Sabtu, 06 Mei 2017



EKSISTENSI
A.A. GEDE NGURAH MANDERA
SENIMAN TABUH  DAN TARI



OLEH
A.A. GDE RAMA PUJAWAN DALEM,SH.MH.
IR. PUTU JANUAR ARDHANA




DESA PELIATAN UBUD
GIANYAR BALI
2009


EKSISTENSI
ANAK AGUNG GEDE
NGURAH MANDERA
SENIMAN TABUH  DAN TARI
PURI KALERAN PELIATAN UBUD

I.  Masa Kanak-Kanak

1.1.   Masa Bermain
Saya terlahir dengan nama Anak Agung Lepo, dengan kondisi sama dengan anak-anak lain. Sebagaimana halnya  anak-anak desa pada umumnya, yang ada di Bali waktu itu, walaupun saya terlahir di Puri.

Saya masuk sekolah rakyat, setelah berumur 12 tahun. Sekolah saya cukup jauh, yang berlokasi di kota Gianyar.  Tetapi saya  hanya bersekolah, sampai kelas 3 di Gianyar. Selanjutnya saya  pindah ke sekolah HIS yang ada di Denpasar. Saya bisa diterima di sekolah ini berkat rekomendasi Anak Agung Gede Ngurah dari Gianyar. Beliau waktu itu, menjadi Raja di Gianyar. Itulah sebabnya saya bisa sekolah di sana. Seperti diketahui sekolah ini sebenarnya hanya diperuntukkan bagi anak-anak Belanda dan anak-anak raja atau anak-anak orang kaya.

Tetapi saya bukan orang belanda, bukan anak raja, dan bukan pula anak orang kaya. Maka itu, dalam kesempatan ini, sekali lagi saya mengucapkan banyak terimakasih, kepada Anak Agung Gede Ngurah. Karena berkat jasa beliau saya bisa bersekolah di HIS. Waktu itu pemerintah sebenarnya sudah menerapkan wajib belajar, tetapi anak-anak sangat takut untuk sekolah. Makanya anak-anak banyak yang sembunyi, kalau disuruh bersekolah oleh orang tuanya. Ada beberapa hal yang menyebabkan Anak-anak sangat takut untuk bersekolah waktu itu. Salah satu sebabnya adalah, metode yang diterapkan waktu itu sangat keras. Bagi murid-murid yang bodoh, biasanya dipukuli sampai berdarah-darah oleh guru pengajar. Sehingga sekolah bagi anak-anak yang bodoh dan kurang belajar, benar-benar bagai neraka. Saya sendiri sering kena pukul oleh guru-guru kelas saya, padahal saya tidak termasuk anak bodoh. Makanya saya tidak berani kesekolah kalau malamnya tidak belajar. Dampak baiknya, saya tidak berani tidak belajar kalau akan sekolah. Kerasnya metode pengajaran waktu itu, yang menyebabkan banyak teman-teman saya yang berhenti sekolah, takut dipukul.

Ketika saya bersekolah di Gianyar, saya pulang pergi antara desa Peliatan dan kota Gianyar. Jarak sekolah saya waktu itu cukup jauh, maklum belum ada jalan bagus, apalagi mobil seperti sekarang.

Makanya kadang-kadang saya menginap di rumah teman saya, yaitu di Gria, yang kebetulan letaknya berdekatan dengan sekolah. Kalau saya menginap, untuk  makannya saya dibawakan dari rumah di Peliatan. Seperti saya katakan tadi, Peliatan dan Gianyar pada waktu itu masih merupakan tempat yang cukup jauh, maklum semua berjalan kaki.

Waktu saya sekolah, satu kelas banyaknya 40 orang dengan rata-rata umur 12 tahun. Sedangkan murid yang berasal dari desa Peliatan waktu itu hanya 4 orang termasuk saya dan teman-teman saya kebanyakan dari desa Pejeng. Setelah tiga tahun di Gianyar, saya pindah ke sekolah Belanda HIS. Disekolah ini saya langsung dimasukkan di kelas 3. Guru-gurunya kebanyakan orang Belanda dan galak-galak. Pelajaran yang paling saya senangi adalah menggambar dan bernyanyi. Sekolah di HIS seharusnya sampai kelas 6, tetapi saya berhenti di kelas 5.  Artinya saya bersekolah selama 2 tahun di sini.

Kenapa saya berhenti, karena waktu itu terjadi linuh atau gempa yang sangat dasyat. Gempa ini disebabkan karena meletusnya gunung Batur yang berlokasi di Kintamani Bangli. Banyak sekali rumah-rumah penduduk yang rusak parah, termasuk gedung sekolah tempat saya sekolah itu.  Gempa ini bahkan menurut saya merupakan gempa terbesar yang pernah terjadi di Bali.

Jaman ketika itu, oleh orang Bali disebut jaman gejer yang artinya bergetar. Kejadian gempa itu, tepatnya tahun 1917.  

Tetapi untunglah ketika gempa ini terjadi saya sedang  berada di rumah, di Peliatan. Rumah saya termasuk yang rusak berat, jalan-jalan tertutup pohon, abu terus menerus turun sampai menghalangi pandangan mata. Pada siang hari seperti malam, karena tebalnya hujan abu waktu itu, sehingga saya semua tidak bisa pergi kemana-mana.

Orang-orang menganggap dunia akan  kiamat, makanya mereka semua berkumpul di Pura/tempat pemujaan masing-masing. Maksudnya, kalau mereka mati biar mati bersama. Kerusakan ini juga menyebabkan gedung sekolah saya di Gianyar rusak parah, makanya saya pindah sekolah, kesekolah Belanda  di Denpasar.

Tetapi sebelum menamatkan sekolah, saya berhenti sekolah karena kecanduan main musik. Dari main musik inilah akhirnya   saya menekuni permainan kendang sampai sekarang ini.

1.2.   Belajar Bermain Kendang
Setelah saya berhenti bersekolah, saya mulai tergila-gila dengan instrumen kendang. Akhirnya saya belajar makendang dari Anak Agung Raka Gendot. Beliau berasal dari puri Kawan Peliatan, dan pekerjaan beliau sehari-hari adalah petani.

Disamping pinter main kendang, beliau juga seorang penari, biasanya sebagai penasar. Beliau sangat senang mengajari saya makendang, mungkin karena saya sungguh-sungguh dan cepat menangkap yang diajarkan.

Setelah saya bisa makendang, lalu ada keinginan saya untuk mementaskan keahlian saya di muka umum. Akhirnya pada tahun 1922, saya mempunyai pemikiran membuat barong barongan. Kenapa saya membuat barong-barongan ini, karena saya ingin makendang. Barong ini saya buat dengan cara yang sangat sederhana, karena bulunya dibuat dari daun papah buah (pohon pinang). 

Barong pertama yang saya buat adalah berupa barong bangkung atau babi betina. Perkumpulan ini mula-mula terdiri dari 25 orang, dan semuanya masih anak-anak. Barong ini biasanya saya pentaskan pada saat hari-hari besar agama hindu, misalnya hari raya galungan dan hari raya kuningan. Pentas dimuka umum ini disebut ngelawang atau kupahan (setelah pentas langsung dapat uang)

Kupahan artinya, setelah kita selesai pentas, kami diberikan uang oleh yang nanggap. Sedangkan sebagai pengiring dari tari barong ini  adalah congklik/tingklik, dan saya sebagai pemukul kendangnya.

Congklik adalah gambelan, yang dibuat dari pohon bambu. Antosias masyarakat untuk menonton barong saya ternyata diluar dugaan, karena mereka benar-benar sangat senang.  

Apalagi perkumpulan ini semua anggotanya terdiri dari anak-anak. Disinilah kesempatan saya mempertontonkan kepandaian saya makendang kepada masyarakat, saya benar-benar senang, karena banyak yang memberikan pujian kepada saya. Pada tahun 1923 akhirnya saya membuat barong keket,  saya pariasikan dengan kesenian arja dan baris cina.

Pada tahun 1924 lagi-lagi saya membuat barong bangkal (babi jantan). Barong ini bahannya sudah permanen, saya buat dari kulit sapi yang dipulas atau dicat dengan prada berwarna kuning emas.


II.  MASA REMAJA

2.1.   Diangkat Sebagai Pegawai Pemerintah
Ketika saya memasuki usia remaja, saya diangkat menjadi pegawai pemerintah Belanda. Pada jaman belanda, tidak mudah untuk menjadi pegawai pemerintah. Diperlukan syarat-syarat yang sangat berat, terutama pendidikan. Seperti saya utarakan tadi, jarang sekali orang Bali waktu itu yang bersekolah. Apalagi yang sampai, menamatkan sekolah. Saya sendiri sekolah tidak sampai selesai/tamat. Hanya sampai di kelas 5, tetapi kelas 5 pada waktu itu termasuk sudah tingkat tinggi. Makanya pada tahun 1924 saya diangkat sebagai pegawai pemerintah, yaitu menjadi tukang ceraken.

Mulai saat itu, pekerjaan saya sehari-hari, adalah mengukur tanah orang lain. Jadi tugas saya, mendata berapa jumlah orang yang punya tanah atau berapa jumlah tanahnya. Wilayah tugas tukang ceraken   ini  meliputi beberapa daerah yaitu Bangli, Gianyar sampai ke Ubud dan Peliatan. Tukang ceraken ini sebenarnya, suatu lembaga dibawah kontrol pemerintah Belanda.  

Akhir tahun 1925 saya diangkat menjadi sedahan abian (tukang pungut pajak tanah) di Gianyar. Berselang beberapa lama, saya dipindahkan ke desa Peliatan. Juga sebagai sedahan tetapi membawahi 2 distrik yaitu distrik Peliatan dan distrik Ubud.

Pada waktu itu, saya  sebenarnya sangat sibuk dengan urusan-urusan  kantor. Tetapi masalah seni, tetap saya lakoni, termasuk acara ngelawang. Tetapi ngelawang ini saya lakoni, setelah datang dari bekerja atau sesudah pulang jam kantor. Pada saat ngelawang, banyak sekali orang nanggap barong  kami ini, sehingga kami mendapat kesenangan batin, dan tentunya mendapat banyak uang waktu itu.


2.2.   Membentuk Seke Arja
Setelah Malang melintang  kami ngelawang, akhirnya kami mempunyai banyak uang. Uang ini selanjutnya  kami pakai  untuk membuat barong yang lebih baik lagi. Untuk itulah pada tahun 1952, kami memutuskan  membuat barong yang lebih baik dari yang terdahulu. Adapun barong yang kami buat sekarang berupa “Barong Bangkal”. Bangkal adalah babi jantan yang mempunyai gigi panjang-panjang. Bahan-bahan perhiasan barong bangkal ini sudah memakai belulang (kulit sapi). Sehingga barongnya nampak lebih hidup dan seram dibandingkan dengan barong yang saya buat dahulu. Untuk menyemarakkan dalam setiap pertunjukkannya saya juga mendirikan “grup arja”. Arja adalah sejenis opera persi Bali. Para pemainnya disamping menari juga memakai nyanyian dalam berdialog.

Maka itu, pemain arja adalah orang yang serba bisa. Artinya,  mereka  harus bisa menari dan juga harus bisa bernyanyi. Kemampuan seperti ini sangat jarang dimiliki oleh seseorang.

Setelah terbentuknya seke arja, acara ngelawang tidak hanya diisi oleh tari barong saja, tetapi sudah saya sisipi dengan tari arja. Acara ngelawangnya pun sudah tidak di sekitar desa Peliatan, tetapi sudah merambah ke Klungkung, Gianyar, Bangli bahkan kadang-kadang sampai ketempat yang jauh yaitu ke Singaraja Buleleng.

Ketika ngelawang ke Singaraja misalnya, sekehe ini memerlukan waktu satu hari penuh untuk tiba di Singaraja. Karena pada waktu itu belum ada kendaraan bermotor, makanya perjalanan ke Singaraja hanya berjalan kaki saja. Betul-betul perjalanan yang melelahkan, apalagi dipundak dan dikepala kami terdapat beban yang cukup berat, berupa pakaian tari. Perjalanan yang berat ini terkadang hilang dan tidak terasa, karena dikalahkan oleh rasa senang akan menari nantinya.

Biasanya kami berangkat pukul 4.00 Wita dan baru sampai di Singaraja pukul 18.00 Wita.  Jadi perjalanannya memerlukan waktu kira-kira 14 jam. Bayangkan sekarang ini, apa ada orang mau melakoni hal seperti ini.

Sekehe kami ini jumlahnya,  30 orang yang terdiri dari penari dan penabuh. Upah arja  sekali pentas antara 1000 kepeng sampai 5000 kepeng, tergantung perjanjian dengan yang mengupah. Artinya sebelum pentas, ada tawar menawar antara saya sebagai pimpinan sekehe dengan yang nanggap atau yang ngupah. Setelah ongkos disepakati, barulah saya menari di tempat yang telah ditentukan. Sedangkan cerita yang sering saya bawakan adalah cerita “Sampek Eng Thae”.  I Sampek itu adalah nama pemeran yang laki, sedangkan Eng Thae adalah pemeran yang perempuan. Cerita ini sebenarnya merupakan cerita rakyat, yang berasal dari negeri Cina.

Adapun Ceritanya adalah, ada dua tokoh bernama I Sampek (laki-laki), dan nyonyah Eng Thae (perempuan). Mereka berdua sama-sama bersekolah di Wisesa Negara. Kedua murid ini sangat pintar. Pada waktu Eng Thae bersekolah, tidak ada yang tahu kalau Eng Thae ini perempuan. Karena Eng Thae menyamar menjadi seorang laki-laki.

Tetapi lama kelamaan akhirnya I Sampek tahu kalau Eng Thae itu perempuan. Hal ini diketahui sewaktu Eng Thae sedang mandi. Dimana Eng Thae membuka pakaiannya dan secara kebetulan dilihat oleh I Sampek. Betapa kagumnya I Sampek Akan kecantikan Eng Thae. Akhirnya keduanya terlibat percintaan. Kemudian Eng Thae membuat janji, bahwa dia mau kawin dengan I Sampek.

Karena rumah Eng Thae jauh, maka dia pesan agar I Sampek segera meminangnya, dengan batas waktu yang sudah ditentukan.

Nyonyah Eng Thae memberikan pesan dengan sebuah kata sandi pada I Sampek. Dia bilang begini ”telu pitu, patpat nemnem, dua kutus sengker titiange” (tiga tujuh, empat enam, dua delapan batas waktu yang saya berikan). Kata sandi yang diberikan Eng Thae kepada I Sampek. Kira-kira artinya begini, 3 + 7 = 10, 4 + 6 = 10, 2 + 8 = 10, itu adalah batas yang Eng Thae berikan. Kalau sandi ini dipecahkan, bahwa I Sampek agar menjemput dirinya, sebelum menginjak hari kesepuluh mulai hari ini.

Kenapa angka sepuluh diulang-ulang, itu artinya menekankan agar I Sampek jangan sampai lupa batas 10 hari ini. Angka 10 diulang-ulang 3 kali, artinya dia ingin menegaskan, jangan lupa 10 hari.

Tetapi I Sampek ternyata salah mengartikan, angka-angka itu dia jumlahkan semua. Sehingga jumlah angkanya menjadi 30 hari, sebab angka sepuluh disebut tiga kali. Sehingga I Sampik berpikiran, dia harus menjemput Eng Thae 30 hari dari sekarang. Tiga puluh hari kemudian, datanglah I Sampek menemui  Eng Thae untuk dipinang, dengan membawa oleh-oleh yang banyak. Tetapi malang, Eng Thae waktu itu ternyata sudah kawin dengan orang lain.

Suaminya bernama I Babah Macun, karena I Sampek terlambat 20 hari. Eng Thae akhirnya bertanya kepada I Sampek, kenapa dia baru datang.

Bukankah waktu yang saya berikan 10 hari, dan sekarang saya sudah bersuami.  I Sampek sangat kaget, karena mereka merasa diolok-olok, sehingga I Sampek jatuh sakit. Ketika Dia sakit, I Sampek menulis surat dan bunyinya seperti ini, Eng Thai kalau saya meninggal nanti, tolong tengok kuburan saya.

Nah ketika I Sampek meninggal, Eng Thai datang dengan suaminya I Babah Macun. Eng Thai merasa kasihan dengan I Sampek. Karena sangat kasihan, lalu Eng Thae membongkar kuburan I Sampek. Didalam kuburan itu, Eng Thae ternyata melihat ada lobang. Eng Thai lalu  masuk ke dalam lobang itu. I Babah Macun melihat Eng Thai berbuat seperti itu, hatinya sangat kaget dan bingung.

Tanpa berpikir panjang lagi,  dia kemudian mengupah orang-orang untuk membongkar kuburan itu. Ketika kuburan itu dibongkar, terlihat 2 ekor kupu-kupu terbang keluar dari kuburan I Sampek.
Cerita ini menurut saya, betul-betul sangat bagus. Kupu-kupu itu menandakan, kedua roh orang itu langsung terbang ke Sorga loka.

Dua kupu-kupu inilah suatu saat memberikan inspirasi kepada saya tentang idea terciptanya “Tari Oleg Tambulilingan”.

2.3.   Membentuk Seke Gong Kebyar
Saya ceritakan lagi ketika saya menari di Singaraja, ada hal yang paling berkesan di hati saya waktu itu. Tepatnya ketika  saya ditanggap dan menari di Desa Munduk. Ketika sedang bermalam di desa ini, saya mendengar ada suara gong kebyar di kejauhan. Pada saat itu, kebetulan disana ada orang sedang latihan menabuh gong kebyar. Saya bersama rombongan segera pergi menontonnya, seluruh anggota seperti tersihir menyaksikan orang latihan gong kebiar ini, betul-betul indah dan sangat dinamis. Penabuh kendangnya seperti sedang menarikan tarian Subali Sugriwa. Seperti diketahui, Subali Sugriwa adalah 2 ekor kera sakti yang bersaudara kandung, yang berkelahi karena memperebutkan seorang bidadari cantik.

Setelah saya amati, gong kebyar ini ternyata daunnya/wilahannya berjumlah 10 buah, sehingga agaknya lebih gampang kalau bikin lagu. Suara gambelannyapun  akan lebih meriah dan  indah.

Tetapi waktu itu, ketika pertama kali saya mendengar gong kebiar ini, terus terang kepala saya agak pusing, mungkin karena suaranya terlalu keras.

Tetapi dipikiran saya terus terbayang, betapa semaraknya suara gong kebiar ini. Didalam hati saya selalu bertekad, suatu saat saya harus mempunyai gong kebiar

Setelah sekian hari berada di Singaraja, kami akhirnya pulang ke ubud. Didalam perjalanan pulang, lagi-lagi sekehe ini ada yang ngupah dijalan-jalan.

Bahkan ada yang ngupah untuk manggung,  lagi-lagi arja kami ini bermalam untuk menari.  Makanya memerlukan waktu dua hari baru tiba di rumah, di desa peliatan. Ketika saya sudah sampai di rumah, hal pertama yang diminta oleh sekehe ini adalah, agar  saya bisa mengusahakan  mempunyai seperangkat gong kebiar ini.

Keinginan sekehe ini nampaknya, seperti dipucuk ulam tiba. Di Gria Gunung Sari ada seorang Pedanda, yang mempunyai seperangkat gong kebiar. Gong kebiar ini adalah hadiah dari sesorang yang berasal dari desa Sawan di Singaraja. Suatu ketika beliau Ida Pedanda diminta tolong, oleh warga pande di Singaraja untuk muput pelaksanaan upacara pengabenan di desa Sawan Singaraja. Setelah pekerjaan ngaben ini sukses, sebagai rasa terimakasih masyarakat pande di desa Sawan, lalu menghaturkan seperangkat gong kebiar kepada Ida Pedanda.

Dengan diantar oleh ayah, saya tangkil atau menghadap kepada Ida Ratu Pedanda yang melingih di Gria Gunung Sari. Saya menanyakan apa betul, beliau mendapatkan hadiah seperangkat gong kebiar. Tanpa dinyana, beliau membenarkan, bahkan menawarkan kepada saya, untuk membawa gong kebyar ini ke puri Kaleran dan mencarikan  sekehe. Tentulah hal ini betul-betul sangat menggembirakan saya saat itu. Tidak bisa terbayangkan betapa senangnya hati saya ini.

2.4.   Belajar Menabuh
Pertama-tama yang saya lakukan setelah gong kebiar ini berada di puri Kaleran adalah, memanggil guru tabuh. Guru pertama yang saya cari adalah, dari desa Batubulan, namanya ”Si Pasung Grigis”. Ketika Si Pasung Grigis mengajar kami, beliau juga mengajak lima orang temannya. Tetapi saya lupa, nama dari kelima nama orang ini.

Setelah beberapa bulan, barulah sekehe ini bisa menabuh sedikit-sedikit. Untuk lebih meningkatkan kemampuan sekehe ini, saya menghadap lagi kepada Ida Pedanda di Gunung Sari  agar dicarikan pelatih tabuh dari Singaraja. Ida Pedanda ternyata mengenal seorang guru tabuh dari Singaraja, dan secara kebetulan orang ini bekerja di Gianyar sebagai penjual “opium/candu”. Namanya I Ketut Madu.

Orang inilah kemudian mengajarkan saya menabuh sampai 3 bulan lamanya, sampai kami mahir menabuh gong kebyar.

Maka itu, ketika I Ketut Madu punya pekerjaan adat di Singaraja, saya diundang untuk menabuh di sana. Inilah pertama kali saya menabuh gong kebyar di muka umum. Perasaan kami betul-betul senang dan puas.

Setelah itu, kami mulai pentas di beberapa tempat, sampai akhirnya datang tawaran untuk melawat ke luar negeri.


III.  MASA DEWASA

3.1.   Tawaran Ke Paris Prancis
Setelah sekian lama kami berlatih dan berpentas ria, tentulah kami sudah mengusai dengan baik gong kebiar ini. Sampai akhirnya tahun 1925, Saya didatangi oleh ”Cokorde Gede Raka Sukawati”. Beliau ini merupakan kerabat puri Ubud, tetapi beliau bertempat tinggal di Jakarta. Beliau menawarkan, apakah sekehe ini mau dia ajak ke “kota Paris” di Perancis.

Mula-mula tentulah saya menolak, karena takut dan tidak bisa membayangkan entah dimana negara itu. Saya berpikir, kota singaraja saja sudah jauh, apalagi kota Paris Perancis. Tetapi setelah Cokorda Gede Raka Sukawati memberikan penjelasan dengan panjang lebar, Saya menjadi sedikit tertarik dengan tawaran beliau. Bahkan beliau mengatakan, kalau mau berangkat, beliau akan selalu mendampingi. Mulai  berangkat dari Bali, sampai ke Perancis bahkan sampai kepulangan ke Bali.

Setelah terjadi pembicaraan yang panjang lebar, akhirnya saya menyanggupi untuk pergi melawat ke Paris Perancis. Mulai saat itu, kami tambah  giat berlatih, pagi siang sore bahkan sampai malam hari.

Pada suatu kesempatan, seluruh kerabat puri Ubud, datang menonton kemampuan saya menabuh di puri Kaleran ini. Mereka sangat senang dan kagum, dengan kemampuan sekehe ini menabuh.

Bahkan mereka sempat menanyakan, milik siapa gamelan  ini. Saya mengatakan, gamelan ini milik Ida Pedanda dari Gria Gunung Sari.

Ketika mempersiapkan keberangkatan kami ke Paris, tentulah gamelan merupakan hambatan utama, karena kami belum punya gambelan. Maka itu, jalan satu-satunya saya menanyakan kepada Ida Pedanda Gunung Sari, bolehkah gamelan ini di bawa ke Paris. Ida Pedanda membolehkan, asal di sewa sebesar 200 ringgit uang Belanda.  Sewa sebesar itu, tentulah  sangat mahal waktu itu. Sewa gamelan sebesar ini juga saya sampaikan kepada Cokorde Gede Raka Sukawati. Beliau menganggap, sewa sebesar ini  sangat mahal.

Maka itu, diputuskanlah  untuk membuat saja seperangkat gamelan. Walaupun harganya mahal, tetapi tentulah menjadi milik sendiri. Akhirnya dengan segala pertimbangan, saya memutuskan untuk membuat gamelan.  Gamelan ini akhirnya saya buat di Desa Tihingan Klungkung. Karena kekurangan uang, menyebabkan gambelan yang saya buat di Tihingan ini belum lengkap.

Atas inisiatip Cokorde Gede Raka Sukawati, kekurangannya dipinjamkan di jero Dangin Belaluan Denpasar. Jero Belaluan ini sendiri tepatnya terletak di dekat Bali Hotel Denpasar. Bali Hotel itu sendiri adalah merupakan Hotel yang sangat terkenal waktu itu.

Adapun alat-alat yang dipinjam adalah, reong, terompong, dan jublag. Atas kebaikan Jero Dangin ini, saya diberikan mengubah bunyinya agar sesuai dengan gamelan saya. Bahkan kayunya atau plawahnya juga diganti agar penampilannya sama dengan gamelan yang saya punya.

Maka itu, dalam kesempatan ini sekali lagi saya mengucapkan banyak terimakasih kepada segenap warga Jero Dangin Belaluan Denpasar, karena atas kemurahannya memberikan pinjaman itu, kami bisa sukses di Paris.

Setelah gamelannya terkumpul, barulah saya mencari penari-penarinya. Penari-penari ini hampir sebagian besar adalah kerabat dari Cokorde Gede Raka Sakawati yang diambil dari berbagai tempat. Penari janger misalnya, anggotanya berasal dari desa Sanur, desa Pejeng, desa Kedewatan, desa Singapadu dan dari desa Ubud. Akhirnya pada tahun 1931, kami terbang ke kota Paris untuk berpentas

Sedangkan persiapan untuk melawat ke kota Paris ini, saya persiapkan selama 5 tahun.  Semenjak dari tahun 1925 sampai tahun 1931. Sedangkan pelatih gong kebiarnya bernama I Ketut Madu dari Singaraja.


3.2.   Perjalanan ke Paris
Dengan rasa bangga dan senang, pada tanggal  31 agustus 1931, rombongan ini akhirnya berangkat ke Paris. Jumlah anggota seluruhnya, semuanya 51 orang. Penabuhnya berjumlah 25 orang, sedangkan sisanya adalah penari.

Saya berangkat dari Singaraja menuju Jakarta dan di Jakarta menginap selama dua hari, untuk menunggu kapal. Akhirnya saya berangkat dengan kapal dagang dari Jakarta menuju Teluk Betung. Teluk Betung adalah sebuah tempat di pulau Sumatra. Dari Teluk Betung menuju kota Padang, dari Padang ke pelabuhan Aden. Aden adalah sebuah pelabuhan laut yang sangat terkenal di Afrika. Yang paling berkesan dan tidak terlupakan bagi saya selama perjalanan laut adalah, ketika kapal melewati laut Kolombo. Ombaknya betul-betul besar, sehingga hampir semua anggota rombongan mengalami mabuk laut. Bahkan ada yang mabuk sampai mengeluarkan cacing dari mulutnya, betul-betul ombaknya sangat menakutkan, tetapi syukur saya sendiri tidak mabuk.

Akhirnya, Kapal yang mengangkut saya dan rombongan berlabuh di pelabuhan laut Leiden.

Ketika tiba disini, udaranya sangat dingin, karena pada waktu itu sudah bulan september. Di Bali pada waktu itu sudah sasih kapat, artinya sudah memasuki musim dingin. Untunglah semua membawa mantel, yang diberikan ketika saya masih di  Bali. Sehingga rasa dingin yang menusuk tulang dapat dikurangi. Tetapi saya senang, karena semua rombongan dalam keadaan sehat walafiat. Di kota Leiden saya melihat sesuatu yang sangat aneh dan menggelikan. Saya katakan aneh dan menggelikan karena tumben saya melihat pemandangan seperti ini.

Saya melihat ada segerombolan manusia yang warnanya hitam pekat, hanya giginya saja berwarna putih. Betul-betul pemandangan yang sangat aneh, bagi saya semua waktu itu. Sampai-sampai saya tidak berani turun dari kapal, betul-betul menakutkan melihat manusia hitam pekat seperti itu. Belakangan saya baru tahu, mereka ternyata orang negro dari afrika, mungkin hampir sama dengan saudara kita di Irian Jaya

Besoknya saya berlayar lagi melewati North The Sea menuju Terusan Zues, di Afrika.  Melalui Terusan Zues ini, selanjutnya kami berlayar menuju benua Eropa.

Kota yang saya simpangi pertama di Eropa adalah Marseilles di Perancis. Setelah saya hitung-hitung, ternyata perjalanan saya dari Jakarta sampai Marseilles sudah mencapai 30 hari. Dari Marseilles ini, saya menuju Denhaag di Belanda melewati kota Paris. Setelah di Denhaag saya segera diajak menghadap Raja William.

Tetapi tempat kami pentas sebenarnya di Amsterdam. Di Kota Amsterdam inilah, untuk pertama kalinya kami pentas menari di Eropa. Setelah menari di Amsterdam, saya menari di Heitlo tempat kediaman  Raja William. Ketika kami pentas  di Heitlo, nampaknya Raja Wiliam sangat menikmati suguhan pertunjukan kami, beliau benar-benar terpesona. Dari pandangan saya, beliau adalah sosok tinggi besar. Sedangkan Ibunya Raja Wiliam katanya bernama Ema, tetapi ketika itu beliau sedang sakit. Makanya tidak ikut menonton.  

Sedangkan anaknya raja Wiliam, bernama Yuliana. Ketika itu beliau baru remaja, wajahnya  tidak terlalu cantik sekali, tetapi sangat anggun. Kata orang beliau adalah calon Ratu Belanda nantinya

Ketika itu, kami menari di sebuah gedung tertutup. Selain anggota kerajaan, orang lain tidak boleh masuk ruangan ini. Setelah pertunjukan selesai, Raja William mendatangi saya.

Mungkin mereka merasa senang menonton kami. Kata-katanya yang paling berkesan dan selalu saya ingat kepada saya adalah, kenapa ada orang Bali berani datang ke Eropa katanya. Beliau mengatakan itu, ketika  kami sedang disuguhi makan.

Makanannya enak, betul-betul enak. Ikan dan dagingnya banyak sekali, bahkan para awak kapalpun disuruh ikut makan bersama. Betul-betul suasana yang menyenangkan dan sangat mengesankan. Ketika Raja William akan meninggalkan saya, saya memberikan salam perpisahan. Salam perpisahan ini, sudah diajarkan sebelumnya oleh Cokorde Gede Raka Sukawati.

Adapun bunyi salam perpisahan itu adalah ”Long Life De Kneighen”, artinya semoga panjang umur.
Di Kota Denhaag ini, kami  pentas selama 14 hari. Selama berada di kota ini, jarang sekali saya keluar jalan-jalan. Disamping karena sibuk mempersiapkan pementasan, juga karena saya tidak mengerti bahasa disini. Untuk itulah lebih baik saya diam di penginapan, kecuali akan menari.

Setelah dua minggu di Denhaag, akhirnya kami menuju Kota Paris. Ketika tiba di paris, hujan turun deras sekali. Sehingga hawanya sangat dingin, lebih dingin dibandingkan di Ubud, walaupun pada sasih karo misalnya (musim dingin di Bali).


3.3.   Berpentasria Di Paris
Di kota Paris ketika itu, ada pasar dunia. Sekarang ini, mungkin disebut Ekspo. Kotanya sangat ramai, bersih dan indah sekali. Di kota Paris, kami ditempatkan di paviliun Belanda oleh panitia. Di sini kami pentas setiap hari selama 2 minggu, kecuali hari minggu. Setiap pementasan,  penontonnya selalu penuh, bahkan sehari sebelum pementasan tiket masuk biasanya sudah habis terjual.

Suatu ketika, paviliun tempat kami pentas terbakar. Adapun kronologis kejadiannya seperti ini. Pada jam 23.00 (pukul 11 malam), kami mendengar bunyi sirena meraung-raung, kata orang di sini, itu sirena kebakaran. Seketika saya dan teman-teman melihat-lihat kesekeliling kami, ternyata kami tidak melihat tanda-tanda ada kebakaran. Makanya, kami kembali ke tempat masing-masing untuk istirahat. Tepat pada jam 4 pagi, kami dibangunkan lagi, ternyata papiliun yang kami tempati, sudah terbakar hebat.

Kami melihat api sangat besar membakar papiliun ini, sehingga kami semua berlari tunggang langgang, meloncati pagar untuk bisa menjauh dari lokasi kebakaran. Tetapi untunglah, tempat yang terbakar dengan tempat pentas letaknya berbeda.

Sehingga,  gamelan serta alat-alat pentas semua selamat. Sekali lagi saya katakan untung dan untung, walaupun sudah terbakar, seperti prinsip orang Bali yang selalu untung.

Terbakarnya papiliun ini, menyebabkan orang-orang Belanda sangat kecewa. Mereka bertekad, untuk membangun kembali tempat ini, makanya  mereka bekerja siang dan malam. Akhirnya setelah 40 hari, gedung ini dapat mereka rampungkan kembali. Dari pandangan saya, bangunan ini terkesan jauh lebih baik dari yang sebelumnya. Setelah selesai, gedung ini lalu diresmikan oleh anaknya Raja William yang bernama Yuliana, yang sekaranmg ini sudah menjadi Ratu di negerinya, Belanda.

3.4.   Bertemu Calon Ratu Belanda
Ketika beliau calon Ratu Belanda datang, kami sambut dengan iringan gong, serta penari Bali seluruhnya. Saya melihat Yuliana menangis, beliau mengatakan sangat sedih melihat orang Bali disini, yang diterlantarkan. Sebagai tanda kasih beliau, untuk selanjutnya selama kami di Perancis kami dikawal oleh tentara Kerajaan Belanda demi  keamanan. Tetapi Selama perbaikan papiliun yang terbakar ini, kami tetap mengadakan pertunjukan. Tetapi tempat kami menari, di sebuah ruangan tertutup, yang ada di sebelah papiliun Belanda ini.

Selain kami dari Bali, waktu itu ternyata juga ada rombongan kesenian dari Kamboja yang ikut pentas di sini. Makanya kami disini seolah-olah sedang berfestipal.

Rombongan kesenian yang dari kamboja ini, ternyata juga memakai gambelan sebagai pengiringnya. Maka itu, kami saling mengundang pada waktu pentas masing-masing. Mereka yang dari kamboja, betul-betul sangat senang pada kami. Mereka mengatakan tari kami seperti angin, artinya sangat lain dengan tarian yang pernah mereka  tonton.
Di Paris ada sebuah surat kabar, saya lupa namanya menulis artikel tentang kami. Artikelnya ini yang menyebabkan saya bangga sebagai orang Bali. Judul tulisan mereka adalah ”Kalau mau keliling dunia, cukuplah datang di Paris”. Selanjutnya dalam tulisan mereka dikatakan, disini di Paris semuanya sudah ada. Termasuk kesenian dunia impian, yaitu pulau Bali”. Tetapi dalam tulisan mereka juga dikatakan, bagi yang sudah datang di Paris jangan hanya bermimpi, segera bangun dan wujudkan dengan melihat kenyataan sesungguhnya yaitu di Bali.

Kami semua benar-benar sangat populer disini, makanya saya sangat bangga.

Penonton disini, rata-rata menonton  lebih dari sekali. Saking populernya kami disini, kami akhirnya diundang untuk pentas di sebuah gedung teatre yang sangat besar dan terkenal. Teatre itu namanya ”Marini”, dan yang boleh pentas disini hanya kelompok-kelompok seni yang sudah punya nama.  Kapasitas gedung ini saya perkirakan sekitar 500 orang, benar-benar sebuah gedung yang besar. Pertunjukan kami disini bersifat amal dan bertujuan untuk mencari sumbangan.

Pada waktu itu, pemerintah Perancis akan membangun sebuah sekolah Belanda di Klungkung Bali. Maka itu, saya dan rombongan penari Bali yang melawat ke Perancis waktu itu, sebenarnya juga punya andil besar terhadap pendirian gedung sekolah yang ada di klungkung.  Sekarang baru saya tahu gedung itu dijadikan gedung sekolah SMP Negeri 1 Klungkung, yang lokasinya disebelah barat gedung Kerthagosa.

Selama di Paris kami mementaskan berbagai macam tarian. Misalnya  tari janger, tari calonarang, tari barong, tari cak, tari baris dan tari legong. Tetapi yang paling disenangi adalah tari legong dan tari kecak, mereka benar-benar terkesima menonton kami.


3.5.   Perjalanan Pulang
Setelah 3 bulan kami di perancis, akhirnya kami pulang melalui ”Genoa” Italia. Lagi-lagi kami naik kapal Belanda, yang bernama ”Holden Tanbarnerheel”. Kapal ini sangat besar dan sangat mewah, mereka mengatakan kapal ini untuk pesiar/kapal touris. Dari Genoa, kapal singgah sebentar di Singapura. Setelah 20 hari pelayaran akhirnya sampai di Jakarta.

Di Jakarta kami disambut oleh panitia, serta orang-orang Bali yang ada di Jakarta. Kami menginap selama 2 hari di Jakarta, selanjutnya berlayar menuju Bali, dan berlabuh di pelabuhan Singaraja.

Kedatangan kami di Singaraja, disambut langsung oleh Gubernur Bali waktu itu, yang namanya saya lupa. Bahkan di sini, kami dijamu makan sebelum pulang ke Bali selatan.

Sebagai rasa syukur ”Cokorda Gede Raka Sukawati”, yang memimpin rombongan ini juga menjamu kami makan.

Kami dijamu makan  bertempat di Pura Kedewatan, sambil mementaskan tontonan. Saya semua betul-betul merasa senang, bagaikan pahlawan menang perang dan betul-betul menyenangkan. Betul-betul pengalaman hidup yang sangat berkesan, dan mungkin tidak semua orang mendapatkannya. Sekali lagi puji syukur saya panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa

3.6.   Penari Yang Masih Hidup
Ketika saya diwawancarai hari ini, sebenarnya semua yang saya ceritakan tadi sudah berlalu 56 tahun lamanya.

Maka itu, perlu saya ceritakan disini, penari-penari yang masih hidup yang saya tahu sampai sekarang, adalah   I Kuwus, I Botol, I Ketut Gerudug, I Made Lebah, mereka semua berasal dari desa Peliatan. Sedangkan penari legongnya adalah I Jabreg, Ni Serining, Cokorda Oka Sukawati (adik dari Cokorda Gede Raka Sukawati). Sedangkan yang berasal dari  Kedewatan adalah I Runia, I Liang, I Lasia, Anak Agung Rai, Anak Agung Anom, Desak Merenyong.

Mereka semua adalah, penari-penari janger. Selanjutnya Ni Tunjung, Ni Renti, I Kardi, Sang Ayu Ruwek. Sedangkan yang dari sanur, I Munggah, I Gudug, I Rimpeg, I Gabrug, I Rabeg, itu yang saya masih ingat.  

Sedangkan jumlah rombongan seluruhnya adalah 51 orang yaitu, (1) Cokorde Gde Rai, (2)  IB. Ny Cim, (3) I Bajra, (4) Gst Oka, (5) I  Gerodong, (6) I  Gerindem, (7)  Ngk Togog, (8) Ngk Kompiang, (9) I Kuwus, (10)  I Toblo, (11) Kt. Gerudug, (12) An. Ag. Rai Dobler, (13) An. Ag. Kontje, (14) I Gst Kompiang, (15) I Keredek, (16) Ni Serining, (17) Ni Renes, (18) Ni Jabreg, (19) I Wede, (20). I Regog, (21) I Gejer, (22) I Lebah, (23) I Olas, (24)  Cok Gde Oka, (25) Cok Gde Rai Sayan, (26) Cok Ngurah Wing, (27) Cok Istrti Pera, (28) Cok Rai Agung Mas, (29) Jero Candra, (30) I Ronje (payangan), (31) An. Ag. Rai (payangan), (32) I Liang (payangan), (33) I Lasia (payangan), (34) N. Kodir (payangan), (35) Sang Ayu Ruwet (payangan), (36) Ni Tunjung (payangan), (37) Ds Merenjong (payangan), (38) Ni Renti (payangan), (39) Ni Kardi (payangan), (40) Gst Rai Mara (payangan), (41) Ni Rinceg (sanur), (42) Tidak terbaca (sanur), (43) Ni Jabreg (sanur), (44) I Munggah (sanur), (45) I Dugdug (sanur), (46) Cok Gde Anom, (47) Cok Agung, (48) Cok Oka Singapadu, (49) I. Serog, (50) Cok Gede Raka Sukawati, (51) Anak Agung Raka Batuan

3.7.   Tawaran Perjalanan   Kedua
Tujuh tahun setelah Indonesia merdeka, tepatnya pada tahun 1952. Presiden Soekarno ketika itu, sedang berada di Istana Tampak Siring. Saya dipanggil, untuk segera menghadap beliau di Istana. Dengan segera saya menghadap, ternyata saya ditawari untuk membawa misi kesenian kembali ke Eropa dan Amerika. Ketika itu, saya sedang menjabat sebagai kepala desa Peliatan. Tawaran ini, tentulah saya sambut dengan suka citta.

Persiapan pertama yang saya lakukan adalah, membikin sekehe baru. Penarinya saya pilih dari gadis-gadis yang betul-betul tercantik di Ubud. Disamping itu saya juga membuat semacam kreasi, yaitu tari janger yang diiringi dengan gender wayang. Saya katakan kreasi, karena tari janger waktu itu biasanya diiringi oleh gong biasa. Selain tari janger, saya juga akan membawa tari Sunda Upasunda.

Sunda dan Upasunda sebenarnya dua raksasa bersaudara yang sakti mandraguna. Mereka berkelahi saling bunuh karena memperebutkan bidadari cantik dari Indraloka. Bidadari itu bernama ”Diah Nilottama”

Seperti diketahui bidadari Nilottama  dibuat oleh begawan Wiswamitra dari bunga ratna dan buah wijen. Sebelum bidadari ini selesai dengan sempurna, wajahnya sudah kelihatan sangat cantik. Dewa Brahma bahkan sampai tergila-gila untuk dapat melihat bidadari ini. Sampai-sampai beliau merubah wujud menjadi Dewa Catur Muka, dewa yang bermuka empat.

Tujuan beliau agar dapat melihat dari keempat sisi Nilottama. Sedangkan Dewa Indra, juga merubah wujud menjadi Dewa Bermata Seribu.

Bidadari inilah yang dipakai memancing Raksasa Sunda Upasunda agar mereka mau berkelahi sesamanya, sehingga akhirnya keduanya tewas. Mungkin saja, cara ini yang diterapkan bangsa belanda ketika  menjajah Indonesia, yaitu politik pecah belah

Ketika akan mencari dua sosok raksasa ini, saya sangat kesulitan. Karena ketika itu, di Bali hanya ada satu sosok raksasa, yaitu Rangda. Maka itu saya berpikir keras apa sebaiknya yang akan dipakai memerankan tokoh raksasa yang lagi satu. Waktu saya duduk-duduk di teras rumah, kebetulan waktu itu lewat seorang wanita tua, dia ini sering dipanggil  dadong ranti. Dadong ranti adalah sosok nenek tua, dan rumahnya di sebelah rumah saya. Mukanya agak sidikit serem, jalannya lucu, seperti sedang menari. Saya pikir, inilah tokoh yang sedang saya cari. 

Tanpa pikir panjang, saya lalu memakai nenek ini sebagai  model. Maka itu saya segera pergi ke Singapadu untuk mencari tukang ukir tapel.

Tukang ukir ini adalah teman saya juga, bernama I Dewa Putu Glebes. Kepada  beliau saya minta agar dibuatkan tapel yang wajahnya seperti dadong ranti itu. Setelah selesai, jadilah tapel itu seperti tapel celuluk sekarang, bahkan tariannya pun saya sesuaikan dengan pembawaan dadong ranti sehari-hari. Baik jalannya, gerakan tangannya, bahkan cara tertawanya.

Masyarakat di banjar Taruna, yang seumur saya, apabila melihat tarian celuluk, mereka pasti teringat dengan dadong ranti. Memang begitulah kenyataannya. Maka itu, saya pesankan kepada cucu saya, A.A. Gde Rama, agar memonumenkan celuluk ini, dengan caranya.

Disamping tari Sunda Upasunda, saya juga mempersiapkan sebuah tari yang lain. Tari itu saya namakan  tari Oleg Tambulilingan. Seperti saya katakan dimuka, tari ini terinspirasi dari dua kupu-kupu yang keluar dari carita Sampek Eng Thae.

Dilain pihak, ada sebuah tarian yang sangat bagus menurut saya, namanya tari ”Kekelik”. Yang diciptakan oleh I Mario dari tabanan. Tari kekelik inilah bersama I Mario saya olah, dengan mengurangi dan menambahkan beberapa gerakan lagi.

Sampai akhirnya tercipta Tari Oleg Tambulilingan. Tari oleg Tambulilingan ini sedikit menyimpang dari konsep awalnya. Seperti saya katakan dimuka, konsep awalnya adalah pertemanan dua kupu-kupu yang sedang dimabuk asmara.

Tetapi setelah selesai, tari ini menceritakan perkelahian antara seekor kupu-kupu dengan seekor tambulilingan (tawon hitam). Dimana diceritakan tambulilingan merasa cemburu melihat kupu-kupu yang sedang hinggap dan mengisap madu pada sekuntum bunga. Sedangkan penata tabuhnya sepenuhnya adalah saya yang menciptakan, dibantu oleh sekehe saya.

Sebagai penari pertamanya saya beri kehormatan I Sampih dari desa Bongkasa dengan I Gusti Ayu Raka dari banjar Taruna Peliatan, yang merupakan penari tercantik waktu itu.  Saya betul-betul puas menonton kedua penari ini, lebih-lebih I Gusti Ayu Raka. Tariannya persis seperti kupu-kupu tarum sedang terbang dan mengisap madu di atas sekumtum bunga.

Setelah persiapan rampung sepenuhnya, saya mengundang Jhon Kust, yang bertindak sebagai menejer, untuk menonton persiapan terakhir. Jhon Kust sebagai menejer (yang mengurus keberangkatan saya) mengatakan sangat puas dengan persiapan ini.

3.8.   Perjalanan Eropa Kedua
Sebagai jawaban rasa puasnya, kami disuruh membuat pakaian tari secara komplit. Bahkan pada bulan agustus 1952, kami sudah mengepak perlengkapan dan barang-barang yang akan di bawa ke Eropa. Persiapan terakhir, kami diisolasi untuk beberapa hari di Istana Tampaksiring. Selama menginap di istana Tampak Siring, kami diberikan beberapa pengarahan, tetang hal-hal yang harus di lakukan selama di Eropa.

Jumlah rombongan waktu itu, semuanya berjumlah 48 orang.

Setelah tiba waktunya, kami naik kapal terbang ”KLM” menuju Bangkok. Dari sini menuju Singapura lalu ke Damaskus, dari Damaskus ke Paris, lalu ke London Inggris.

Perjalanan kali ini betul-betul berbeda dengan perjalanan kami tahun 1931. Berhubung sekarang memakai kapal terbang, maka kami dengan cepat tiba ditempat tujuan.

Tanggal dan bulannya saya lupa, akhirnya kami mendarat dengan selamat di London. Di sini kami menari di sebuah ruangan yang sangat sempit, sehingga tari legong tidak bisa dipentaskan. Di London, kami  pentas selama 2 minggu. Penontonnya betul-betul puas, makanya dalam setiap pertunjukan tempatnya selalu penuh sesak.

3.9.   Dari Eropa Ke Amerika
Setelah melanglang di benua Eropa, kami langsung menuju Amerika Serikat. Ternyata setelah saya amati, penontonnya juga ada orang-orang Inggris. Orang-orang ini ternyata sudah pernah menonton pertunjukan kami di London. Bahkan kata mereka, karcisnya mereka beli ketika kami masih di London. Mereka semua mengatakan, belum puas menonton di London. Maka itu mereka sengaja datang ke Amerika, untuk menonton kami lagi di New York Amerika Serikat. Betul-betul saya merasa bangga sebagai orang Bali, dan sangat senang mendengarnya.

Di New York, kami menginap disebuah gedung yang bertingkat. Setiap tingkat, terdiri dari 12 orang.

Gedung ini letaknya sangat dekat dengan teatre pertunjukan, tempat kami pentas. Disini kami  pentas selama 14 hari.  

Di New York, saya mengalami kejadian yang sangat menarik dan tidak masuk akal. Pada suatu saat, saya kehilangan cincin bermata mirah. Cincin ini sebenarnya saya pinjam dari teman saya dari desa Dalang Tabanan. Cincin ini saya yakini sangat bertuah dan bisa meningkatkan taksu (kewibawaan), terutama apabila dipakai untuk menari. Ketika akan Saya pakai, cincin itu hilang dari tempatnya. Cincin itu ternyata, dicuri oleh penjaga barang. Ini saya ketahui kemudian, setelah orang yang mengambil cincin itu mengembalikannya kepada saya. Saya tanyakan,  kenapa dia mengembalikan cincin ini. Penjaga barang itu mengatakan, dia sangat takut sekali. Setelah dia mengambil cincin itu, malamnya dia dikejar-kejar oleh seorang raksasa. Raksasa itu, katanya keluar dari cincin yang dicuri.

Saking takutnya, orang itu segera menaruh lagi cincin itu pada tempatnya semula.  Sehingga cincin itu, saya temukan kembali. 

Saya katakan tidak masuk akal, karena kejadiannya terjadi di New York.  New York adalah sebuah kota metropolitan, yang penduduknya tentu tidak percaya akan hal-hal mistik seperti ini. Lain halnya kalau kejadiannya terjadi di Bali, tentulah itu merupakan hal yang biasa.   Betul-betul cincin bertuah, kata saya dalam hati.

Tetapi Yang sangat mengesankan ketika saya di New York, ketika saya memasak sendiri, betul-betul terkesan. Karena di Bali, saya selalu dimasakkan oleh orang-orang, itu bisa dimaklumi karena saya termasuk keturunan bangsawan.

Setelah seminggu di New York, selanjutnya saya pindah ke Chicago. Di Chicago ini, saya pentas selama 7 hari. Dari Chicago lalu pindah ke Las Veges. Duta besar Indonesia untuk Amerika Serikat waktu itu adalah, Bapak Ali Sastro Amijoyo. Ada saran beliau kepada saya, janganlah main judi disini, bahaya katanya. Tetapi larangan itu saya langgar, saya tertap berjudi, biar pernah berjudi di Las Vegas. Untuk pengalaman hidup, begitu pikiran saya. Ternyata saya beruntung, saya menang sebanyak 19 dollar. Sebuah keberuntungan yang jarang didapat kata orang-orang disini.

Ketika pentas  disini, kesannya kurang baik. Saya pentas di sebuah restoran, sehingga menarinya dihadapan orang makan. Penonton lebih asyik makan dari pada menonton tarian kami.

Setelah 2 minggu di kota Las Veges, kami lalu melanjutkan perjalanan ke San Francisco. Kota yang sangat besar, menurut ukuran saya di Bali. 

Yang paling manarik dari kota ini adalah, adanya jembatan yang sangat panjang. Disini juga ada lonceng yang berukuran besar sekali. Bangsa Philipina banyak sekali disini.

Di San Francisco, kami menari selama 20 hari. Tetapi orang-orang disini, minta agar saya menambah hari pertunjukan. Tetapi permintaan mereka tidak bisa kami penuhi, karena jadwal harus sudah pergi ke Hollywood. Ketika menari di kota ini, saya bertemu dengan Bapak Bob Hawk. Beliau waktu itu sedang membuat film dengan judul ”Road to Bali”, makanya saya sangat senang dengan ini semua. Disinilah saya baru tahu, bagaimana sebenarnya orang membuat film.

Semuanya dibuat-buat, dan diulang-ulang. Sehingga dalam pikiran saya, apa yang ada di film semuanya palsu. Untuk itulah saya selanjutnya tidak senang nonton film, palsu itu.

Ketika sedang berada di Hollywood, saya diundang ke Orlando. Kota Orlando ini, terletak di  dekat kota Florida. Di kota ini saya menemukan banyak  sekali buah jeruk. Kalau di Bali, jeruk ini dinamakan jeruk purut.

Setelah menari di Orlando, lalu kami diundang menari di Florida  Miami. Setelah berada di Miami, semua anggota rombongan ingin pulang ke Bali. Mereka semuanya sudah sangat rindu keluarga,  karena sudah berada disini selama 6 bulan. Maka itu, saya segera menghubungi Bapak Ali Sastro Amijoyo. Balasan surat justru datang langsung dari Bapak Presiden Soekarno. Beliau melarang saya pulang ke Bali dan menganjurkan untuk menari ke Eropa.  
Anjuran itu, tentulah tidak berani saya tolak. Disamping karena anjuran seorang Presiden, beliau juga merupakan tokoh pavorit saya. Bahkan ketika saya sudah pulang ke Indonesia beliau sempat menghadiahkan sebuah pedang komando angkatan laut kepada saya.

Maka itu, akhirnya  dari Miami saya terbang ke Brussel Belgium. Disini saya disambut oleh Bapak Duta Besar Indonesia untuk Belgium, yaitu Bapak Anak Agung Gede Agung. Beliau adalah orang Bali, sehingga saya sama-sama sangat senang.

Betul-betul menyenangkan, bertemu sesama orang Bali ditempat yang sangat jauh, di Eropa. Di Belgia ini, kami menari selama 2 minggu. Pertunjukkan disini, sangat sukses. Dari Belgia menuju Roma Italia, sebuah kota kuno yang sangat indah. Disini juga kami menari selama 2 minggu, hasilnya juga sangat sukses. Dari Roma selanjutnya  pindah ke Jerman Barat. Di Jerman juga pentas  selama 2 minggu. Sampai akhirnya, menari di Paris di teater ”Marini”. Teatre ini merupakan teatre yang sangat terkenal di Perancis. Saya menginap di Hotel Carol. Penonton disini semua minta tanda tangan saya, sampai-sampai tangan saya kesemutan, tetapi saya sangat senang.

Setelah 2 minggu disini, akhirnya pulang ke Jakarta naik pesawat terbang. Di jakarta saya dijemput oleh Bapak Cokorda Gede Raka Sukawati, yang mengantar pertama kali ke Paris Prancis. Setelah 5 hari di Jakarta barulah bisa pulang ke Bali, naik kapal laut dan turun di kota Singaraja. Dari Singaraja, lalu pulang kerumah masing-masing.


IV. MEMASUKI MASA TUA

4.1.   Perjalanan Ke Australia
Setelah datang dari Eropa, saya sebenarnya sudah memasuki usia tua. Tenaga tidak seperti dulu lagi, walaupun keinginan berkarya dan mengabdi dibidang seni tetap besar.

Seperti misalnya Pada tahun 1971, ada permintaan seorang Australia bernama Klefer Hokig kepada saya. Saya ditawari untuk membawa rombongan penari ke Australia. Klefer Hokig sendiri adalah seorang pengagum seni, yang sudah lama mengenal pulau Bali. Bahkan sebelum saya pergi ke Amerika tahun 1931, orang ini sudah sering mementaskan kesenian kami di Bali Hotel. Tanpa pikir panjang lagi, permintaan itu saya sanggupi. Rombongan yang akan berangkat itu, saya namakan Sekehe Gong Gunung Sari. Kami terbang dengan pesawat Qwantas Air Wais. Setelah 8 jam penerbangan, pertama-tama kami mendarat di Cambera. Disini kami disambut oleh, Bapak Duta Besar Indonesia untuk Australia. Dari  Canbera, kami terbang Ke Melbourne. Ternyata disini ada semacam festifal seni, pesertanya  dari seluruh dunia. Disini kami  pentas selama 7 hari berturut-turut.  Setelah itu, barulah menuju kota Sidney.

Disini  kami pentas  selama 7 hari. Teater di sini ternyata kurang mendukung, bahkan terkesan kurang baik.  Makanya kami  pentas di sebuah Kampus Kedokteran, selama 2 minggu.

4.2.   Perjalanan Ke Meksiko  
Pada tahun 1981, saya ada tawaran lagi untuk berangkat ke Meksiko. Tetapi tongkat kepemimpinan, sudah saya serahkan kepada anak-anak saya. Tetapi Saya tetap ikut berangkat ke Meksiko dan New York. Persiapan yang  dilakukan juga sangat serius, mengingat di Meksiko nanti katanya semacam festifal seni sedunia.

Di Meksiko, pertunjukan kami sangat sangat sukses. Sebab cerita yang kami bawakan, ternyata hampir sama dengan cerita rakyat di sana. Yaitu tari-tarian yang menceritakan tentang perkelahian antara Sapi dengan  seorang Raja. Di Meksiko tarian  ini, sering disebut tari Matador. Tidak banyak yang bisa saya ceritakan, ketika saya berada di Meksiko. Sebab segala kegiatan sudah ditangani oleh anak-anak saya.  

4.3.   Kesan
Sampai hari ini, saya sudah berkali-kali  melanglang buana keluar Indonesia. Yaitu ke Amerika, Eropa dan Australia. Tetapi secara pribadi saya sangat menyenangi Amerika. Kota-kotanya sangat bersih dan teratur, terutama kota New York. Kota ini betul-betul indah dan sangat mengesankan. Walaupun begitu, saya jarang berjalan-jalan di kota ini, berhubung keterbatasan bahasa. Hanya sekali-sekali saya keluar penginapan, apalagi kalau tidak ada pemandu wisata (gaid).

Makanya semua kegiatan, menyangkut keperluan sehari-hari dikerjakan sendiri. Bahkan memasakpun saya lakukan sendiri. Hal memasak tentulah tidak terlalu merisaukan, karena saya memang senang memasak, apalagi membuat masakan Bali seperti lawar. Sedangkan untuk rombongan, saya memiliki tukang masak sendiri. Tetapi memasaknya dilakukan didalam kamar, di penginapan.

Perlu juga saya ceritakan tentang Jhon Kock. Beliau tinggal di Denpasar, di Kaliungu. Ketika saya mau diajak pentas di Singapura, Bapak Presiden ternyata tidak menyetujui.  Ngapain ke Singapura, apa mau menari di dalam got, tetapi kalau rombongan lain bolehlah, kata Presiden.

Selanjutnya Presiden bilang, rombongan ini  mau di bawa melawat ke Amerika dan Eropa. Bapak Presiden, nampaknya kurang senang dengan Jhon Kuck. Bapak Presiden mengatakan,  keuangan orang ini sangat payah. Bahkan Anak Agung Gede Agung, berpesan kepada saya, agar saya jangan sekali-kali berhubungan dengan Jhon Kuck ini. Orangnya tidak baik, bahkan terkenal licik.

Hal ini akhirnya terbukti, saya dibohongi oleh Jhon Kuck ini. Tetapi  hal itu tidak akan saya ceritakan ini disini. Biarlah hal itu menjadi kenangan tersendiri untuk saya, saya tidak akan memikirkan dia lagi. Sebagai orang Bali saya selalu berpikir positip, selalu berpikir untung dan selalu percaya akan kebesaran tuhan, biarlah tuhan yang menghukum mereka.

Pada tahun 1953, Setelah saya pulang dari Eropa, saya mendapat hadiah sebuah mobil station dari pemerintah Amerika Serikat.

Di Bali waktu itu, belum ada mobil seperti itu. Saya hanya membayar biaya pengangkutan, yang lainnya dibayar oleh pemerintah Amerika Serikat. Mobil itu mereknya Chevrolet, hanya ada di Bali dan di Jakarta. Selanjutnya mobil ini, saya setir sendiri.

Hari-hari selanjutnya, saya mengajarkan anak-anak di sekitar desa ini untuk menabuh dan menari. Bahkan anak-anak Bung Karno juga ada yang belajar menari Bali. Tetapi yang paling serius menekuni tari Bali adalah, Guruh Sukarno Putra. Anak ini sebenarnya merupakan anak kesayangan, Bung Karno.  Disamping mengajar tari terhadap anak-anak yang berasal dari sekitar desa peliatan, saya juga mengajar menari terhadap tamu-tamu manca negara.  Misalnya tamu yang berasal dari Australia, Jepang bahkan Amerika Serikat.

Kalau boleh saya katakan, setelah tahun 1952, nama desa peliatan benar-benar terkenal diseluruh dunia. Untuk itu, saya juga mendapat undangan menari dari dalam negeri. Misalnya  di  Jakarta, tepatnya di stasiun Gambir. Kebetulan waktu itu ada pasar amal. Saya menari bersama grup-grup kesenian dari berbagai daerah di Indonesia. Waktu itu, kami diundang langsung oleh Bapak Presiden Soekarno.

Tetapi Kesan yang paling tidak mengenakkan selama menari di tanah air adalah ketika saya membawa tari kecak ke Celebes. Reaksi penonton disini betul-betul tidak baik, apalagi menarinya ditempat yang sangat sempit. Sedangkan untuk kegiatan lokal, Sekehe ini juga sering berpartisipasi.

Misalnya pada tahun 1938, ketika di Gianyar diadakan Festipal Gong Kebyar seluruh Bali. Pesertanya dari Klungkung, Bangli, Singaraja, Badung, Jembrana, Tabanan, Karangasem dan Gianyar yang diwakili oleh desa Peliatan. Festipal ini bahkan dihadiri oleh seluruh Raja-Raja se Bali. Pada waktu itu, Gong Peliatan mendapat kesempatan pertama untuk menabuh. Disini saya benar-benar mengeluarkan seluruh kemampuan yang dipunyai. Ada rasa bangga mengalir di dada saya, sebab bisa menabuh dihadapan Raja seluruh Bali, kapan lagi kalau tidak sekarang. Saya pikir sesuatu hal yang sangat jarang terjadi.

Tetapi ketika giliran Gong kebyar dari Singaraja, yang diwakili oleh sekehe gong dari desa Banjar menabuh. Ada sesuatu yang agak aneh waktu itu, Suara gongnya kecil dan hampir tidak terdengar. Makanya mereka, memukul gongnya dengan sangat keras. Sampai-sampai tidak terasa, gongnya banyak yang patah dan pecah. Akhirnya anggota rombongan dari Sangaraja ini banyak yang marah-marah. Mereka mengira, ada orang yang menjaili mereka dengan memakai ilmu hitam.

Setelah diumumkan oleh juri, ternyata gong kebyar desa Peliatan keluar sebagai juara pertama. Pada tahun 1942, festifal gong kebyar se Bali diadakan di Singaraja. Singaraja waktu itu diwakili oleh 5 grup, tetapi hasil akhir,  Peliatan tetap juara. Di sini betul-betul saya merasa bangga, karena bisa menjadi juara diluar kandang.

Pada tahun 1971, ada sekehe kesenian dari desa Peliatan berangkat ke negeri Iran dan Amerika. Yang mengantarkan kesana adalah Guruh Soekarno Putra. Tetapi gamelan yang dibawa adalah gamelan saya yang  dipinjamkan kepada mereka. Setelah dari amerika, mereka mendapat sumbangan berupa uang sebesar Rp. 4.000.000,. Pimpinan rombongan nampaknya bingung, untuk apa uang sebanyak itu. Lalu mereka ada pemikiran untuk membeli seperangkat gambelan. Akhirnya  mereka membeli gambelan seharga        Rp. 1.500.000,. Mengingat sebelumnya mereka sudah meminjam gambelan saya, maka sekarang di banjar teges ada 2 barung gamelan. Maka itu saya pikir, untuk apa mereka memegang 2 barung gambelan. Akhirnya saya mecoba meminta kembali gambelan yang  dipinjamkan dahulu. Tetapi mereka katakan, gamelan yang baru dibeli tidak sebagus gamelan saya. Mereka meminta agar gambelan saya ditukar dengan gambelan yang baru di beli.  

Tidak apa-apa, saya pikir kalau gambelan saya tetap di banjar Teges tentulah gambelan ini akan dipelihara dengan baik, dan kenyataannya gambelan ini tetap dirawat dengan baik sampai sekarang

Masalahnya sekarang, di rumah  ada satu barung gambelan yang tidak mempunyai sekehe/grup. Maka itu saya segera, mencari anggota baru lagi untuk memamfaatkan gambelan ini. Anggotanya semua terdiri dari anak-anak muda. Bahkan beberapa bulan kemudian, Guruh Sukarno Putra ikut bergabung dengan grup ini. Pada tahun 1981, saya diundang untuk mengisi acara di Jakarta Fair.

Waktu berangkat ke Jakarta, kami diantar langsung oleh Bapak Jendral TNI. M. Yusup. Kalau tidak salah beliau waktu itu memegang jabatan sebagai Panglima ABRI. Saya betul-betul merasa bangga, karena saya diantar oleh orang yang sangat populer waktu itu. Di Jakarta, saya menari selama 2 hari.

4.4.   Lain-lain
Berbicara tentang gambelan, ketika itu ada dua tempat di Bali yang bisa membuat gambelan. Desa Tihingan Klungkung dan di Desa Sawan Singaraja. Gambelan dari kedua desa ini mempunyai sedikit perbedaan dalam hal bunyi.

Sepengetahuan saya, gambelan bikinan sawan, suaranya lebih nyaring dibandingkan dengan gambelan bikinan desa Tihingan. Harga seperangkat gambelan waktu itu sangat-mahal, sampai Rp. 4.000.000,. Makanya hanya Raja-Raja yang bisa mempunyai gambelan (gong kebiar). Waktu melawat ke Paris, saya bikin gambelan di Peliatan, tetapi jumlahnya kurang.

Makanya Cokorda Gede Raka Sukawati dari Ubud, meminjamkan kekurangannya. Kekurangannya ini, diambilkan dari Puri Kanginan Belaluan Denpasar. Diantaranya yang dipinjamkan itu adalah gong, reong, terompong, calung dan jublag.

Setelah datang dari Paris, semua yang dipinjam segera kami dikembalikan. Selanjutnya saya membikin gong kebyar di desa Tihingan, Klungkung. Tetapi gambelan  yang dibuat ini, saya beri campuran Emas agar bunyinya lebih nyaring.

Tetapi disamping emas, juga saya campurkan dengan sebuah cengceng pusaka. Dikatakan cengceng pusaka, karena cengceng ini didapatkan di sebuah tebing, oleh Anak Agung Rai Doblet. Ketika itu beliau sedang mencari rumput, untuk makanan kerbau disebuah tebing di pingir sungai. Tanpa diduga disampingnya dia lihat sebuah cengceng.

Setelah melihat kiri kanan, ternyata tidak ada orang. Timbul pertanyan dalam dirinya, siapa yang menaruh cengceng. Setelah lama berpikir, mungkin ini paica pikirnya (pemberian tuhan). Selanjutnya cengceng ini dipakai mencampur gambelan yang sedang dibuat. Setelah selesai suara gambelan ini suaranya sangat bagus. Apalagi sekehe gongnya, melaksanakan  upacara kawin dengan gambelannya. Perkawinan ini  bertujuan, agar sekehe ini betul-betul mencintai gambelan ini, seperti mencintai istrinya di rumah. Sehingga waktu memukul gambelan, benar-benar dengan perasaan.

Hal ini betul-betul sangat saya percayai. Buktinya kalau orang lain memukul gambelan ini, suaranya tidak seindah kalau dipukul oleh sekehenya.

Sebagai orang Bali, saya sangat menyenangi segala kesenian Bali. Tetapi saya paling menyenangi yang namanya ”Semara Pegulingan”. Semara pegulingan adalah sejenis gong kebyar, tetapi suaranya selendro, iramanya indah, merdu, asli, menarik  dan melodius. Sehingga menyebabkan mata menjadi mengantuk, bagi setiap orang yang mendengarkan. Makanya di jaman dahulu semara pegulingan dipakai untuk mengiringi para raja jika akan keperaduan.

Inilah yang membedakan semara pegulingan dengan gong kebiar. Kalau gong kebiar iramanya agak cepat, sehingga berbau modern. Ini juga yang menyebabkan irama gong kebyar cepat dilupakan. Lain halnya dengan semara pegulingan, lagunya tetap lestari sepanjang masa.

Ada sesuatu hal yang perlu diperhatikan, didalam memukul gambelan. Gambelan itu harus diberikan jiwa, harus dengan perasaan.  Misalnya ketika  sedang menabuh, dengan tidak disadari si penabuh  akan tersenyum. Itu karena mereka menjiwai lagu yang  dibawakan.

Irama gambelan akan baik terdengar apabila, gambelannya baik, penabuhnya juga baik. Maka itu, didalam sekehe (grup) harus ada salah satu yang bisa memberikan kontak batin terhadap teman yang lainnya.

Saya sendiri sangat menyenangi istrumen kendang. Dengan makendang saya bisa mengeluarkan segala kemampuan  yang saya punya. Makendang bagi saya seperti candu, yang dapat membuat lupa segalanya.

Setelah tua seperti ini, makendang bahkan seperti obat bagi saya. Kalau sudah memegang kendang, saya seperti muda kembali. Kendang ini yang saya pegang sekarang, seolah-olah istri pertama saya.

Ternyata pilihan saya benar, dalam arti dengan kendang ini ternyata saya dapat berkeliling Indonesia bahkan keliling dunia. Kalau saya tidak bisa memainkan kendang mungkin saya tidak akan mengenal dunia lain.

Disamping sebagai penabuh kendang, saya juga sering memberikan tentang agem atau posisi penari. Saya juga mampu memilih calon-calon penari yang baik, dengan melihat cara berdiri, jalan, muka dan bentuk tubuhnya. Misalnya kalau ada orang seperti ini, tari apa bagusnya, kalau seperti itu tari apa bagusnya.  

Salah satu diantaranya yang saya dapatkan adalah I Gusti Ayu Raka, penari Oleg Tambulingan yang pertama, bersama I sampih dari Bongkasa. Sebelum menari oleg, dia sebenarnya merupakan penari legong kraton. I Gusti Ayu Raka ini, saya dapatkan secara tidak sengaja. Ketika  saya sedang duduk-duduk didepan rumah, secara kebetulan lewat sekelompok anak-anak kecil. Mereka bersenda gurau dan tertawa cekikikan sambil mencari capung. Tetapi salah satu dari mereka, ada yang istimewa.

Jalannya seperti kupu-kupu kecil sedang terbang, wajahnya cantik, matanya tajam, rambutnya pajang terurai, badannya kurus berisi, tangannya lentik. Ketika saya tanyakan, anak ini ternyata anak ini bernama  I Gusti Ayu Raka, anaknya I Gusti Ngurah Kwanji (Sindung). Anak ini lalu saya ambil, saya gembleng untuk belajar menari legong kraton.  Anak ini betul-betul luar biasa, otaknya cerdas, gerakannya lincah. Sehingga dalam waktu relatip singkat, dia sudah bisa menguasai tari legong keraton.

Tetapi ketika saya sedang menggarap tari oleg tambulingan, bersama I Mario.  Saya teringat kembali kepada anak ini untuk menarikan kupu-kupunya. Masalah yang lain, siapa yang cocok untuk mendampingi sebagai prianya, sebagai penari tambulilingannya.

Setelah saya pikir, akhirnya pilihan saya jatuh pada I Sampih dari Bongkasa. 

Setelah selesai, tari oleg tambulilingan untuk pertama kalinya saya pentaskan di sini, di Puri Kaleran. Saya betul-betul puas dengan penampilan kedua orang penari oleg ini. Masing-masing membawakan perannya dengan sangat baik. Betul-betul pasangan penari yang sangat cocok.

Maka itu, sekali lagi saya tegaskan bahwa, tari oleg tambulilingan untuk pertama kalinya dipentaskan di sini di puri Kaleran, banjar Teruna desa Peliatan Gianyar.

Dengan penari perempuannya bernama I Gusti Ayu Raka dari desa Peliatan, sedangkan penari prianya bernama I Sampih dari desa Bongkasa

Dengan cara-cara itulah saya memilih penari-penari yang lainnya. Dengan melihat cara berjalannya, wajahnya, postur tubuhnya, ketajaman matanya, dsb.  I Mario sendiri adalah teman baik saya waktu itu. Beliau berasal dari Kabupaten Tabanan. Tetapi ayahnya sebenarnya berasal dari desa Banjarangkan Klungkung.  Beliau sebenarnya penari yang sangat bagus. Beliau juga menciptakan tari terompong, tari kekelik dan oleg tambulilingan. Tetapi tari oleg tambulilingan ini dibuat berdasarkan idea-idea saya, walaupun dasarnya adalah tari kekelik.

Seperti saya katakan, semula tari ini sebenarnya terinspirasi dari cerita arja ”Sampek Eng Thai”. Dimana diceritakan pada akhir cerita itu, keluar 2 ekor  kupu-kupu dari dalam kuburan. 2 kupu-kupu inilah sebenarnya yang memberikan saya inspirasi dasar tentang tari oleg tambulilingan. Idea ini saya sampaikan kepada I Mario. Selanjutnya saya garap bersama-sama.

Tetapi setelah selesai, tari ini sedikit melenceng dari konsep semula. Konsepnya dasarnya adalah merupakan pertemanan 2 kupu-kupu yang sedang dimabuk asmara. Tetapi setelah selesai, caritanya adalah perkelahian antara kupu-kupu dengan tambulilingan (kumbang hitam). Makanya penarinya putih satu hitam satu.

Yang putih itu adalah kupu-kupu dan yang hitam itu adalah tambulilingan. Sedangkan penata tabuhnya, sepenuhnya saya yang menggarap bersama seke gong gunung sari.

Tari tambulilingan ini benar-benar tari yang sangat bagus. Tetapi saya sendiri sangat menyenangi tari legong, terutama tari condong. Karena tari condong tidak terlalu memporsir tenaga, tetapi variasi geraknya sangat banyak. Maka itulah, saya paling senang melatih tari condong.

Perlu saya jelaskan sedikit tentang tari legong keraton. Pada mulanya, tari legong ini, posisi badan penarinya tegak lurus, dari bawah sampai keatas. Telapak kakinya datar, menyentuh tanah. Seperti tarian sakral pada umumnya. Karena tarian sakral biasanya diperuntukkan untuk para dewa.  Makanya semua gerakannya seperti gerakan yoga. Tari sakral biasanya dipentaskan, ketika ada wali atau odalan di pura-pura.

Tetapi ketika saya melawat ke Amerika, saya betul-betul kagum dengan gerakan balet. Gerakannya sangat lincah, posisi kakinya menjinjit. Maka itu, ketika saya tiba di Bali, hal pertama yang saya lakukan adalah memperbaharui tari legong ini. Diantaranya, posisi kaki serta dada.

Kalau dulunya telapak kaki datar dan menyentuh tanah, sekarang saya rubah dengan menjinjit seperti posisi kaki penari balet. Sehingga gerakannya akan sangat lincah dan dinamis, terutama ketika memutar dan nyeregseg.

Begitu juga halnya posisi dada. Kalau dulu tegak lurus seperti papan. Sehingga tidak menarik. Sekarang posisi dada sedikit ditonjolkan kemuka, pundak ditarik kebelakang. Sehingga posisi susu sedikit menonjol kemuka. Kenapa saya posisikan seperti itu, karena tari ini akan dipertunjukan kepada manusia. Bukan lagi untuk para dewa, penari harus kelihatan sedikit seksi. Sehingga enak untuk ditonton. Setelah saya perbaharui seperti itu, jadilah tari legong seperti sekarang ini, khas legong desa peliatan.

Itulah sedikit sumbangan saya kepada seni tari dan tabuh di Bali. Semoga seni tari dan tabuh di bali akan terus berkembang, sesuai dengan kemajuan jaman.

Tetapi sekarang ini, saya melihat kesenian orang Bali sudah mulai berubah. Mungkin  sesuai dengan perubahan jaman dan gaya hidup orang Bali. Misalnya sebelum ada Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI), di Bali banyak sekali berkembang kelompok-kelompok seni.  Setiap kelompok seni, masing-masing mempunyai ciri khas. Makanya ada legong stil Saba, stil Bedulu, stil Badung atau stil Peliatan. Inilah yang menyebabkan orang ingin menonton, karena stilnya berbeda.

Ada satu contoh kecil, kalau dulu ada tari rejang di pura, banyak orang menonton. Kenapa?, karena disetiap tempat tari rejangnya berbeda. Kalau sekarang dimana-mana tari rejangnya sama.  Ini yang menyebakan tidak ada orang menonton tari rejang, paling yang nonton ayah ibunya penari rejang.   

Mungkin ini yang menyebabkan seke–seke kesenian, pada mulai pudar. Apalagi tari-tari sekarang banyak yang bersipat kontemporer. Bahkan ada yang mengambil gerak tari luar. Sehingga tari-tarian itu seperti seni pencak silat.  Padahal inilah yang membedakan gerak tari Bali dengan luar. Kalau tari Bali, gerakan dasarnya sebenarnya adalah gerakan yoga. Sedangkan tari luar, dasarnya gerakan pencak silat silat. Coba lihat tari jawa, tari sumatera, semuanya seperti pencak silat

Tari-tarian  lama memang mempunyai karakter yang sedikit lain dengan sekarang, apalagi setelah adanya Akademi Seni Tari Indonsesia. Bahkan kalau boleh saya katakan, tari sekarang kualitasnya tidak sebagus pada jaman dahulu. Buktinya tidak ada tari-tarian yang melegenda seperti dulu. Banyak sekali tari-tarian sekarang dibuat berdasarkan komersialisme saja. Sangat beda dengan yang dahulu, mereka tidak pernah menjual seni. Mereka membuat seni hanya untuk adat dan upacara agama, sehingga kekuatannya akan lain. Contohnya tari Legong keraton, tari itu diciptakan berdasarkan Yoga oleh Ida Dewa Agung Karna

Mungkin ada yang bertanya. Siapa itu I Dewa Agung Karna?. Saya akan ceritakan sedikit tentang beliau I Dewa Agung Karna.

Ceritanya dimulai setelah meninggalnya Ki Balian Batur oleh Ida Dewa Agung Anom Putra.  Seperti diketahui, Ki Balian Batur adalah seorang balian atau dukun sangat sakti dijamannya.  Sedangkan Ida Dewa Agung Anom Putra, merupakan putra mahkota dari kerajan Klungkung Smarapura. Sebagai jasa beliau setelah mengalahkan Ki Balian Batur, maka diberikanlah sebuah daerah yang bernama ”Timbul”. Ditempat baru inilah beliau selanjutnya membangun sebuah kerajaan baru. 

Berkat kepemimpinan beliau, dan kegigihan masyarakat disini, maka daerah ini berkembang sangat pesat.  Apalagi daerah ini merupakan daerah baru, perpaduan dari dua budaya,  yaitu budaya kerajaan Mengwi dan budaya kerajaan Smarapura.

Dimana kedua kerajaan ini, masing-masing mempunyai karakter yang berbeda. Kedua  budaya inilah nantinya disatukan oleh beliau  menjadi daerah baru di Timbul, yang selanjutnya beliau berinama  ”Sukawati”.  Inilah yang menyebabkan kerajaan Sukawati sangat kaya akan budaya dan kesenian.  Karena merupakan  gabungan  dari kebudayaan mengwi dan Klungkung.

Daerah ini terus berkembang dengan pesat, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut, di sebelah utara gunung Batur, di selatan laut Ketewel, di barat sungai Ayung dan di timur sungai Pakerisan. 

Terus Bagaimana cara-cara beliau menggabungkan kedua budaya ini?. Ketika beliau mau pindah dari Klungkung, maka beliau membawa undagi, seniman, pande, pelukis bahkan beliau membawa sulinggih Siwa dan Budha sebagai bagawanta.  Hanya pelukis kamasan dan pande gong yang tidak beliau bawa.  Sedangkan dari Mengwi, beliau juga minta hal yang sama.  Setelah mereka berkumpul di Timbul, mereka-mereka inilah yang membuat budaya baru di sini. 


Setelah pembangunan selesai, akhirnya beliau Ida Dewa Agung Anom Putra, diabiaseka menjadi Raja pertama kerajaan Sukawati dengan permaisuri Ida Ayu Ratu Mutering Jagat, putri dari kerajaan Mengwi yang beribukan Panji Sakti.  Beliau inilah yang juga membawa budayawan dan seniman dari kerajaan Mengwi, yang saya katakan di atas tadi.

Ida Dewa Agung Anom Putra, selanjutnya mempunyai 3 (tiga) putra. Yang paling tua, bernama Ida I Dewa Agung Jambe, yang dikemudian hari menjadi seorang wiku di Guwang.  Putra ke 2 (dua) bernama Ida Dewa Agung Karna, beliau sangat menyenangi seni budaya dan penganut brahmacari.  Beliau inilah yang saya katakan tadi, penemu tarian ”legong dedari” di pura Payogan Agung Ketewel. Sedangkan putra yang ketiga bernama I Dewa Agung Pamayun. Beliau inilah selanjutnya menggantikan ayah belia menjadi  Raja Sukawati ke II. 

Cerita ini akan saya teruskan sedikit, karena akan berhubungan dengan saya. I Dewa Agung Pamayun, kemudian mempunyai  11 (sebelas) orang putra dan putri.  Putra yang ke 4 (empat), bernama Ida Dewa Agung Tabanan.  Beribu I Gusti Ayu Sekar dari Tabanan. Beliau inilah selanjutnya menurunkan ”trah Ida Cokorda Tabanan”.

Setelah dewasa, beliau juga mengambil Istri, juga dari Tabanan,  bernama I Gusti Ayu Cili, dari puri Subamia Tabanan.  Selanjutnya beliau  menurunkan 4 orang anak, yang pertama bertempat tinggal di desa Guwang, yang kedua di puri Kelodan desa Peliatan, nomor 3 di pouri Kaleran, desa Peliatan, disini di tempat saya sekarang dan yang nomer 4 di puri Padangtegal Ubud

Sebagai seniman, saya sangat mengagumi beberapa tokoh seni dunia. Misalnya Carlie Caplin. Secara kebetulan saya pernah berkenalan di tahun 1952 di Gunung Sari. Saya diperkenalkan oleh Jhon Kush waktu itu. Bahkan saya sempat mengajarkan beliau, Carlie Caplin memainkan instrumen cengceng.


4.4.   Sekilas Tentang Keluarga
Saya bertempat tinggal di Puri Kaleran, Banjar Taruna, Desa Peliatan. Puri Kaleran sebenarnya diturunkan dari Ida I Dewa Rai Kaleran dengan I Gusti Ayu Chili Penatih. Makanya di Merajan Saya sekarang ini ada pelinggih Ratu Gusti. Sebagai tempat pemujaan dari I Gusti Penatih, yang merupakan cikal bakal  di Puri Kaleran ini. Puri Kaleran sebenarnya ada 3 bagian, yaitu di barat, timur dan puri Saren. Sedangkan Di bagian barat ditempati oleh ayah saya, sedangkan di bagian timur ditempati oleh paman saya. Di Puri Saren ditempati oleh paman tertua.

Paman saya ini sebenarnya merupakan kakak dan adik kandung bapak saya. Maka itu, puri kaleran sebenarnya berasal dari satu darah yang sama. Maka itu, Merajannya hanya satu, terletak di bagian timur  Puri. Di Merajan ini juga terdapat 2 pelinggih rong 3. Pelinggih rong 3 yang disebelah selatan, tempat pitara yang belum medwi jati. Sedangkan yang sebelah utara, tempat pitara yang sudah medwi jati. Seperti saya katakan tadi, disini juga melinggih ratu panji, yaitu sebagai taksu seni.

Perlu juga saya jelaskan disini tentang pelingih ratu panji. Ketika saya datang dari paris, Saya menjabat Kepala Desa Peliatan. Ketika itu saya berinisiatip mendirikan pelinggih ratu panji ini di pura ulun suwi, yang sekarang disebut pura gunung sari.

Pikiran saya kenapa pelingih ratu panji didirikan disini, agar setiap orang yang menekuni seni bisa nunas taksu disini, karena pura ini adalah pura umum.
Pendirian pelinggih ini sudah mendapat persetujuan dari kelian subak dan penglingsir Puri Agung Peliatan. Sedangkan di rumah saya masih gelungan panjinya saja yang ada sekarang.

Paman saya adalah, seorang penekun sastra lontar. Maka itu, ketika saya masih anak-anak, saya sering diajari membaca lontar, terutama lontar-lontar yang menceritakan tentang pewayangan.

Saya sebenarnya terlahir di Puri Kaleran bagian barat. Sedangkan di puri kanginan lahir seorang istri. Dari kesepakatan orang tua saya, saya dijodohkan dengan anak ini. Tetapi tuhan berkehendak lain, anak itu keburu meningggal karena menderita sakit keras. Berhubung calon istri saya sudah meninggal, akhirnya saya diangkat sebagai anak di sini, di timur. Tetapi saya baru pindah  ke timur setelah datang dari Paris.

Beberapa tahun kemudian, saya mempersunting  istri dari Puri Kelodan. Namanya adalah, Anak Agung Oka. Saya sebenarnya ada hubungan keluarga, tetapi saya tidak dijodohkan. Melainkan istri saya ini, merupakan pilihan sendiri, bukan dijodohkan seperti kebiasaan ketika itu. Saya menikah ketika berumur 25 tahun, sebelum saya berangkat ke Paris. Pernikahan saya dihadiri oleh banyak kerabat, sebab kerabat saya waktu itu banyak sekali. Saya sebenarnya, termasuk orang yang disenangi di desa.

Upacara pernikahan saya pun termasuk besar, dibandingkan dengan upacara pernikahan orang lain waktu itu. Sedangkan upacara pernikahan, berlangsung 3 hari lamanya. Makanya hati ini sangat senang, apalagi baru pertama kali menikah.

Setelah sekian lama menikah, lahirlah anak pertama. Anak itu saya beri nama Anak Agung Gede Bawa. Setelah sekian bulan kemudian,  saya berangkat ke Paris.  Perasaan saya sangat senang waktu itu, sebab terbayang bagaimana keindahan kota paris ketika itu.

Setelah kembali dari Paris, saya kecantol dengan salah satu panari janger. Namanya Anak Agung Istri Anom.

Orangnya cantik, tetapi pendiam. Saya sebenarnya sudah tertarik, ketika masih di Paris. Tetapi masih sama-sama malu, sehingga hanya saling curi pandang. Tetapi saling perhatian dan saya sangat mengagumi akan kecantikannya. Tetapi betul-betul tertarik ketika saya sudah pulang ke Bali. Akhirnya saya menikah dengannya.  

Istri saya ini berasal dari desa Kedewatan dan ketika menikah, dia sudah berumur 20 tahun. Waktu meminang, dia hanya diam saja. Jawabannya saya tunggu sampai 1 bulan lamanya. Setelah itu, barulah dia mengatakan mau. Akhirnya saya jemput dia di sebuah ladang miliknya, lalu saya naikkan ke mobil. Dengan istri saya yang kedua ini, sebenarnya saya kawin lari. Tetapi sebelum mengawininya, saya juga minta ijin sama istri pertama. Jawaban dari istri pertama,  terserah kalau memang senang.

Hari-hari selanjutnya, kedua istri saya ini semuanya berada dalam satu rumah. Mereka akur-akur saja, mungkin karena sebelumnya sama-sama sudah saling kenal. Jarang sekali mereka bertengkar, terutama kalau ada saya.

Ketika saya berumur 45 tahun, saya menikah lagi. Lagi-lagi dengan salah satu penari janger saya, namanya Wiraga.

Setelah menikah namanya menjadi Jero Wiraga. Jero itu artinya, karena dia bukan berasal dari satu wangsa/trah. Saya sendiri berasal dari Trah Dalem Sukawati. Sampai saat ini, istri saya ada 3 orang. Tetapi dibandingkan dengan orang lain waktu itu, saya termasuk mempunyai istri sedikit. Karena teman-teman saya, ada yang beristri sampai 10 orang. Sampai-sampai nama anaknya tidak dikenal, bahkan kadang-kadang anaknya sendiri tidak di kenal sama sekali.

Dengan Jero Wiraga sebenarnya saya sudah kenal lama, karena orang tuanya sudah menjadi abdi disini semenjak dulu. Makanya ketika meminang dia, saya tidak menemukan kesulitan.

Ketika Ibu wiraga dewasa dia ikut menari janger disini. Seke janger ini benar-benar bagus. Pengiringnya memakai gender wayang. Penarinya semuanya cantik-cantik, sampai-sampai penontonnya tergila-gila.

Seperti Raja Gianyar ketika itu, betul-betul kesemsem sama janger Peliatan. Sampai-sampai ketika janger ini baru latihan, beliau sudah sering menyempatkan diri untuk menonton.

Suatu saat beliau berbisik kepada saya, kalau saya mati nanti, cukup berikan kepada saya tari janger saja. Suatu saat beliau mengundang sekehe janger peliatan untuk main di Puri Gianyar. Sebelum main, ketika penari akan berhias, semua penari disuruh berhias di kamar tidurnya Raja. Itu karena saking gilanya Raja Gianyar melihat kecantikan penari janger Peliatan.

Begitu juga halnya dengan Raja Karangasem, yang bernama Anak Agung Bagus. Suatu saat, pernah mengundang janger ini. Raja karangasem, sama kagumnya dengan Raja Gianyar sama janger peliatan. Sehingga sebelum janger menari, raja rela duduk dihadapan janger supaya dilangkahi. Sedangkan pada waktu sedang menari, Raja Karangasem itu menonton di sebelah tempat orang menabuh. Sedangkan disekitar tempat menari semuanya dikelilingi pagar kawat berduri. Maksudnya supaya sedikit orang masuk. Tetapi karena mereka ingin tahu, mereka mendesak masuk dan tidak takut lagi sama Raja. Maka pagar berduri itupun diterobos, sampai jebol. Itulah kekuatan taksu janger Peliatan waktu itu. Sampai-sampai janger Peliatan ini dianggap sebagai jelmaan bidadari dari kahyangan.

Bahkan Saya sendiri akhirnya mengawini salah satu dari mereka, namanya Wiraga pada umur 17 tahun. Pada tahun 1947 melahirkan seorang anak yang bernama  Anak Agung Bagus.

Ketertarikan saya sama wiraga karena dia sudah saya kenal dari kecil, bapaknya adalah abdi puri di sini. Disamping sebagai janger dia juga sebagai penari condong.

Daya tariknya luar biasa dibandingkan dengan yang lain. Ekspresi wajahnya sulit ditandingi oleh penari lain, dia punya daya tarik tersendiri. Ketika saya mengawini Wiraga, orang lain tidak pernah protes, karena saya tidak pernah berbuat macam-macam sebelumnya dengan orang lain. Sehingga mereka menerima, ketika saya mengawini Wiraga.       

Seperti saya katakan dimuka, ketika diajarkan membaca lontar saya menyenangi cerita wayang. Maka itu saya sering nonton wayang. Adapun dalang yang paling saya senangi adalah dalang Brahmana dari desa Mas, lalu ada dalang Kerekek dari Sukawati yang dilanjutkan oleh anaknya bernama dalang Granyam.

Sedangkan tokoh wayang yang paling saya sukai adalah ”Kresna”. Dimata saya, kresna mampu menyelesaikan masalah seberat apapun.

Setelah pulang dari Amerika, pada tahun 1953 saya dipilih menjadi Perbekel oleh masyarakat desa Peliatan juga oleh Raja Gianyar. Juga sebagai Controller Belanda. Saya berhenti menjadi Kepala Desa karena kemauan sendiri, jenuh karena tugasnya sangat berat, terutama apabila ada orang berperkara. Sedangkan imbalan kepala desa berupa gaji adalah sawah.

Sebenarnya menjadi Kepala Desa waktu itu banyak tidak senangnya. Apalagi waktu itu, politik adalah panglima. Tetapi sebagai seorang seniman, saya berusaha bersikap netral terhadap perkembangan politik.  

Pernah saya ditawari masuk PNI waktu itu, padahal waktu itu pengaruh Bung Karno sangat kuat di Bali. Perlu dicatat, Bungkarno waktu itu tidak mau ke Bali. Karena beliau sangat marah terhadap Cokorde Gede Raka Sukawati yang menjadi Presiden NIT. Karena menurut Bung Karno, jabatan ini diberikan oleh Belanda dalam rangka menerapkan politik pecah belah. Ketika Bung Karno menjadi Presiden RI, saya sendiri pernah satu hari dimasukkan kamar gelap oleh Belanda. Pada waktu itu semua pemimpin perjuangan menyingkir ke gunung-gunung, agar tidak bisa diajak berunding oleh Belanda. Sebelum mereka berangkat, saya ditugaskan untuk menjaga desa peliatan.

Maka itu, sayalah yang ditangkap oleh Belanda, dan ditanyai kemana para pemimpin negeri ini, saya katakan tidak tahu. Belanda memang sangat licik, selalu memeras rakyat dan pribumi tidak boleh sekolah, agar  semua tetap bodoh.

Lain halnya setelah  merdeka, kita bisa mengatur diri kita sendiri, kita tidak diperintah lagi sama orang lain. Bahkan ketika penjajahan jepang, saya benar-benar melarat. Saya disuruh kerja rodi, bikin jalan, belajar pertanian, benar-benar berdisiplin. Bahkan di beberapa negara seperti Korea, Cina, banyak rakyatnya  yang dibunuh. Perlakuan Jepang terhadap kita benar-benar menyakitkan, tetapi ada  dampak baiknya sekarang, kita bisa berdisiplin.

Pengalaman saya yang paling tidak terlupakan, ketika terjadinya Gerakan 30 September tahun 1965. Ketika meletus gerakan itu saya sedang berada di Pasuruan Jawa Timur, bersama sekehe gong Gunung Sari. Disini saya melihat banyak terjadi pembunuhan terhadap orang-orang Indonesia. Saya benar-benar takut sekali, makanya saya segera pulang ke Bali. Ketika tiba di Bali, saya juga mendapatkan banyak sekali orang-orang PKI yang dibunuh. Bahkan ketika tiba di Peliatan, saya juga mendapatkan hal yang sama. Ketika itu memang banyak sekali orang mau masuk PKI, karena pemimpinnya menjanjikan akan memberikan sawah seandainya PKI menang.

Rakyat bisa diiming-imingi seperti itu, karena kehidupan rakyat waktu itu sangat melarat, sangat miskin. Saya waktu itu terus menerus diintimidasi oleh PKI dan diancam akan dibunuh, karena saya tidak mau masuk PKI. Ancaman itu saya rasakan sampai 1 tahun lamanya, tetapi saya biasa-biasa saja. 

Untuk pendidikan anak-anak, saya memberikan kebebasan kepada mereka termasuk didalam menekuni seni, termasuk memilih sekolah dan jodoh.

Diantara sepuluh orang anak saya, nampaknya hanya Anak Agung Oka Dalem yang mirip dengan saya. Sedangkan didalam keluarga,  untuk mengatur keuangan saya kelola bersama-sama dengan istri, tetapi biasanya sering saya serahkan pada istri, karena saya sangat sibuk dengan seni.

Yang perlu dicatat, di keluarga ini, dari dulu tidak pernah terjadi perceraian. Maka itu, saya anjurkan bagi segenap keluarga besar Puri Kaleran, agar menghindari terjadinya perceraian. Apalagi sekarang ini. Kalau mau cerai sangat susah karena berurusan dengan pemerintah. Maka itu, kalau anak-anak saya ada yang mau cerai, reaksi saya tentulah menasehati agar itu tidak dilakukan kalau tidak terpaksa.

Apalagi dalam ajaran hindu, hal ini sangat dilarang. Karena orang hindu yang kawin sudah medewa saksi atau disaksikan oleh para dewa.

Seperti sekarang ini, walaupun saya mempunyai 3 orang istri dengan 10 orang anak, saya tertap rukun-rukun saja. Karena semua itu didasari oleh rasa saling mencintai dan penuh pengertian. Kalau pertengkaran memang sering terjadi, itu sesuatu yang wajar pada setiap suami yang banyak istri, tetapi saya bijaksana untuk menyelesaikan.

Istri saya yang pertama Oka namanya, hobinya membikin banten atau sesajen. Istri saya yang kedua bernama anom, dia senangnya menabung dan menghemat uang dan menenun. Sedangkan Wiraga senang memasak.

Tetapi yang paling humoris adalah Oka, sedangkan anom sangat pendiam. Saya sendiri sangat suka marah, kalau lama tidak marah sepertinya ada yang kurang.

Anak saya Bawa paling suka omong keras, tetapi suka bergaul. Nadri sangat ramah. Rai Dalem suka bisnis, makanya dia yang mengurus losmen dan trevel agent. Adiknya Oka yang di Jakarta juga senang bisnis, suaminya bekerja di Bank.

Sedangkan Anak Agung Arimas, kawin ke Ubud. Suaminya sangat disegani di Ubud, karena orangnya sangat ringan tangan, banyak membantu orang lain dan senang ke Pura.

Adiknya yang paling kecil, Anak Agung Putra diam di jakarta bekerja di hotel. Anak saya Anak Agung Bagus dan Oka Dalem masih singel/teruna. Bagus senang ngurus restoran, Oka Dalem masih kuliah di Arsitek Unud. Saya berharap mereka  cepat-cepat kawin. Dari sekian pengalaman yang saya alami selama hidup, menekuni seni tari dan tabuh  adalah pengalaman yang paling berkesan. Dengan seni ini saya bisa kenal dengan orang-orang penting didunia, seperti Raja Wiliam, Bung Karno, Ratu Yuliana, Carlie Caplin, Antonio Alto dari Prancis, atau Mario dari Prancis.

Mario ini adalah murid langsung seniman tari I Mario dari Tabanan. Nama ini mungkin dia pakai seperti nama gurunya. Tetapi yang paling penting, dari sekian negara, daerah yang saya kunjungi, Bali memang betul betul luar biasa. Tidak ada satu tempat pun di dunia sebaik pulau Bali ini.

Kisah sedih dan haru saya pernah alami, ketika saya mendengar teman saya Walter Speace meninggal.  Ada orang belanda mendatangi saya, agar Walter Spece bisa diaben bersama saya kalau kelak saya meninggal.

Orang ini mengatakan, pernah melihat arwahnya Walter Spece. Kisah ini mungkin terinspirasi dari pengabenan ”Bonet” bersama Cokorde Gede Agung di ubud.

Sebagai orang yang berumur panjang, saya merasakan ada perubahan yang sangat cepat di Bali. Maka itu, saya ramalkan, dimasa akan datang akan terjadi perubahan yang sangat mendasar di Bali. Satu contoh, pada jaman dahulu ketika hari raya galungan, orang-orang betul-betul sangat antusias. Karena betul-betul sakral dan diagungkan.

Tetapi sekarang ini, rasanya biasa-biasa saja, bahkan lebih semarak merayakan tahun baru. Begitu juga halnya pada jaman dahulu, kalau orang belajar pasti melalui tuhan. Artinya, sebelum belajar mereka selalu berdoa, mohon agar diberikan kemudahan.

Tetapi sekarang hal itu tidak pernah dilakukan lagi. Tuhan memang tidak pernah menghukum umatnya, tetapi akibat kita lupa dengan tuhan akibatnya dapat dirasakan.

Misalnya dunia kering atau banjir sekalian, banyak bencana dll. Dunia akan hancur atau tidak  hancur, semuanya kehendak tuhan. Yang jelas, manusia didunia ini seperti wayang, sedangkan dalangnya adalah Tuhan.

Kalau dunia ini kiamat, entah dimana lagi tuhan akan menciptakan dunia baru. Yang jelas dunia ini selalu ada baik dan buruk atau rwa bineda, tetapi yang baik akan selalu menang, dharma  selalu menang.

Semua cerita tentang manusia semuanya sudah diatur sama tuhan, walaupun akan terjadi perubahan yang sangat menyedihkan, manusia tidak akan dapat menghalangi kehendak tuhan.

Sebagai akhir cerita, saya ingin memperkenalkan diri. Waktu kecil saya sering di panggil Anak Agung Lepo, tetapi juga kadang-kadang di panggil Anak Agung Meregeg. Tetapi saya juga dibuatkan nama oleh orang tua saya yaitu Anak Agung Ngurah Mandera. Nama ini akhirnya saya pakai sampai sekarang semenjak tahun 1928. Saya juga sangat menyenangi memakai nama ini. Didalam perjalanan hidup saya juga pernah menemukan penomena alam 2 kali yaitu meletusnya gunung Batur dan meletusnya gunung Agung tahun 1963.

Tetapi meletusnya gunung Batur jauh lebih hebat dari Gunung Agung. Saya termasuk orang beruntung, karena dapat melihat kedua penomena alam tersebut. Saya yakin tidak semua dapat melihat penomena itu.
Om, Santi Santi Santi, Om


Rombongan Penari dan Tabuh
Legong Peliatan Tahun 1931
Ke Perancis
---------------

Penanggung Jawab
Cokorde Gede Raka Sukawati (Puri Kantor Ubud)
Cokerde Gede Rai (Puri Agung Peliatan)

Pimpinan,
Anak Agung Gede Ngurah Mandera

Anggota
1.  Cokorde Gde Rai
2.  IB. Ny Cim
3. I Bajra
4. Gst Oka
5.I  Gerodong
6.I  Gerindem
7.  Ngk Togog
8. Ngk Kompiang
9. I Kuwus
10. I Toblo
11. Kt. Gerudug
12. An Ag Rai Dobler
13. An Ag Kontje
14. Gst Kompiang
15. I Keredek
16. Ni Serining
17. Ni Renes
18. Ni Jabreg
19. I Wede
20. I Regog
21. I Gejer
22. I Lebah
23. I Olas
24.  Cok Gde Oka
25. Cok Gde Rai Sayan
26. Cok Ngurah Wing
27. Cok Istrti Pera
28. Cok Rai Agung Mas
29. Jero Candra
30. I Ronje (payangan)
31. An. Ag. Rai (payangan)
32. I Liang (payangan)
33. I Lasia (payangan)
34. N. Kodir (payangan)
35. Sang Ayu Ruwet (payangan)
36. Ni Tunjung (payangan)
37. Ds Merenjong (payangan)
38. Ni Renti (payangan)
39. Ni Kardi (payangan)
40. Gst Rai Mara (payangan)
41. Ni Rinceg (sanur)
42.  (saru).....(sanur)
43. Ni Jabreg (sanur)
44. I Munggah (sanur)
45. I Dugdug (sanur)
46. Cok Gde Anom
47. Cok Agung
48. Cok Oka Singapadu
49 I. Serog
50. Cok Gede Raka Sukawati
51. Anak Agung Raka Batuan


Selesai Ditulis    :  Tanggal 17 Agustus 2009
Tempat               :  Di Banjar Batur Sari Denpasar
Oleh                   :  Ir. Putu Januar Ardhana



Kurukulum Vitae
Ir. Putu Januar Ardhana

1.  Nama                                 :  Ir. Putu Januar Ardhana
2.   Tempat/Tgl. Lahir             :  Tabanan, 6 Januari 1960
3.   Alamat                              :  Jalan Sekarsari 14,  
                                                   Denpasar Timur, Bali
3.      Pekerjaan                           :  Dosen Kopertis (PNS), di
                                                   Pekerjakan di Unwar
4.      Gol/Pangkat                      :  IVb/Pembina
5.      Jabatan Akademik            :  Lektor Kepala
6.      Alumni                              :  Fakultas Pertanian
   Jurusan Hama dan
                                                   Penyakit Tumbuhan
                                                   Universitas Udayana
                                                   Denpasar
7.      Organisasi : 
a.       Forum Komunikasi GMNI
b.      Ketua Pemangku Semeton Sira Arya Gajah Para
      Bretara Sira Arya Getas Se Indonesia
c.       Pembina UKM Kempo Unwar
d.      Pelatih dan Wasit Wusu Tingkat Nasional 
      (pertama  di Bali)

8.      Penataran
a.       Penataran P-4
b.      Penataran TOT P-4
c.       Penataran Buku Ajar
d.      Kursus Kewaspadaan Nasional

9.      Penelitian Individu
a.       Pengaruh Dosis Pupuk NPK terhadap
     Tingkat Serangan Penyakit Helminthosporium
      oryzae pada Tanaman Padi
b.      Beberapa Teknik Budidaya Untuk memproduksi
Sayuran Dataran Rendah (cabai besar merah) di
Luar Musim
c.       Strategi Pengendalian Hama Terpadu Dalam
Mewujudkan Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Yang Berwawasan Lingkungan
d.      Pengaruh Dosis Pupuk Nitrogen dan Zat Pengatur
Tumbuh           Dekamon 22,3 L Terhadap Peretumbuhan dan Produksi Jamur Merang (Volvariella volvaceae)
e.       Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Cabai Merah
Pada Pemberian Dosis Pupuk Nitrogen dan Zat Pengatur Tumbuh  Dekamon 22,3 L
f.       Pengaruh Lama Rendaman Jerami dan Lama
Proses Pengomposan Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Jamur Merang (Volvariella volvaceae)
g.      Pengaruh Prekuensi Pengolahan Tanah dan Dosis
Pupuk Organik Soil Treatment (OH) Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Bawang Merah (Allium sativum L)
h.      Pengaruh Ketebalan Mulsa Jerami dan Jarak
Tanam terhadap Hasil Jamur Merang (Volvariella volvaceae)
i.        Pengaruh Media dan Usia Biakan Jamur  Soicaria
sp Terhadap tingkat kematian Helopeltis antonii

10.  Penelitian Kelompok
a.       Dampak Sosial Ekonomi Kepariwisataan di
Kelurahan Kerobokan Kabupaten Badung
b.      Dampak Pemasyarakatan dan Pembudayaan P-4
di Kabupaten Dati II Jembrana, Bali
c.       Dampak Pemasyarakatan P-4 di Desa Tertinggal
di Bali
d.      Pembuatan Amdal Kawasan Wisata Kintamani
e.       Pembuatan Amdal Kawasan Wisata Bedugul
f.       Pembuatan Amdal Kawasan Wisata Pantai Soka
g.      Pembuatan Amdal Kawasan Wisata Nusa Penida
h.      Pembuatan Amdal Kawasan Wisata Tulamben
i.        Pembuatan Amdal Kawasan Industri Celukang
Bawang
j.        Pembuatan Amdal Hotel Green Garden Kuta

11.  Bidang Yang Pernah Ditekuni
a.       Kepala Pusat Penelitian Unwar
b.      Ketua Redaksi Majalah Puslit Unwar
c.       Ketua Majalah Ilmiah Fakultas Pertanian Unwar
d.      Anggota Redaksi Majalah Ilmiah Kopertis
Wilayah VIII
e.       Anggota Redaksi Majalah Kampus Unwar

12.  Buku-Buku Yang Pernah Ditulis
a.       Diktat Dasar Dasar Perlindungan Tanaman
b.      Diktat Ilmu Alamiah Dasar
c.       Diktat Pengendalian Hama Terpadu
d.      Pula Pali Sane Kemargiang Di Pura Antap
Klungkung
e.       Pula Pali Di Sanggah Merajan di Bali
f.       Tetikasan Kepemangkuan
g.      Lalintih Sira Arya Gajah Para dan Bretara Sira
Arya Getas
h.      Gaguritan Sira Arya Gajah Para.
i.        Selayang Pandang A.A. Gede Mandera
j.        Selayang Pandang Pura Suralaya Banda
k.      Selayang Pandang Sanggah Pamerajan Di Bali

13.  Karya Yang Lain.
a.       Mengkomputerisasi Lontar Siwa Gama
b.      Mengkomputerisasi Lontar Ganapati Tatwa
c.       Mengkomputerisasi Lontar Kekawin Darma
Wijaya
d.      Mengkomputerisasi Lontar kekawin Arjuna
Premada
e.       Mengkomputerisasi Lontar Kekawin Saba Parwa
f.       Mengkomputerisasi Lontar Kekawin Swarga
Rohana
g.      Mengkomputerisasi Lontar Kekawin Mosala
Parwa
h.      Mengkomputerisasi Lontar Kekawin Jarasanda
i.        Mengkomputerisasi Kekawin Karna Antaka
j.        Mengkomputerisasi Lontar Kekawin Kangsa
Antaka
k.      Mengkomputerisasi Lontar Kala Tatwa
l.        Mengkomputerisasi Lontar  Lebur Gangsa
m.    Mengkomputerisasi Lontar Janana Tattwa.
n.      Mengkomputerisasi Lontar Kekawin Hariwangsa.
o.      Mengkomputerisasi Lontar Wirata Parwa
p.      Mengkomputerisasi Lontar Kekawin Bima
Wijaya
q.      Mengkomputerisasi Lontar Udiyoga Parwa
r.        Mengkomputerisasi Lontar Kakawin Brahmanda
Purana
s.       Mengkomputerisasi Lontar Astupungku
t.        Mengkomputerisasi Lontar  Brahmokta
u.      Mengkomputerisasi Lontar Sri Tattwa
v.      Mengkomputerisasi Lontar Dasa Kanda
w.    Mengkomputerisasi Lontar Kamahanikam
x.      Mengkomputerisasi Lontar Putru saji
y.      Mengkomputerisasi Lontar Haji Kanda
z.       Mengkomputerisasi Lontar Rudra Purana
aa.   Mengkomputerisasi Lontar Siwa Purana
bb.  Mengkomputerisasi Lontar Stri Pralapita
cc.   Mengkomputerisasi Lontar  Calonarang
dd. Mengkomputerisasi Lontar Dewa Ruci
ee.   Mengkomputerisasi Lontar Gagak Aking
ff.    Mengkomputerisasi Lontar Kunjara Karna
gg.  Mengkomputerisasi Lontar Tata Buana
hh.  Mengkomputerisasi Lontar Tatwa Siwa Purana
ii.      Mengkomputerisasi Lontar Tatwa Bujangga Bali
jj.      Mengkomputerisasi Lontar Slokantara




Ir. Putu Januar Ardhana
(Trah/Bhatara Kawitan: Sira Arya Gajah Para Bretara Sira Arya Getas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar