tempat suci menjadi tiga, yaitu Jeroan, Jaba Tengah dan Jabaan. Di Jeroan hanya ada pelinggih dan tempat dan ruang untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa. Di Jaba Tengah biasanya berisi balai-balai untuk segala kesenian yang bernapaskan agama hindu atau untuk segala kegiatan yang berhubungan dengan pelaksanaan agama. Sedangkan di Jabaan biasanya berisi balai serba guna atau tempat bahan yang akan digunakan kegiatan agama ataupun pura. Seperti dikatakan oleh Wiana, Pura ini sebenarnya merupakan lambang Bhuana Agung secara Horizontal. Jaba sisi melambangkan Bhur Loka, Jaba tengah melambangkan Bhuwah Loka dan Jerowan melambangkan Swah Loka. Maka itu, Pura ini dapat dikatakan sebagai proyeksi dari alam semesta, stana atau linggih Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Konsep inilah yang menyebabkan Pura sebagai tempat suci, dan bukan semata mata sebagai tempat sembahyang.
Tetapi dari pengamatan penulis, Sanggah-sanggah yang ada pada umumnya terdiri atas dua halaman, yaitu Jabaan dan Jerowan. Sedangkan Jerowan adalah tempat semua pelinggih uttama berada. Antara Jerowan dan Jabaan akan dihubungkan oleh sebuah pintu masuk yang biasanya berbentuk Gelung Kori. Sedangkan antara Jabaan dengan luar pura akan dihubungkan oleh Candi Bentar. Candi bentar ini sebenarnya merupakan simbolis dari pecahnya Gunung Kailase sebagai tempat Dewa Siwa untuk bertapa.
Untuk Sanggah Kawitan Sira Arya Gajah Para yang ada di banjar Banda ini memakai konsep Hulu dan Arep. Maka itu, Sanggah Kawitan Gajah Para ini terletak di Kaja Kangin atau di bagian Utama Mandala dari Pekarangan. Tetapi juga Karena kebetulan Pekarangan rumah berada dibarat jalan, sehingga konsep Hulu dan Arep semuanya terpakai. Sedangkan Luas Sanggah ini adalah sekitar 100 meter persegi (lihat denah) atau 1/9 (sepersembilan) luas pekarangan.
Sedangkan Jumlah Pelinggih yang ada di Jerowan (Utama Mandala) Sanggah Kawitan Sira Arya Gajah Para di Banjar Banda ini adalah 10 buah, yaitu
1. Utama Mandala
a. Jerowan
(1) Padmasari/Sanggaran
(2) Meru Tumpang Kalih (2)
(3) Ibu, Gedong Pejenengan
(4) Sapta Petala/Dasar
(5) Gedong Sari/Taksu Sari
(6) Sanggah Kemulan/Rong Tiga (3)
(7) Pengerurah
(8) Bale Pepelik/Pengaruman
(9) Piasan
(10) Sanggah Rong Kalih (2).
b. Jabaan
Ada 2 Apit lawang
2. Madia Mandala
Yang dimaksud Madia Mandala adalah di bagian Pawongan atau tempat perumahan. Adapun pelinggih yang ada di bagian Pawongan ini adalah
a. Tugu Pengijeng Karang (Pojok Kaja kauh)
b. Tumbal/Sedaan Ajaga-Jaga (Samping Kiri Pintu Keluar Masuk)
3. Nista Mandala/Palemahan/Tebe
Palemahan ini sering disebut Tebe yang biasanya berada di bagian barat atau selatan pekarangan. Di Bali, Tebe merupakan daerah yang dipakai untuk memelihara hewan dan menanam pohon-pohonan atau sebagai tempat pembuangan termasuk pembuangan sampah. Maka itu, mendengar kata Tebe, akan terbayang suatu tempat yang kotor.
Tetapi Tebe yang ada di rumah ini justru terdapat sebuah pelinggih Tugu berbentuk Padmasari.
Khusus pelinggih ini piodalannya jatuh pada Tumpek Pengatag dan pelaksanaan odalan harus sebelum Matahari tenggelam.
B. Pengemong
Sampai saat ini Tanggal 19 Juli 2004, sanggah Kawitan Sira Arya Gajah Para yang ada di Banjar Banda ini di Sungsung oleh 7 Kepala Keluarga, yaitu, Keluarga Wayan Sirna, Putu Januar Ardhana, Made Sudana, wayan Sarjana, Wayan Semendra, Made Suwantra, Komang Kasih Nurjaya.
C. Piodalan
Piodalan di Kawitan Gajah Para ini adalah 6 bulan sekali, yang jatuh pada Buda Cemeng Kelawu, dan nyejer hanya sehari saja.
D. Pemangku
Pemangku di Kawitan ini adalah
Nama : Wayan Sirna
Alamat : Banjar Banda,
Desa Takmung, Klungkung
Pekerjaan : Guru
BAB. III
BENTUK DAN FUNGSI PELINGGIH
A. Utama Mandala/Jerowan
1. Sanggaran/Padmasari
Padmasana sebenarnya merupakan konsep yang dianjurkan oleh Dang Hyang Dwijendra sebagai purohita kerajaan waktu itu. Pada jaman Mpu Kuturan pemujaan serta penghayatan lebih ditekankan pada manifestasi Tuhan sesuai dengan fungsinya masing masing. Hal ini dilakukan karena sesuai dengan daya nalar umat pada waktu itu yang belum begitu tinggi. Bahkan kegiatan pelaksanaan agama masih berpusat pada kerajaan, sehingga pada jaman itu pemujaan dewa dewa sebagai manifestasi Tuhan lebih menonjol. Tetapi tidak demikian halnya ketika Dang Hyang Dwijendra datang ke Bali. Daya nalar umat nampaknya sudah meningkat, sehingga selain tetap melakukan pemujaan dewa dewa, Dang Hyang Dwijendra juga mulai menekankan pada pemujaan Sang Hyang Widhi sebagai Sang Hyang Tunggal.
Umat pada waktu itu sudah dapat memahami bahwa dewa dewa itu pada hakekatnya adalah “Sinar Suci Tuhan” atau Prebawa Sang Hyang Widhi Wasa. Jadi keesaan Tuhanlah yang ditekankan. Semenjak itulah di bangun Padmasana sebagai bangunan budaya agama. Dapat dikatakan Padmasana itu merupakan media untuk mengajarkan umat agar meyakini, bahwa Sang Hyang Widhi Wasa itu benar benar Esa adanya.
Sanggaran/Padmasari Merupakan Padma yang terdiri dari 3 bagian yaitu kaki (tepas), Badan (batur), Kepala (sari). Padmasana dalam bentuk utamanya dilengkapai dengan Bedawang Nala, Garuda dan Angsa.
Dari pengamatan penulis, penempatan Padmasari di Bali ada tiga cara yaitu di Utara menghadap ke Selatan, di Timur menghadap ke Barat dan di Timur Laut menghadap ke Barat Laut.
Beberapa sumber mengatakan, penempatan padma ini sebaiknya tegak lurus dengan mata arah angin. Sesuai dengan arah terbit dan terbenamnya matahari. Terbitnya matahari melambangkan mulainya kehidupan, dan terbenamnya matahari menandakan berakhirnya kehidupan.
Juga karena kebiasaan sembahyang kita, biasanya tegak lurus dengan arah mata angin. Jarang sekali kita sembahyang mengarah kepojok (bucu). Inilah yang menyebabkan jarang sekali ada pelinggih yang tidak tegak lurus dengan arah mata angin.
Tetapi penempatan Padmasari di Kawitan Gajah Para ini mengambil tempat di Utara menghadap Ke Selatan dan bertempat di Timur Laut (kaja Kangin). Sumber lain mengatakan, timur menunjukkan kesucian, selatan menunjukkan keberanian, barat menunjukkan kekuatan, dan uttara menunjukkan kejujuran.
Dalam buku “Himpunan Keputusan” Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek Aspek Agama Hindu I-XV, dikatakan Padmasana ini dapat dibedakan berdasarkan Letak/lokasi dan berdasarkan rongnya (rongga), yaitu
a. Berdasarkan Lokasi
Berdasar lokasi kardinal, selaras dengan arah konsep pengider ider Buana, terbagi dalam 9 buah, berdasarkan Lontar Wariga Catur Wisana Sari, Rontal Asta Kosala Kosali, Rontal Asthabhumi, yaitu
(1) Padmakencana
Apabila Padma ini bertempat di Timur menghadap ke Barat
(2) Padmasana
Adalah Padma yang bertempat di Selatan menghadap ke Uttara
(3) Padmasana Sari
Adalah Padma yang bertempat di Barat menghadap ke Timur
(4) Padmasana Lingga
Adalah Padma yang bertempat di Uttara menghadap
ke Selatan
(5) Padma Asta Sedana
Adalah Padma yang bertempat di Tenggara menghadap
ke Barat Laut
(6) Padmanoja
Adalah Padma yang bertempat di Barat Daya menghadap
ke Timur Laut
(7) Padmakora
Adalah Padma yang bertempat di Barat Laut
menghadap ke Tenggara
(8) Padmasaji
Adalah Padma yang bertempat di Timur Laut
menghadap ke Barat Daya
(9) Padma Kurung
Adalah di Tengah-tengah me-rong tiga mengahadap ke Lawangan
b. Berdasarkan Rong
(ruang) dan Pepalihannya (tingkatan undag) dapat dibedakan menjadi
(1) Padmasana Anglayang,
Apabila Padma ini me-rong 3 (beruang tiga),
mempergunakan Bedawang Nala dengan Palih 7 (tujuh)
(2) Padma Agung,
Apabila Padma ini me-rong 2 (dua)
mempergunakan Bedawang Nala dengan Palih lima 5 (lima).
(3) Padmasana,
Apabila Padma ini me-rong satu,
mempergunakan Bedawang Nala dengan Palih 5 (lima)
(4) Padmasari,
Apabila Padma ini me-rong 1 (satu) dengan Palih 3 (tiga)
yaitu Palih Taman (bawah), Palih Sancak (tengah)
dan Palih Sari (atas) dan tidak mempergunakan Bedawang Nala.
(5) Padmacapah,
Apabila Padma ini me-rong 1 (satu), dengan palih 2 (dua)
yaitu Palih Taman dan Palih Capah (atas) dan tidak
mempergunakan Bedawang Nala
Tetapi Padma yang ada di kawitan Sira Arya Gajah Para ini tidak dilengkapi dengan Bedawang Nala, maka itu penulis sebut Padmasari atau sering disebut Sanggaran. Padmasari ini terbuat dari campuran batu paras dan batu bata merah. Secara umum, Padmasari ini dapat di bagi menjadi tiga bagian yaitu, dasar bangunan, badan bangunan dengan pepalihan, dan bagian atas.
Pada bagian atasnya terbuka seperti kursi sedangkan pada tebing mahkotanya dipahatkan lukisan gambar Sanghyang Acintya (Sanghyang Licin).
Fungsi utama Padmasana ini adalah tempat memuja Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa.
Tetapi Padmasari dan Padmacapah dapat ditempatkan menyendiri dan berfungsi sebagai penghayatan/penyawangan. Karena pada waktu upacara pamelaspasan kedua padma ini hanya memakai pedagingan ring sor (bagian bawah), dan ring luhur (bagian puncak).
Agar padma-padma lain sebagai stana Hyang Widhi (Siwa) itu menjadi suci dan utuh, pedagingannya akan diisi dan ditempatkan pada bagian dasar, tengah dan puncak (ring sor, ring madia, ring puncak). Pedagingan ini terdiri dari unsur lima logam yaitu, emas, perak suasa, besi dan tembaga. Termasuk juga batu mulia seperti mirah. Semuanya itu disebut dengan istilah Panca Datu. Benda ini adalah niasa sarat konsep filosofis. Setelah dipuja oleh Sang Wiku menjadi suci.
Sanggah Kemulan/Sanggah Rong Tiga
Sebuah tempat pemujaan baru dapat dikatakan sanggah atau merajan apabila sudah memiliki minimal 3 pelinggih atau disebut Tri Lingga, yaitu Kemulan, Taksu dan Pengerurah. Selain itu, letak pelinggih dalam sebuah merajan juga ada aturannya. Pelinggih Kemulan dan Pengerurah terletak di timur menghadap ke barat karena merupakan Catur Parahyangan. Disamping itu, Pelinggih Pengerurah akan selalu berada disebelah kiri kemulan.
Sedangkan pelinggih taksu disebelah kanan menghadap keselatan. Pelinggih Taksu akan selalu berada di sebelah Uttara menghadap keselatan, semua ini disebabkan Pelinggih Taksu merupakan pelinggih Sad Kahyangan. Sad Kahyangan merupakan simbul dari Gunung, sehingga Pelinggih Taksu selalau berada di Uttara. Sehingga gabungan ketiga pelinggih ini akan membuat sudut, mengarah Kaja Kangin.
Kemulan merupakan bangunan pokok pada Sanggah atau Merajan. Kemulan atau Pelinggih Rong Tiga terletak di bagian Timur menghadap ke Barat.
Hal ini sesuai juga dengan fungsi Kemulan sebagai tempat untuk memuja atau memuliakan Leluhur
Leluhur bagi umat Hindu di Bali adalah di anggap sebagai cikal bakal dari Pretisentana. Makanya Kemulan akan diletakkan di arah Timur. Seperti diketahui Timur itu adalah Kangin yang di dalam bahasa Kawi disebut Purwa. Kata Purwa berarti asal atau permulaan. Maka itu Pelinggih Kemulan di tempatkan di Timur sebagai perlambang cikal bakal atau permulaan dari pertisentana.
Dalam Rontal Purwa Gama dikatakan, ketika Sang Hyang Iswara dijadikan guru di Medang Kamulan oleh manusia. Segala sesuatu yang diberikan oleh Sang Hyang Iswara dapat diterima dengan baik. Mereka pun diberikan bahasa seperti dalam sloka sruti di dalam kitab suci Weda. Itulah sebabnya ada pesan Sang Hyang Iswara kepada orang-orang Medang Kemulan, bahwa setelah menamatkan pelajaran, mereka disuruh membuat sanggar Kemimitan berlobang tiga, menghadap ke barat, sebagai tempat suci Brahma, Wisnu Iswara. Kemudian dinamakan Guru Kemulan, semenjak dahulu hingga sekarang. Karena di Medang Kemulan asal mulanya dulu, sehingga sekarang dinamakan Sanggar Kemulan.
Disamping itu, terbitnya Matahari juga dianggap sebagai dimulainya aktifitas kehidupan di bumi, dan kenyataannya Matahari selalu terbit dari Timur dan tenggelam di Barat. Maka itu, arah terbitnya Matahari di anggap sebagai permulaan dari segala kehidupan, termasuk permulaan kehidupan manusia. Pada kenyataannya, ketika umat Hindu merayakan Hari Raya Saraswati. Puja Saraswati sebagai lambang Ilmu Pengetahuan dilaksanakan di pagi hari Ketika Matahari baru terbit dari arah Timur. Ini sebagai perlambang Lahirnya Ilmu Pengetahuan.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Sanggah Kemulan ini dibuat di Timur menghadap Ke Barat.
Variasi bentuk Kemulan pada umumnya ada 3 bentuk yaitu, Turus Lumbung, Kemulan Penegteg (Kemulan Tanpa Banjah) dan Kemulan Jajar (Memakai Banjah).
Kemulan dengan turus hidup (turus lumbung) hanya bersifat sementara. Kayu atau turus yang dipakai sebaiknya memakai kayu sakti atau kayu Dapdap.
Kemulan Turus Hidup ini sebaiknya hanya dipakai beberapa waktu saja. Ini bermakna sebagai sarana untuk berfikir, apakah tanah yang ditempati ini mau ditempati terus apa untuk sementara.
Kalau punya keinginan nantinya akan menjual tempat ini, sebaiknya kemulan tidak dibuat permanen, cukup memakai turus lumbung. Sehingga ketika tanah ini di jual, Kemulan tidak ikut terjual. Tetapi kalau sudah mempunyai ketetapan hati, bahwa tanah ini akan ditempati selamanya, maka sebaiknya Kemulan dibuat permanen.
Kemulan Penegteg (Kemulan tanpa banjah, tidak meanda), biasanya dipakai oleh yang membuat saja. Artinya apabila keluarga ini nantinya mempunyai anak dan apabila anak ini kawin maka keluarga baru ini harus membuat Kemulan baru lagi. Maka itu, penulis seringkali menjumpai satu keluarga mempunyai banyak Kemulan di dalam satu Pemerajan atau satu sanggah. Letaknya bahkan tidak hanya menghadap ke Barat, tetapi ada yang menghadap ke Selatan atau ke Timur karena kekurangan tempat
Sedangkan Kemulan Jajar (Kemulan meanda, memakai 2 tiang pada mukanya). Kemulan ini dapat dipakai oleh seluruh anggota keluarga. Maka itu, bagi keluarga yang sudah mempunyai kemulan Jajar atau Kemulan meanda, setiap keluarga baru tidak perlu lagi membuat Kemulan-Kemulan baru.
Pembagian dasar dari Kemulan adalah sebagai berikut, Batur (babataran), Sari dan Atap. Ketiganya ini dapat diharmoniskan sebagai Kaki, Badan dan Kepala. Bagian Babatarannya berbentuk segi empat panjang, dibuat agak tinggi. Pada bagian pojoknya dipahat hiasan karang asti (hiasan sudut yang berbentuk Gajah).
Di bagian atas babataran ini didirikan bagian Sari dari Kemulan yang konstruksinya dibuat dari kayu. Bagian ini juga dibagi menjadi 3 bagian yaitu Kaki (lepitan), badan dan atap.
Bagian Badan ini dibagi menjadi 2 bagian yaitu bagian atas dan bawah. Bagian atas dari badan ini dibagi atas tiga ruangan (rong) yang ditempatkan dalam posisi berjajar. Sedangkan bagian bawahnya hanya terdiri dari satu ruang yang pada bagian mukanya terbuka lebar
I Gede Sura, mengatakan Fungsi Sanggah Kemulan adalah, dipakai atau untuk memuja Bhatara Siwa sebagai Sang Mulajadi dalam ujudnya sebagai Tri Murti. Sebagai Sang Mulajadi penyungsungnya itu, para leluhur dan hakekat leluhurnya itu adalah Bhatara Siwa. Maka itu yang disembah melalui tempat pemujaan pamerajan kemulan adalah Sang Hyang Atma yang telah mencapai alam kedewataan. Tujuan utama menstanakan roh suci leluhur di kemulan adalah agar keturunan dapat menyembah roh suci leluhur. Karena amat mulialah pahala orang yang bakti kepada leluhur. Kalau kurang bakti kepada leluhur, apalagi tidak menstanakan di kemulan, maka kesengsaraan hiduplah yang akan dialami. Hal ini ditegaskan dalam lontar Purwabhumi Kamulan.
Daksina palinggih Sang Dewa Pitara di stanakan di kamulan, kalau laki-laki di stanakan di ruangan bagian kanan, sedangkan perempuan distanakan di ruangan bagian kiri. Di sana bersatu dengan Dewa Hyang yang terdahulu, oleh Sang Wiku diberikan puja jaya-jaya, dan disembah oleh semua warga keturunannya.
Begitulah cara-cara berbakti kepada leluhur, sebab kalau tidak selesai upacara untuk Dewa Pitara, Sang Pitara akan berkeliaran tidak dapat tempat, karena tidak ada tempat yang pasti, maka disalahkanlah keturunannya, sehingga keturunannya ini akan tertimpa penyakit karena disakiti oleh Dewa Pitaranya. Inilah yang menyebabkan keturunannya akan menderita penyakit-penyakit eneh yang tidak bisa diobati menurut ketentuan Usada.
Misalnya tingkah laku yang tidak patut, gila-gilaan, organ dalam rusak, ayan, murung, sakit ingatan. Bahkan dapat menyebabkan sangat boros, sehingga kekayaan habis tanpa sebab dan selalau merasa kurang makan dan minum. Maka itu, makna menstanakan dan memuja leluhur di Kamulan adalah untuk mendapatkan kerahayuan hidup. Oleh karena itu, pemerajan atau sanggah dapat dikatagorikan bukan sebagai tempat pemujaan untuk umum, tetapi tempat pemujaan untuk keluarga dan keturunan saja. Tetapi dalam beberapa sumber, penulis juga dapatkan fungsi kemulan adalah untuk memuja atau memuliakan Roh Suci Leluhur yang sudah bersatu dengan Dewa, maka itu sering disebut Dewa Pitara. Pada ruangan paling kanan adalah pelinggih Paramatma, atau Pelinggih Bhatara Brahma. Penulis mengartikan sebagai Bapa Akasa dan Beliau dalam manifestasinya sebagai Pencipta. Pada Bagian ruang kiri adalah Sang Siwatma, atau pelinggih Bhatara Wisnu, penulis mengartikan sebagai Ibu Pertiwi, yang berfungsi sebagai Pemelihara. Sedangkan di tengah adalah Pelinggih Bhatara Ghuru atau Bhatara Siwa.
Perlu diketahui Bhatara Guru ini adalah salah satu Gelar dari Bhatara Siwa, yang di berikan oleh Bhatara Surya karena fungsi Beliau sebagai Gurunya para Dewa. Dari beberapa sumber yang penulis temui mengatakan, sebelum leluhur kita mampu untuk melinggih pada rong tiga tadi, maka untuk sementara melinggih pada ruangan di bawah rong tiga itu, yang berupa rong yang luas dan terbuka.
Penulis berkeyakinan pendapat itu benar, maka itu istilah yang tepat adalah Roh Leluhur hanya Mur di Kemulan atau ngayah di Kemulan.
Sedangkan Yasa Diatmika (2006) mengatakan, pada rong 3 sebelah atas (ring tiga jajar luwuran) dari arah pelinggih adalah sbb,
a. Yang berstana di rong sebelah kiri adalah Ida Bhatara Brahma, aksaranya Ang dengan pengawak Agni/Api
b. Di rong sebelah kanan yang berstana adalah Ida Bhatara Wisnu, aksaranya Ung dengan pengawak Toya atau Yeh
c. Sedangkan rong tengah dibagi menjadi 2 bagian. Pada bagian sor merupakan stana Ida Bhatara Siwa, aksaranya Mang , pengawaknya Bayu atau Angin. Beliau bertiga (Brahma, Wisnu, Siwa) disebut Sang Hyang Tri Murthi).
d. Pada rong tengah yang luwuran adalah stana Sang Hyang Pramesti Guru atau disebut Ida Bhetara Guru atau Ida Bhetara Siwa Guru. Beliau berempat ini (Brahma, Wisnu, Siwa dan Sang Hyang Pramesti Guru) sering disebut Sang Hyang Catur Bogha.
e. Sedangkan pada rong yang dibawah rong tiga (ring tetepan) adalah pelinggih Dewata Dewati
Pembagian ruangan/rong yang merupakan Pelinggih Bhetara tadi sebenarnya sesuai dengan konsep lambang Swastika (lihat gambar).
Ida
Sang Hyang
Pramesti
Guru
Ring
Ande
Rong Tengah
Luwuran
![]() |
Bhetara Wisnu Bhetara Siwa Bhetara Brahma
(ring kiwa) (tengah sor) (ring tengen)
![]() |
Hyang
Dewata Dewati
Ring Tetepan
Tetapi penulis berpendapat, Kemulan ini mempunyai tiga fungsi Utama, yaitu,
a. Secara Vertikal
Secara Vertikal (keatas), Pelinggih Kemulan adalah untuk memuliakan Bhatara Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa
b. Secara Horizontal
Secara Horizontal (kesamping) untuk memuliakan Bhatara Brahma, Bhatara Wisnu dan Bhatara Iswara
c. Di Bawah Ruang Tiga/Tetepan
Di bawah rong telu sebenarnya masih ada lagi ruang yang cukup lebar dan bagian mukanya terbuka, ruang ini disebut tetepan. Menurut penulis di sinilah sebenarnya pelingih Roh Leluhur/Kawitan sebelum dapat atau mampu melinggih di Rong Tiga. Maka itu, roh leluhur sebenarnya hanya Mur di Kemulan. Maka itu, kalau kita ingin ngaturang rarapan pada leluhur, di ruang inilah tempatnya dan bukan di rong tiga. Dari pengamatan penulis di beberapa keluarga, ruangan ini biasanya dipakai untuk tempat peralatan upacara. Kalau saja ruangan ini tidak punya fungsi tentu tidak akan di buat. Tetapi di beberapa daerah, penulis menemukan ada beberapa rumah dalam setiap pemerajannya atau sanggahnya terdapat 2 buah pelinggih kemulan. Menurut Pedanda Keniten dari Gria Tampaksiring, Apabila dalam satu pemerajan atau sanggah ada 2 pelinggih kemulan, maka yang lebih di uttara adalah linggih bagi orang-orang yang dimasa hidupnya pernah Mediksa/Angawa Rat/Mabiseka Ratu/Menjadi Tetua Keluarga atau Menjadi Pemangku.
Selanjutnya dikatakan, apabila ada anggota keluarga yang belum diaben (masih ditanam), maka menghaturkan saji (mamunjung) di setra/kuburan yang disebut Petala. Tetapi apabila sudah diaben maka memunjung di Bale dangin/semanggen dan disebut Pitra. Sedangkan apabila sudah nyekah barulah atma ini bisa masuk ke uttama mandala dan melinggih di piyasan sanggah/merajan dan disebut sang Pitara. Sang Pitara lanang disebut Mas Keling dan Pitara istri disebut Ratna Kencana. Apabila sudah mendapat upacara Manilapati, barulah Sang Pitara ini bisa berstana di Tetepan Kemulan dan disebut Hyang Dewa.
Ibu/Pejenengan
Pelingih Ibu atau Pejenengan atau Gedong Bata terletak di Selatan Meru tumpang Kalih (2) atau di Utara pelinggih Sapta Petala (Dasar). Berbentuk seperti Gedong tetapi didalamnya terdapat pelinggih menyerupai Padma Tiga.
Bangunan ini terbagi menjadi tiga bagian utama, yaitu atap (sari), badan (batur) dan dasar (tepas). Dasar dan badannya terbuat dari batu paras dan bata merah. Sedangkan Sarinya terdiri dari kayu yang beratap genteng. Fungsi utama pelinggih ini mungkin hampir sama dengan fungsi Gedong pada Pura, yaitu sebagai gedong simpen, terutama menyimpan benda-benda fusaka.
Taksu Sari
Bentuknya sejenis Tugu dan merupakan pelinggih dengan satu ruang cangkem dengan bangun dasar bujur sangkar. Merupakan Pelinggih Sang Kala Raja. Secara filosofi Kala artinya tenaga atau waktu, Raja artinya besar atau berkuasa. Sehingga Kala Raja artinya tenaga yang besar, untuk mencari kehidupan. Di Bali, Taksu ini dipakai untuk memohon keberhasilan dalam setiap usaha, sesuai dengan profesi.
Dalam Tabloid Baliage Edisi 47/I/Tahun 2004 dikatakan, dari sejarah keberadaannya Taksu sudah berkembang sejak masuknya paham Hindu semenjak kedatangan Rsi Markandeya sekitar tahun 800 Masehi. Dengan membangun parahyangan di Besakih, diisi panca datu, salah satu bentuknya adalah Pelinggih Taksu.
Dalam perkembangannya, Pelinggih Taksu dimasukkan menjadi pelinggih pokok bersama Pelinggih Kemulan. Yang dikonsepkan Mpu Kuturan ketika datang ke Bali. Dengan bentuk berupa gedong alit yang tidak memiliki palih, dengan satu rong, berornamen limas catu.
Secara filosofis ajaran Hindu, Pelinggih Taksu ini digunakan untuk menyembah serta memuliakan keberadaan Siwa sesuai dengan konsep ajaran Siwa Sidanta yang berkembang di Bali. Sesuai dalam perkembangannya, masyarakat meyakini dengan memuja Siwa dalam bentuk Pasupati, akan melahirkan taksu atau energi atau jiwa dalam setiap kegiatan yang dilakukan.
Selanjutnya dikatakan, keberadaan Pelinggih Taksu yang memuliakan Siwa Pasupati sebagai pemberi jiwa mahluk hidup, merupakan suatu perlambang dari lingga yoni, dimana bentuknya mirip lingga dengan satu buah bangunan. Hanya di Bali masuk unsur lokal genius, dimana lingga itu dibuat secara indah, maka terbentuklah prinsip lingga yang dinamakan Taksu. Taksu ini juga dipakai sebagai tempat menstanakan Siwa dalam tiga pokok kehidupan, yaitu uttpeti, stiti dan pralina. Dari sanalah konsep taksu atau jiwa dari manusia sebagai ciptaan Hyang Widhi dalam perlambang Siwa akan merangsuki segala kehidupan, terlebih profesi yang dilakoni dalam kehidupan ini. Apalagi profesi yang berhubungan dengan spiritual, seperti balian, tapakan, pregina, pemangku, selinggih maupun yang lainnya, akan sangat meyakini taksulah sebagai sumber bagi inspirasinya dalam melakukan setiap kegiatannya.
Sedangkan Yasa Diatmika (2006), mengatakan Yang melinggih disini adalah Kala Raja Buta Raja. Beliau ini yang menganugerahkan bakat, keahlian yang berbeda beda kepada manusia (dewaning sarwa gegunan) dan cirinya ada pada setiap sidik jari atau cap jempol. Itulah sebabnya setiap sidik jari manusia semua tidak ada yang sama di dunia ini. Inilah yang menyebabkan tidak ada manusia yang mempunyai keahlian/bakat yang sama persis. Selanjutnya dikatakan apabila perempuan menghaturkan sembah di pelinggih ini ditujukan kepada Sang Bhuta Raja, sedangkan laki-laki kepada Sang Kala Raja
Meru Tumpang Kalih (2)
Bentuknya sangat indah karena atapnya di buat bertingkat yang biasanya di sebut tumpang. Bagian bawahnya berupa bebaturan yang terbuat dari paras dan batu bata merah. Ruang pemujaan dibentuk oleh empat tiang sudut yang dirangkai sunduk di bawah dan lambang sineb di atas.
Dingding samping dibuat dari papan, atapnya biasanya terbuat dari ijuk atau genteng. Pelinggih ini menghadap ke Barat dan berlokasi di Utara Ibu atau Pejenengan. Meru adalah melambangkan Gunung Mahameru yang merupakan Stana/Pelinggih Dewa-Dewi, Bhatara-Bhatari Leluhur. Dari Pengamatan Penulis, Meru di Bali ada 7 macam yaitu, Meru tumpang 1 (satu), tumpang 2 (dua), tumpang 3 (tiga), tumpang 5 (lima), tumpang 7 (tujuh), tumpang 9 (sembilan) dan tumpang 11 (sebelas).
Didalam Lontar Andhara Buwana (dalam Soebandi, 1992) dikatakan Meru merupakan perpaduan antara Purusa Tattwa dan Pradhana Tatwa yang kemudian disebut Batur Kelawasan Petak, yaitu cikal bakal Leluhur yang suci. Juga disebutkan bahwa Meru juga merupakan lambang Andhabuwana atau Alam Semesta, dan tumpangnya atau tingkatnya sebagai simbul lapisan alam. Demikian pula Meru disebut sebagai simbul aksara (huruf) suci Dasa Aksara yang manunggal menjadi Om, dengan windu windunya dari bawah naik diawali dari windu 1, windu 2, windu, 3, windu 5, windu 7, windu 9 dan windu 11.
Dengan demikian, Meru bertumpang 11 adalah lambang dari Ekadasaksara (11 hurup suci) merupakan simbul Ekadasa Dewata. Meru tumpang 9 sebagai simbul Nawa Aksara (9 hurup suci) merupakan lambang Nawa Dewata, Meru tumpang 7 simbul Sapta Aksara (7 hurup suci) lambang Sapta Dewata, Meru tumpang 5 simbul Panca Aksara (5 hurup suci) sebagai lambang Panca Dewata, Meru tumpang 3 simbul dari Tri Aksara (3 huruf suci) lambang dari Tri Purusa, Meru tumpang 2 simbul Dwi Aksara (2 huruf suci) simbul Purasa dan Predhana,
Meru tumpang 1 ialah simbul panunggalan seluruh Aksara (huruf suci) menjadi Om lambang Sang Hyang Tunggal.
Meru tumpang 1, meru tumpang 3 berpedagingan pada dasar dan puncak. Sedangkan Meru tumpang 5, Meru tumpang 7, Meru tumpang 9 dan Meru tumpang 11 berpedagingan pada dasar, madya dan puncak.
Dari beberapa sumber dikatakan, bahwa Pelinggih bangunan Meru ini diciptakan oleh Mpu Kuturan. Selanjutnya beliau memfungsikan Meru ini sebagai 2 fungsi yaitu Sebagai Dewa Pratista dan sebagai Atma Pratista. Sebagai Dewa Pratista artinya dipakai untuk memuliakan Ida Sanghyang Widhi Wasa dan segala Manifestasinya. Sedangkan sebagai Atma Pratista dipakai untuk memuja arwah suci nenek moyang atau para leluhur. Untuk Meru tumpang 2 (kalih) yang ada di Sanggah Kawitan ini untuk memuja para leluhur Arya Gajah Para.
Sapta Petala/Dasar
Berbentuk bebaturan, bawahnya berbentuk segi empat, yang terbuat dari paras. Di atasnya berdiri seerkor Naga yang terbuat dari batu hitam, menghadap ke Barat. Fungsinya untuk memuja Sanghyang Ibu Pertiwi yang menguasai alam material. Sapta Petala ini juga dipakai untuk memuja Naga Raja atau Naga Tiga, yaitu Naga Ananta Boga yang melambangkan Kesuburan, Naga Basuki yang melambangkan kemakmuran dan Naga Taksaka yang melambangkan kehidupan.
Pengerurah/Anglurah/Penyarikan
Berbentuk Tugu, menghadap ke Barat. Bahan utamanya adalah batu alam, yaitu paras dan batu merah. Pengerurah ini berfungsi sebagai penyarikan (pencatat) atau sekretaris dan sekaligus pemegang kunci merajan atau sanggah secara niskala. Maka itu, segala aktifitas yang akan dilakukan di Sanggah selalu dimulai dari Pengerurah ini.
Tetapi dalam beberapa sumber, fungsi Pengerurah adalah untuk mohon penjagaan dan keselamatan atau kesentausaan binatang di rumah.
Fungsi beliau yang lebih luas sebagai penyarikan adalah, ibaratnya beliau sebagai bendesa yang mengayomi masyarakat, maka itu pelingggih ini harus ada. Berbusana selem dan poleng. Kalau ingin memohon perlindungan disini tempatnya, karena erat kaitananya dengen penyengker dan penjaga. Yang melinggih disini adalah Ratu Ngurah Tangkeb Langit, yang waktu di dalam kandungan beliau berujud yeh nyom, dan dalam alam Bali beliau distanakan sebagai pepatih di pura Ulun Suwi.
Tetapi beberapa sumber mengatakan, pada pelinggih pengerurah berstana Sang Catur Sanak (Kanda Pat yang telah disucikan), yang berfungsi menjaga keselamatan dan keamanan pekarangan rumah beserta penghuninya, tetapi beberapa sumber juga mengatakan pada pelinggih ini berstana Sang Hyang Panca Maha Butha. Sedangkan Yasa Diatmika (2006), mengatakan, yang melinggih disini adalah sbb
a. Ida Ratu Anglurah Sakti Tangkeb Langit
Berfungsi memberikan anugerah seperti pemunah gering sarat, keni cor, melebur segala kotor (leteh) pada manusia, melebur segala upadrawa dan mohon hujan atau tidak hujan
b. Ida I Ratu Anglurah Agung Wayahan Tebeng
Beliau mempunyai wewenang untuk menjaga musuh, mohon kerahayuan dan mohon pemalik sumpah terhadap maling atau segala durjana
c. Ida I Ratu Anglurah Agung Sakti Made Jalawung
mempunyai kekuatan untuk memusnahkan segala wisya mandi, menetralisir racun, seperti leak, cetik, aneluh, detiwang
d. Ida I Ratu Anglurah Agung Nyoman Sakti
Kesaktian beliau adalah merupakan sumber segala macam pengobatan, merupakan dewaning dukun/balian, dewan taksu, dewan leak
e. Ida I Ratu Anglurah Agung Sakti Ketut Petung
Beliau bertugas menjaga kehidupan manusia dan memberikan keahlian/profesi kepada manusia
Bale Pepelik/Pengaruman
Bentuk dan konstruksinya berupa gedong dan memakai tiang jajar, ketiga sisinya terbuka. Bagian bawahnya terbuat dari paras dan bata merah. Sedangkan atasnya terbuat dari kayu, atapnya dari ijuk, mengahadap ke Selatan. Dikatakan bale Pesamuan, karena di bale inilah tempat melinggih simbul-simbul Bhatara-Bhatara yang berupa Pretima, ketika piodalan.
Bale Piasan
Bentuknya berupa bangunan type saka 6 (tiang enam). Bawahnya terbuat dari paras, sakanya terbuat dari kayu, menghadap ke Selatan.
Piyasan artinya pang iyas atau supaya bersih, damai. Yang berstanba disini adalah Ida Sang Hyangt Wenang, beliau ini yang mempunyai kewenangan di lingkungan merajan. Kalau mau menghaturkan banten sepatutnya ke pelinggih piyasan terlebih dahulu, untuk diperiksa oleh Ida Bhetara Sang Hyang Wenang. Maka itu fungsi piyasan ini adalah sebagai tempat mensucikan dan penyajian sarana upacara atau keaktipan serangkaian upacara.
Artinya banten yang dibawa ini, sebelum dihaturkan agar disucikan dahulu disini dengan memakai tirta pangelukatan dari Wiku atau air kelapa gading.
Piasan ini juga biasanya difungsikan sebagai Bale Pewedaan.
Sanggah Rong Dua
Sanggah rong Kalih ini bentuknya hampir sama dengan sanggah kemulan. Sanggah rong kalih yang ada di Kawitan Gajah Para ini baru dibuat sekitar tahun 1990 an. Menurut beberapa sumber, fungsi sanggah rong kalih ini adalah tempat roh leluhur sebelum bisa mencapai rong tiga atau kemulan.
Apit Lawang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar