EKSISTENSI
A.A. GEDE
NGURAH MANDERA
SENIMAN TABUH DAN TARI

OLEH
A.A. GDE RAMA PUJAWAN DALEM,SH.MH.
IR. PUTU JANUAR ARDHANA
DESA PELIATAN UBUD
GIANYAR BALI
2009
EKSISTENSI
ANAK AGUNG GEDE
NGURAH MANDERA
SENIMAN TABUH DAN TARI
PURI KALERAN PELIATAN UBUD
I. Masa Kanak-Kanak
1.1. Masa Bermain
Saya terlahir dengan nama Anak Agung Lepo, dengan
kondisi sama dengan anak-anak lain. Sebagaimana halnya anak-anak desa pada umumnya, yang ada di Bali
waktu itu, walaupun saya terlahir di Puri.
Saya masuk sekolah rakyat, setelah berumur 12
tahun. Sekolah saya cukup jauh, yang berlokasi di kota Gianyar. Tetapi saya
hanya bersekolah, sampai kelas 3 di Gianyar. Selanjutnya saya pindah ke sekolah HIS yang ada di Denpasar.
Saya bisa diterima di sekolah ini berkat rekomendasi Anak Agung Gede Ngurah
dari Gianyar. Beliau waktu itu, menjadi Raja di Gianyar. Itulah sebabnya saya
bisa sekolah di sana. Seperti diketahui sekolah ini sebenarnya hanya diperuntukkan
bagi anak-anak Belanda dan anak-anak raja atau anak-anak orang kaya.
Tetapi saya bukan orang belanda, bukan anak raja,
dan bukan pula anak orang kaya. Maka itu, dalam kesempatan ini, sekali lagi
saya mengucapkan banyak terimakasih, kepada Anak Agung Gede Ngurah. Karena
berkat jasa beliau saya bisa bersekolah di HIS. Waktu itu pemerintah sebenarnya
sudah menerapkan wajib belajar, tetapi anak-anak sangat takut untuk sekolah. Makanya
anak-anak banyak yang sembunyi, kalau disuruh bersekolah oleh orang tuanya. Ada
beberapa hal yang menyebabkan Anak-anak sangat takut untuk bersekolah waktu itu.
Salah satu sebabnya adalah, metode yang diterapkan waktu itu sangat keras. Bagi
murid-murid yang bodoh, biasanya dipukuli sampai berdarah-darah oleh guru
pengajar. Sehingga sekolah bagi anak-anak yang bodoh dan kurang belajar,
benar-benar bagai neraka. Saya sendiri sering kena pukul oleh guru-guru kelas
saya, padahal saya tidak termasuk anak bodoh. Makanya saya tidak berani kesekolah
kalau malamnya tidak belajar. Dampak baiknya, saya tidak berani tidak belajar
kalau akan sekolah. Kerasnya metode pengajaran waktu itu, yang menyebabkan
banyak teman-teman saya yang berhenti sekolah, takut dipukul.
Ketika saya bersekolah di Gianyar, saya pulang
pergi antara desa Peliatan dan kota Gianyar. Jarak sekolah saya waktu itu cukup
jauh, maklum belum ada jalan bagus, apalagi mobil seperti sekarang.
Makanya kadang-kadang saya menginap di rumah teman
saya, yaitu di Gria, yang kebetulan letaknya berdekatan dengan sekolah. Kalau saya menginap, untuk makannya saya dibawakan dari rumah di Peliatan.
Seperti saya katakan tadi, Peliatan dan Gianyar pada waktu itu masih merupakan
tempat yang cukup jauh, maklum semua berjalan kaki.
Waktu saya sekolah, satu kelas banyaknya 40 orang
dengan rata-rata umur 12 tahun. Sedangkan murid yang berasal dari desa Peliatan
waktu itu hanya 4 orang termasuk saya dan teman-teman saya kebanyakan dari desa
Pejeng. Setelah tiga tahun di Gianyar, saya pindah ke sekolah Belanda HIS. Disekolah
ini saya langsung dimasukkan di kelas 3. Guru-gurunya kebanyakan orang Belanda
dan galak-galak. Pelajaran yang paling saya senangi adalah menggambar dan bernyanyi.
Sekolah di HIS seharusnya sampai kelas 6, tetapi saya berhenti di kelas 5. Artinya saya bersekolah selama 2 tahun di sini.
Kenapa saya berhenti, karena waktu itu terjadi linuh
atau gempa yang sangat dasyat. Gempa ini disebabkan karena meletusnya gunung
Batur yang berlokasi di Kintamani Bangli. Banyak sekali rumah-rumah penduduk
yang rusak parah, termasuk gedung sekolah tempat saya sekolah itu. Gempa ini bahkan menurut saya merupakan gempa terbesar
yang pernah terjadi di Bali.
Jaman ketika itu, oleh orang Bali disebut jaman
gejer yang artinya bergetar. Kejadian gempa itu, tepatnya tahun 1917.
Tetapi untunglah ketika gempa ini terjadi saya
sedang berada di rumah, di Peliatan. Rumah saya termasuk yang rusak berat,
jalan-jalan tertutup pohon, abu terus menerus turun sampai menghalangi
pandangan mata. Pada siang hari seperti malam, karena tebalnya hujan abu waktu
itu, sehingga saya semua tidak bisa pergi kemana-mana.
Orang-orang menganggap dunia akan kiamat, makanya mereka semua berkumpul di Pura/tempat
pemujaan masing-masing. Maksudnya, kalau mereka mati biar mati bersama. Kerusakan
ini juga menyebabkan gedung sekolah saya di Gianyar rusak parah, makanya saya
pindah sekolah, kesekolah Belanda di
Denpasar.
Tetapi sebelum menamatkan sekolah, saya berhenti sekolah
karena kecanduan main musik. Dari main musik inilah akhirnya saya menekuni
permainan kendang sampai sekarang ini.
1.2. Belajar Bermain Kendang
Setelah saya berhenti bersekolah, saya mulai tergila-gila
dengan instrumen kendang. Akhirnya saya belajar makendang dari Anak
Agung Raka Gendot. Beliau berasal dari puri Kawan Peliatan, dan
pekerjaan beliau sehari-hari adalah petani.
Disamping pinter main kendang, beliau juga seorang
penari, biasanya sebagai penasar. Beliau sangat senang mengajari saya makendang,
mungkin karena saya sungguh-sungguh dan cepat menangkap yang diajarkan.
Setelah saya bisa makendang, lalu ada keinginan saya
untuk mementaskan keahlian saya di muka umum. Akhirnya pada tahun 1922, saya
mempunyai pemikiran membuat barong barongan. Kenapa saya membuat
barong-barongan ini, karena saya ingin makendang. Barong ini saya buat dengan
cara yang sangat sederhana, karena bulunya dibuat dari daun papah buah (pohon
pinang).
Barong pertama yang saya buat adalah berupa barong
bangkung atau babi betina. Perkumpulan ini mula-mula terdiri dari 25 orang, dan
semuanya masih anak-anak. Barong ini biasanya saya pentaskan pada saat
hari-hari besar agama hindu, misalnya hari raya galungan dan hari raya kuningan.
Pentas dimuka umum ini disebut ngelawang atau kupahan (setelah pentas langsung
dapat uang)
Kupahan artinya, setelah kita selesai pentas, kami
diberikan uang oleh yang nanggap. Sedangkan sebagai pengiring dari tari barong
ini adalah congklik/tingklik, dan saya
sebagai pemukul kendangnya.
Congklik adalah gambelan, yang dibuat dari pohon bambu.
Antosias masyarakat untuk menonton barong saya ternyata diluar dugaan, karena
mereka benar-benar sangat senang.
Apalagi perkumpulan ini semua anggotanya terdiri
dari anak-anak. Disinilah kesempatan saya mempertontonkan kepandaian saya makendang
kepada masyarakat, saya benar-benar senang, karena banyak yang memberikan
pujian kepada saya. Pada tahun 1923 akhirnya saya membuat barong keket, saya pariasikan dengan kesenian arja dan
baris cina.
Pada tahun 1924 lagi-lagi saya membuat barong bangkal
(babi jantan). Barong ini bahannya sudah permanen, saya buat dari kulit sapi
yang dipulas atau dicat dengan prada berwarna kuning emas.
II. MASA REMAJA
2.1. Diangkat Sebagai Pegawai
Pemerintah
Ketika saya memasuki usia remaja, saya diangkat
menjadi pegawai pemerintah Belanda. Pada jaman belanda, tidak mudah untuk
menjadi pegawai pemerintah. Diperlukan
syarat-syarat yang sangat berat, terutama pendidikan. Seperti saya utarakan
tadi, jarang sekali orang Bali waktu itu yang bersekolah. Apalagi yang sampai,
menamatkan sekolah. Saya sendiri sekolah tidak sampai selesai/tamat. Hanya
sampai di kelas 5, tetapi kelas 5 pada waktu itu termasuk sudah tingkat tinggi.
Makanya pada tahun 1924 saya diangkat sebagai pegawai pemerintah, yaitu menjadi
tukang ceraken.
Mulai saat itu, pekerjaan saya sehari-hari, adalah
mengukur tanah orang lain. Jadi tugas saya, mendata berapa jumlah orang yang punya
tanah atau berapa jumlah tanahnya. Wilayah tugas tukang ceraken ini meliputi beberapa daerah yaitu Bangli, Gianyar
sampai ke Ubud dan Peliatan. Tukang ceraken ini sebenarnya, suatu lembaga dibawah
kontrol pemerintah Belanda.
Akhir tahun 1925 saya diangkat menjadi sedahan
abian (tukang pungut pajak tanah) di Gianyar. Berselang beberapa lama, saya
dipindahkan ke desa Peliatan. Juga sebagai sedahan tetapi membawahi 2 distrik
yaitu distrik Peliatan dan distrik Ubud.
Pada waktu itu, saya sebenarnya sangat sibuk dengan urusan-urusan kantor. Tetapi masalah seni, tetap saya lakoni,
termasuk acara ngelawang. Tetapi ngelawang ini saya lakoni, setelah datang dari
bekerja atau sesudah pulang jam kantor. Pada saat ngelawang, banyak sekali
orang nanggap barong kami ini, sehingga kami
mendapat kesenangan batin, dan tentunya mendapat banyak uang waktu itu.
2.2. Membentuk Seke Arja
Setelah Malang melintang kami ngelawang, akhirnya kami mempunyai banyak
uang. Uang ini selanjutnya kami pakai untuk membuat barong yang lebih baik lagi. Untuk
itulah pada tahun 1952, kami memutuskan membuat barong yang lebih baik dari yang terdahulu.
Adapun barong yang kami buat sekarang berupa “Barong Bangkal”. Bangkal adalah
babi jantan yang mempunyai gigi panjang-panjang. Bahan-bahan perhiasan barong
bangkal ini sudah memakai belulang (kulit sapi). Sehingga barongnya nampak
lebih hidup dan seram dibandingkan dengan barong yang saya buat dahulu. Untuk
menyemarakkan dalam setiap pertunjukkannya saya juga mendirikan “grup arja”.
Arja adalah sejenis opera persi Bali. Para pemainnya disamping menari juga
memakai nyanyian dalam berdialog.
Maka itu, pemain arja adalah orang yang serba
bisa. Artinya, mereka harus bisa menari dan juga harus bisa
bernyanyi. Kemampuan seperti ini sangat jarang dimiliki oleh seseorang.
Setelah terbentuknya seke arja, acara ngelawang
tidak hanya diisi oleh tari barong saja, tetapi sudah saya sisipi dengan tari
arja. Acara ngelawangnya pun sudah tidak di sekitar desa Peliatan, tetapi sudah
merambah ke Klungkung, Gianyar, Bangli bahkan kadang-kadang sampai ketempat
yang jauh yaitu ke Singaraja Buleleng.
Ketika ngelawang ke Singaraja misalnya, sekehe ini
memerlukan waktu satu hari penuh untuk tiba di Singaraja. Karena pada waktu itu
belum ada kendaraan bermotor, makanya perjalanan ke Singaraja hanya berjalan kaki
saja. Betul-betul perjalanan yang melelahkan, apalagi dipundak dan dikepala kami
terdapat beban yang cukup berat, berupa pakaian tari. Perjalanan yang berat ini
terkadang hilang dan tidak terasa, karena dikalahkan oleh rasa senang akan
menari nantinya.
Biasanya kami berangkat pukul 4.00 Wita dan baru
sampai di Singaraja pukul 18.00 Wita. Jadi perjalanannya memerlukan waktu kira-kira
14 jam. Bayangkan sekarang ini, apa ada orang mau melakoni hal seperti ini.
Sekehe kami ini jumlahnya, 30 orang yang terdiri dari penari dan penabuh.
Upah arja sekali pentas antara 1000 kepeng
sampai 5000 kepeng, tergantung perjanjian dengan yang mengupah. Artinya sebelum
pentas, ada tawar menawar antara saya sebagai pimpinan sekehe dengan yang
nanggap atau yang ngupah. Setelah ongkos disepakati, barulah saya menari di
tempat yang telah ditentukan. Sedangkan cerita yang sering saya bawakan adalah cerita
“Sampek Eng Thae”. I Sampek itu adalah
nama pemeran yang laki, sedangkan Eng Thae adalah pemeran yang perempuan. Cerita
ini sebenarnya merupakan cerita rakyat, yang berasal dari negeri Cina.
Adapun Ceritanya adalah, ada dua tokoh bernama I Sampek
(laki-laki), dan nyonyah Eng Thae (perempuan). Mereka berdua sama-sama bersekolah
di Wisesa Negara. Kedua murid ini sangat pintar. Pada waktu Eng Thae
bersekolah, tidak ada yang tahu kalau Eng Thae ini perempuan. Karena Eng Thae
menyamar menjadi seorang laki-laki.
Tetapi lama kelamaan akhirnya I Sampek tahu kalau
Eng Thae itu perempuan. Hal ini diketahui sewaktu Eng Thae sedang mandi. Dimana
Eng Thae membuka pakaiannya dan secara kebetulan dilihat oleh I Sampek. Betapa
kagumnya I Sampek Akan kecantikan Eng Thae. Akhirnya keduanya terlibat
percintaan. Kemudian Eng Thae membuat janji, bahwa dia mau kawin dengan I
Sampek.
Karena rumah Eng Thae jauh, maka dia pesan agar I Sampek
segera meminangnya, dengan batas waktu yang sudah ditentukan.
Nyonyah Eng Thae memberikan pesan dengan sebuah
kata sandi pada I Sampek. Dia bilang begini ”telu pitu, patpat nemnem, dua
kutus sengker titiange” (tiga tujuh, empat enam, dua delapan batas waktu yang
saya berikan). Kata sandi yang diberikan Eng Thae kepada I Sampek. Kira-kira
artinya begini, 3 + 7 = 10, 4 + 6 = 10, 2 + 8 = 10, itu adalah batas yang Eng
Thae berikan. Kalau sandi ini dipecahkan, bahwa I Sampek agar menjemput dirinya,
sebelum menginjak hari kesepuluh mulai hari ini.
Kenapa angka sepuluh diulang-ulang, itu artinya menekankan
agar I Sampek jangan sampai lupa batas 10 hari ini. Angka 10 diulang-ulang 3
kali, artinya dia ingin menegaskan, jangan lupa 10 hari.
Tetapi I Sampek ternyata salah mengartikan, angka-angka
itu dia jumlahkan semua. Sehingga jumlah angkanya menjadi 30 hari, sebab angka
sepuluh disebut tiga kali. Sehingga I Sampik berpikiran, dia harus menjemput
Eng Thae 30 hari dari sekarang. Tiga puluh hari kemudian, datanglah I Sampek
menemui Eng Thae untuk dipinang, dengan
membawa oleh-oleh yang banyak. Tetapi malang, Eng Thae waktu itu ternyata sudah
kawin dengan orang lain.
Suaminya bernama I Babah Macun, karena I Sampek
terlambat 20 hari. Eng Thae akhirnya bertanya kepada I Sampek, kenapa dia baru
datang.
Bukankah waktu yang saya berikan 10 hari, dan
sekarang saya sudah bersuami. I Sampek
sangat kaget, karena mereka merasa diolok-olok, sehingga I Sampek jatuh sakit.
Ketika Dia sakit, I Sampek menulis surat dan bunyinya seperti ini, Eng Thai
kalau saya meninggal nanti, tolong tengok kuburan saya.
Nah ketika I Sampek meninggal, Eng Thai datang
dengan suaminya I Babah Macun. Eng Thai merasa kasihan dengan I Sampek. Karena
sangat kasihan, lalu Eng Thae membongkar kuburan I Sampek. Didalam kuburan itu,
Eng Thae ternyata melihat ada lobang. Eng Thai lalu masuk ke dalam lobang itu. I Babah Macun melihat
Eng Thai berbuat seperti itu, hatinya sangat kaget dan bingung.
Tanpa berpikir panjang lagi, dia kemudian mengupah orang-orang untuk
membongkar kuburan itu. Ketika kuburan itu dibongkar, terlihat 2 ekor kupu-kupu
terbang keluar dari kuburan I Sampek.
Cerita ini menurut saya, betul-betul sangat bagus.
Kupu-kupu itu menandakan, kedua roh orang itu langsung terbang ke Sorga loka.
Dua kupu-kupu inilah suatu saat memberikan inspirasi
kepada saya tentang idea terciptanya “Tari
Oleg Tambulilingan”.
2.3. Membentuk Seke Gong Kebyar
Saya ceritakan lagi ketika saya menari di
Singaraja, ada hal yang paling berkesan di hati saya waktu itu. Tepatnya
ketika saya ditanggap dan menari di Desa
Munduk. Ketika sedang bermalam di desa ini, saya mendengar ada suara gong
kebyar di kejauhan. Pada saat itu, kebetulan disana ada orang sedang latihan
menabuh gong kebyar. Saya bersama rombongan segera pergi menontonnya, seluruh
anggota seperti tersihir menyaksikan orang latihan gong kebiar ini, betul-betul
indah dan sangat dinamis. Penabuh kendangnya seperti sedang menarikan tarian
Subali Sugriwa. Seperti diketahui, Subali Sugriwa adalah 2 ekor kera sakti yang
bersaudara kandung, yang berkelahi karena memperebutkan seorang bidadari
cantik.
Setelah saya amati, gong kebyar ini ternyata
daunnya/wilahannya berjumlah 10 buah, sehingga agaknya lebih gampang kalau
bikin lagu. Suara gambelannyapun akan
lebih meriah dan indah.
Tetapi waktu itu, ketika pertama kali saya
mendengar gong kebiar ini, terus terang kepala saya agak pusing, mungkin karena
suaranya terlalu keras.
Tetapi dipikiran saya terus terbayang, betapa
semaraknya suara gong kebiar ini. Didalam hati saya selalu bertekad, suatu saat
saya harus mempunyai gong kebiar
Setelah sekian hari berada di Singaraja, kami
akhirnya pulang ke ubud. Didalam perjalanan pulang, lagi-lagi sekehe ini ada
yang ngupah dijalan-jalan.
Bahkan ada yang ngupah untuk manggung, lagi-lagi arja kami ini bermalam untuk menari. Makanya memerlukan waktu dua hari baru tiba
di rumah, di desa peliatan. Ketika saya sudah sampai di rumah, hal pertama yang
diminta oleh sekehe ini adalah, agar saya
bisa mengusahakan mempunyai seperangkat
gong kebiar ini.
Keinginan sekehe ini nampaknya, seperti dipucuk
ulam tiba. Di Gria Gunung Sari ada seorang Pedanda, yang mempunyai seperangkat
gong kebiar. Gong kebiar ini adalah hadiah dari sesorang yang berasal dari desa
Sawan di Singaraja. Suatu ketika beliau Ida Pedanda diminta tolong, oleh warga
pande di Singaraja untuk muput pelaksanaan upacara pengabenan di desa Sawan
Singaraja. Setelah pekerjaan ngaben ini sukses, sebagai rasa terimakasih
masyarakat pande di desa Sawan, lalu menghaturkan seperangkat gong kebiar
kepada Ida Pedanda.
Dengan diantar oleh ayah, saya tangkil atau menghadap
kepada Ida Ratu Pedanda yang melingih di Gria Gunung Sari. Saya menanyakan apa
betul, beliau mendapatkan hadiah seperangkat gong kebiar. Tanpa dinyana, beliau
membenarkan, bahkan menawarkan kepada saya, untuk membawa gong kebyar ini ke puri
Kaleran dan mencarikan sekehe. Tentulah
hal ini betul-betul sangat menggembirakan saya saat itu. Tidak bisa
terbayangkan betapa senangnya hati saya ini.
2.4. Belajar Menabuh
Pertama-tama yang saya lakukan setelah gong kebiar
ini berada di puri Kaleran adalah, memanggil guru tabuh. Guru pertama yang saya
cari adalah, dari desa Batubulan, namanya ”Si
Pasung Grigis”. Ketika Si Pasung Grigis mengajar kami, beliau juga mengajak
lima orang temannya. Tetapi saya lupa, nama dari kelima nama orang ini.
Setelah beberapa bulan, barulah sekehe ini bisa
menabuh sedikit-sedikit. Untuk lebih meningkatkan kemampuan sekehe ini, saya
menghadap lagi kepada Ida Pedanda di Gunung Sari agar dicarikan pelatih tabuh dari Singaraja. Ida
Pedanda ternyata mengenal seorang guru tabuh dari Singaraja, dan secara kebetulan
orang ini bekerja di Gianyar sebagai penjual “opium/candu”. Namanya I Ketut Madu.
Orang inilah kemudian mengajarkan saya menabuh
sampai 3 bulan lamanya, sampai kami mahir menabuh gong kebyar.
Maka itu, ketika I Ketut Madu punya pekerjaan adat
di Singaraja, saya diundang untuk menabuh di sana. Inilah pertama kali saya
menabuh gong kebyar di muka umum. Perasaan kami betul-betul senang dan puas.
Setelah itu, kami mulai pentas di beberapa tempat,
sampai akhirnya datang tawaran untuk melawat ke luar negeri.
III. MASA DEWASA
3.1. Tawaran Ke Paris Prancis
Setelah sekian lama kami berlatih dan berpentas
ria, tentulah kami sudah mengusai dengan baik gong kebiar ini. Sampai akhirnya
tahun 1925, Saya didatangi oleh ”Cokorde Gede Raka Sukawati”. Beliau ini merupakan
kerabat puri Ubud, tetapi beliau bertempat tinggal di Jakarta. Beliau menawarkan, apakah sekehe ini mau
dia ajak ke “kota Paris” di Perancis.
Mula-mula tentulah saya menolak, karena takut dan tidak
bisa membayangkan entah dimana negara itu. Saya berpikir, kota singaraja saja sudah
jauh, apalagi kota Paris Perancis. Tetapi setelah Cokorda Gede Raka Sukawati
memberikan penjelasan dengan panjang lebar, Saya menjadi sedikit tertarik
dengan tawaran beliau. Bahkan beliau mengatakan, kalau mau berangkat, beliau
akan selalu mendampingi. Mulai berangkat
dari Bali, sampai ke Perancis bahkan sampai kepulangan ke Bali.
Setelah terjadi pembicaraan yang panjang lebar, akhirnya
saya menyanggupi untuk pergi melawat ke Paris Perancis. Mulai saat itu, kami tambah
giat berlatih, pagi siang sore bahkan
sampai malam hari.
Pada suatu kesempatan, seluruh kerabat puri Ubud,
datang menonton kemampuan saya menabuh di puri Kaleran ini. Mereka sangat
senang dan kagum, dengan kemampuan sekehe ini menabuh.
Bahkan mereka sempat menanyakan, milik siapa gamelan ini. Saya mengatakan, gamelan ini milik Ida Pedanda dari Gria Gunung Sari.
Ketika mempersiapkan keberangkatan kami ke Paris,
tentulah gamelan merupakan hambatan utama, karena kami belum punya gambelan.
Maka itu, jalan satu-satunya saya menanyakan kepada Ida Pedanda Gunung Sari,
bolehkah gamelan ini di bawa ke Paris. Ida Pedanda membolehkan, asal di sewa
sebesar 200 ringgit uang Belanda. Sewa
sebesar itu, tentulah sangat mahal waktu
itu. Sewa gamelan sebesar ini juga saya sampaikan kepada Cokorde Gede Raka Sukawati.
Beliau menganggap, sewa sebesar ini sangat mahal.
Maka itu, diputuskanlah untuk membuat saja seperangkat gamelan.
Walaupun harganya mahal, tetapi tentulah menjadi milik sendiri. Akhirnya dengan
segala pertimbangan, saya memutuskan untuk membuat gamelan. Gamelan ini akhirnya saya buat di Desa
Tihingan Klungkung. Karena kekurangan uang, menyebabkan gambelan yang saya buat
di Tihingan ini belum lengkap.
Atas inisiatip Cokorde Gede Raka Sukawati, kekurangannya
dipinjamkan di jero Dangin Belaluan Denpasar. Jero Belaluan ini sendiri
tepatnya terletak di dekat Bali Hotel Denpasar. Bali Hotel itu sendiri adalah
merupakan Hotel yang sangat terkenal waktu itu.
Adapun alat-alat yang dipinjam adalah, reong,
terompong, dan jublag. Atas kebaikan Jero Dangin ini, saya diberikan mengubah
bunyinya agar sesuai dengan gamelan saya. Bahkan kayunya atau plawahnya juga
diganti agar penampilannya sama dengan gamelan yang saya punya.
Maka itu, dalam kesempatan ini sekali lagi saya
mengucapkan banyak terimakasih kepada segenap warga Jero Dangin Belaluan
Denpasar, karena atas kemurahannya memberikan pinjaman itu, kami bisa sukses di
Paris.
Setelah gamelannya terkumpul, barulah saya mencari
penari-penarinya. Penari-penari ini hampir sebagian besar adalah kerabat dari
Cokorde Gede Raka Sakawati yang diambil dari berbagai tempat. Penari janger
misalnya, anggotanya berasal dari desa Sanur, desa Pejeng, desa Kedewatan, desa
Singapadu dan dari desa Ubud. Akhirnya pada tahun 1931, kami terbang ke kota Paris
untuk berpentas
Sedangkan persiapan untuk melawat ke kota Paris
ini, saya persiapkan selama 5 tahun. Semenjak
dari tahun 1925 sampai tahun 1931. Sedangkan pelatih gong kebiarnya bernama I
Ketut Madu dari Singaraja.
3.2. Perjalanan ke Paris
Dengan rasa bangga dan senang, pada tanggal 31 agustus 1931, rombongan ini akhirnya berangkat
ke Paris. Jumlah anggota seluruhnya, semuanya 51 orang. Penabuhnya berjumlah 25
orang, sedangkan sisanya adalah penari.
Saya berangkat dari Singaraja menuju Jakarta dan di
Jakarta menginap selama dua hari, untuk menunggu kapal. Akhirnya saya berangkat
dengan kapal dagang dari Jakarta menuju Teluk Betung. Teluk Betung adalah
sebuah tempat di pulau Sumatra. Dari Teluk Betung menuju kota Padang, dari
Padang ke pelabuhan Aden. Aden adalah sebuah pelabuhan laut yang sangat
terkenal di Afrika. Yang paling berkesan dan tidak terlupakan bagi saya selama
perjalanan laut adalah, ketika kapal melewati laut Kolombo. Ombaknya
betul-betul besar, sehingga hampir semua anggota rombongan mengalami mabuk laut.
Bahkan ada yang mabuk sampai mengeluarkan cacing dari mulutnya, betul-betul ombaknya
sangat menakutkan, tetapi syukur saya sendiri tidak mabuk.
Akhirnya, Kapal yang mengangkut saya dan rombongan
berlabuh di pelabuhan laut Leiden.
Ketika tiba disini, udaranya sangat dingin, karena
pada waktu itu sudah bulan september. Di Bali pada waktu itu sudah sasih kapat,
artinya sudah memasuki musim dingin. Untunglah semua membawa mantel, yang
diberikan ketika saya masih di Bali. Sehingga
rasa dingin yang menusuk tulang dapat dikurangi. Tetapi saya senang, karena
semua rombongan dalam keadaan sehat walafiat. Di kota Leiden saya melihat
sesuatu yang sangat aneh dan menggelikan. Saya katakan aneh dan menggelikan
karena tumben saya melihat pemandangan seperti ini.
Saya melihat ada segerombolan manusia yang
warnanya hitam pekat, hanya giginya saja berwarna putih. Betul-betul
pemandangan yang sangat aneh, bagi saya semua waktu itu. Sampai-sampai saya tidak
berani turun dari kapal, betul-betul menakutkan melihat manusia hitam pekat seperti
itu. Belakangan saya baru tahu, mereka ternyata orang negro dari afrika,
mungkin hampir sama dengan saudara kita di Irian Jaya
Besoknya saya berlayar lagi melewati North The Sea
menuju Terusan Zues, di Afrika. Melalui
Terusan Zues ini, selanjutnya kami berlayar menuju benua Eropa.
Kota yang saya simpangi pertama di Eropa adalah
Marseilles di Perancis. Setelah saya hitung-hitung, ternyata perjalanan saya dari
Jakarta sampai Marseilles sudah mencapai 30 hari. Dari Marseilles ini, saya
menuju Denhaag di Belanda melewati kota Paris. Setelah di Denhaag saya segera
diajak menghadap Raja William.
Tetapi tempat kami pentas sebenarnya di Amsterdam.
Di Kota Amsterdam inilah, untuk pertama kalinya kami pentas menari di Eropa. Setelah
menari di Amsterdam, saya menari di Heitlo tempat kediaman Raja William. Ketika kami pentas di Heitlo, nampaknya Raja Wiliam sangat
menikmati suguhan pertunjukan kami, beliau benar-benar terpesona. Dari
pandangan saya, beliau adalah sosok tinggi besar. Sedangkan Ibunya Raja Wiliam katanya
bernama Ema, tetapi ketika itu beliau sedang sakit. Makanya tidak ikut menonton.
Sedangkan anaknya raja Wiliam, bernama Yuliana. Ketika
itu beliau baru remaja, wajahnya tidak terlalu
cantik sekali, tetapi sangat anggun. Kata orang beliau adalah calon Ratu
Belanda nantinya
Ketika itu, kami menari di sebuah gedung tertutup.
Selain anggota kerajaan, orang
lain tidak boleh masuk ruangan ini. Setelah pertunjukan selesai, Raja William
mendatangi saya.
Mungkin mereka merasa senang menonton kami. Kata-katanya yang paling berkesan dan
selalu saya ingat kepada saya adalah, kenapa ada orang Bali berani datang ke
Eropa katanya. Beliau mengatakan itu, ketika kami sedang disuguhi makan.
Makanannya enak, betul-betul enak. Ikan dan
dagingnya banyak sekali, bahkan para awak kapalpun disuruh ikut makan bersama.
Betul-betul suasana yang menyenangkan dan sangat mengesankan. Ketika Raja
William akan meninggalkan saya, saya memberikan salam perpisahan. Salam perpisahan
ini, sudah diajarkan sebelumnya oleh Cokorde Gede Raka Sukawati.
Adapun bunyi salam perpisahan itu adalah ”Long
Life De Kneighen”, artinya semoga panjang umur.
Di Kota Denhaag ini, kami pentas selama 14 hari. Selama berada di kota ini, jarang sekali saya
keluar jalan-jalan. Disamping
karena sibuk mempersiapkan pementasan, juga karena saya tidak mengerti bahasa
disini. Untuk itulah lebih baik saya diam di penginapan, kecuali akan menari.
Setelah dua minggu di Denhaag, akhirnya kami
menuju Kota Paris. Ketika tiba di paris, hujan turun deras sekali. Sehingga
hawanya sangat dingin, lebih dingin dibandingkan di Ubud, walaupun pada sasih
karo misalnya (musim dingin di Bali).
3.3. Berpentasria Di Paris
Di kota Paris ketika itu, ada pasar dunia. Sekarang
ini, mungkin disebut Ekspo. Kotanya sangat ramai, bersih dan indah sekali. Di kota Paris, kami ditempatkan di paviliun
Belanda oleh panitia. Di sini kami pentas setiap hari selama 2 minggu, kecuali
hari minggu. Setiap pementasan, penontonnya
selalu penuh, bahkan sehari sebelum pementasan tiket masuk biasanya sudah habis
terjual.
Suatu ketika, paviliun tempat kami pentas terbakar.
Adapun kronologis kejadiannya
seperti ini. Pada jam 23.00 (pukul 11 malam), kami mendengar bunyi sirena meraung-raung,
kata orang di sini, itu sirena kebakaran. Seketika saya dan teman-teman
melihat-lihat kesekeliling kami, ternyata kami tidak melihat tanda-tanda ada
kebakaran. Makanya, kami kembali ke tempat masing-masing untuk istirahat. Tepat
pada jam 4 pagi, kami dibangunkan lagi, ternyata papiliun yang kami tempati,
sudah terbakar hebat.
Kami melihat api sangat besar membakar papiliun
ini, sehingga kami semua berlari tunggang langgang, meloncati pagar untuk bisa menjauh
dari lokasi kebakaran. Tetapi untunglah, tempat yang terbakar dengan tempat
pentas letaknya berbeda.
Sehingga, gamelan serta alat-alat pentas semua selamat. Sekali
lagi saya katakan untung dan untung, walaupun sudah terbakar, seperti prinsip
orang Bali yang selalu untung.
Terbakarnya papiliun ini, menyebabkan orang-orang
Belanda sangat kecewa. Mereka bertekad, untuk membangun kembali tempat ini,
makanya mereka bekerja siang dan malam.
Akhirnya setelah 40 hari, gedung ini dapat mereka rampungkan kembali. Dari
pandangan saya, bangunan ini terkesan jauh lebih baik dari yang sebelumnya. Setelah
selesai, gedung ini lalu diresmikan oleh anaknya Raja William yang bernama Yuliana,
yang sekaranmg ini sudah menjadi Ratu di negerinya, Belanda.
3.4. Bertemu Calon Ratu Belanda
Ketika beliau calon Ratu Belanda datang, kami
sambut dengan iringan gong, serta penari Bali seluruhnya. Saya melihat Yuliana
menangis, beliau mengatakan sangat sedih melihat orang Bali disini, yang
diterlantarkan. Sebagai tanda kasih beliau, untuk selanjutnya selama kami di Perancis
kami dikawal oleh tentara Kerajaan Belanda demi keamanan. Tetapi Selama perbaikan papiliun
yang terbakar ini, kami tetap mengadakan pertunjukan. Tetapi tempat kami
menari, di sebuah ruangan tertutup, yang ada di sebelah papiliun Belanda ini.
Selain kami dari Bali, waktu itu ternyata juga ada
rombongan kesenian dari Kamboja yang ikut pentas di sini. Makanya kami disini
seolah-olah sedang berfestipal.
Rombongan kesenian yang dari kamboja ini, ternyata
juga memakai gambelan sebagai pengiringnya. Maka itu, kami saling mengundang
pada waktu pentas masing-masing. Mereka yang dari kamboja, betul-betul sangat
senang pada kami. Mereka mengatakan tari kami seperti angin, artinya sangat
lain dengan tarian yang pernah mereka
tonton.
Di Paris ada sebuah surat kabar, saya lupa namanya
menulis artikel tentang kami. Artikelnya ini yang menyebabkan saya bangga
sebagai orang Bali. Judul tulisan mereka adalah ”Kalau mau keliling dunia,
cukuplah datang di Paris”. Selanjutnya dalam tulisan mereka dikatakan, disini di
Paris semuanya sudah ada. Termasuk kesenian dunia impian, yaitu pulau Bali”. Tetapi
dalam tulisan mereka juga dikatakan, bagi yang sudah datang di Paris jangan hanya
bermimpi, segera bangun dan wujudkan dengan melihat kenyataan sesungguhnya
yaitu di Bali.
Kami semua benar-benar sangat populer disini, makanya
saya sangat bangga.
Penonton disini, rata-rata menonton lebih dari sekali. Saking populernya kami disini,
kami akhirnya diundang untuk pentas di sebuah gedung teatre yang sangat besar
dan terkenal. Teatre itu namanya ”Marini”, dan yang boleh pentas disini hanya
kelompok-kelompok seni yang sudah punya nama. Kapasitas gedung ini saya perkirakan sekitar 500 orang, benar-benar sebuah
gedung yang besar. Pertunjukan kami disini bersifat amal dan bertujuan untuk
mencari sumbangan.
Pada waktu itu, pemerintah Perancis akan membangun
sebuah sekolah Belanda di Klungkung Bali. Maka itu, saya dan rombongan penari Bali
yang melawat ke Perancis waktu itu, sebenarnya juga punya andil besar terhadap
pendirian gedung sekolah yang ada di klungkung. Sekarang baru saya tahu gedung itu dijadikan
gedung sekolah SMP Negeri 1 Klungkung, yang lokasinya disebelah barat gedung
Kerthagosa.
Selama di Paris kami mementaskan berbagai macam
tarian. Misalnya tari janger, tari calonarang,
tari barong, tari cak, tari baris dan tari legong. Tetapi yang paling disenangi
adalah tari legong dan tari kecak, mereka benar-benar terkesima menonton kami.
3.5. Perjalanan Pulang
Setelah 3 bulan kami di perancis, akhirnya kami pulang
melalui ”Genoa” Italia. Lagi-lagi kami naik kapal Belanda, yang bernama ”Holden
Tanbarnerheel”. Kapal ini sangat besar dan sangat mewah, mereka mengatakan
kapal ini untuk pesiar/kapal touris. Dari Genoa, kapal singgah sebentar di
Singapura. Setelah 20 hari pelayaran akhirnya sampai di Jakarta.
Di Jakarta kami disambut oleh panitia, serta
orang-orang Bali yang ada di Jakarta. Kami menginap selama 2 hari di Jakarta,
selanjutnya berlayar menuju Bali, dan berlabuh di pelabuhan Singaraja.
Kedatangan kami di Singaraja, disambut langsung oleh
Gubernur Bali waktu itu, yang namanya saya lupa. Bahkan di sini, kami dijamu
makan sebelum pulang ke Bali selatan.
Sebagai rasa syukur ”Cokorda Gede Raka Sukawati”,
yang memimpin rombongan ini juga menjamu kami makan.
Kami dijamu makan
bertempat di Pura Kedewatan, sambil mementaskan tontonan. Saya semua betul-betul
merasa senang, bagaikan pahlawan menang perang dan betul-betul menyenangkan. Betul-betul pengalaman hidup yang sangat
berkesan, dan mungkin tidak semua orang mendapatkannya. Sekali lagi puji syukur
saya panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa
3.6. Penari Yang Masih Hidup
Ketika saya diwawancarai hari ini, sebenarnya
semua yang saya ceritakan tadi sudah berlalu 56 tahun lamanya.
Maka itu, perlu saya ceritakan disini,
penari-penari yang masih hidup yang saya tahu sampai sekarang, adalah I Kuwus, I Botol, I Ketut Gerudug, I Made
Lebah, mereka semua berasal dari desa Peliatan. Sedangkan penari legongnya
adalah I Jabreg, Ni Serining, Cokorda Oka Sukawati (adik dari Cokorda Gede Raka
Sukawati). Sedangkan yang berasal dari
Kedewatan adalah I Runia, I Liang, I Lasia, Anak Agung Rai, Anak Agung
Anom, Desak Merenyong.
Mereka semua adalah, penari-penari janger.
Selanjutnya Ni Tunjung, Ni Renti, I Kardi, Sang Ayu Ruwek. Sedangkan yang dari
sanur, I Munggah, I Gudug, I Rimpeg, I Gabrug, I Rabeg, itu yang saya masih
ingat.
Sedangkan jumlah rombongan seluruhnya adalah 51
orang yaitu, (1) Cokorde Gde Rai, (2) IB.
Ny Cim, (3) I Bajra, (4) Gst Oka, (5) I Gerodong,
(6) I Gerindem, (7) Ngk Togog, (8) Ngk Kompiang, (9) I Kuwus, (10) I Toblo, (11) Kt. Gerudug, (12) An. Ag. Rai
Dobler, (13) An. Ag. Kontje, (14) I Gst Kompiang, (15) I Keredek, (16) Ni
Serining, (17) Ni Renes, (18) Ni Jabreg, (19) I Wede, (20). I Regog, (21) I
Gejer, (22) I Lebah, (23) I Olas, (24) Cok
Gde Oka, (25) Cok Gde Rai Sayan, (26) Cok Ngurah Wing, (27) Cok Istrti Pera, (28)
Cok Rai Agung Mas, (29) Jero Candra, (30) I Ronje (payangan), (31) An. Ag. Rai
(payangan), (32) I Liang (payangan), (33) I Lasia (payangan), (34) N. Kodir
(payangan), (35) Sang Ayu Ruwet (payangan), (36) Ni Tunjung (payangan), (37) Ds
Merenjong (payangan), (38) Ni Renti (payangan), (39) Ni Kardi (payangan), (40) Gst
Rai Mara (payangan), (41) Ni Rinceg (sanur), (42) Tidak terbaca (sanur), (43) Ni
Jabreg (sanur), (44) I Munggah (sanur), (45) I Dugdug (sanur), (46) Cok Gde
Anom, (47) Cok Agung, (48) Cok Oka Singapadu, (49) I. Serog, (50) Cok Gede Raka
Sukawati, (51) Anak Agung Raka Batuan
3.7. Tawaran Perjalanan Kedua
Tujuh tahun setelah Indonesia merdeka, tepatnya
pada tahun 1952. Presiden Soekarno ketika itu, sedang berada di Istana Tampak Siring.
Saya dipanggil, untuk segera menghadap beliau di Istana. Dengan segera saya
menghadap, ternyata saya ditawari untuk membawa misi kesenian kembali ke Eropa
dan Amerika. Ketika itu, saya sedang menjabat sebagai kepala desa Peliatan. Tawaran
ini, tentulah saya sambut dengan suka citta.
Persiapan pertama yang saya lakukan adalah, membikin
sekehe baru. Penarinya saya
pilih dari gadis-gadis yang betul-betul tercantik di Ubud. Disamping itu saya
juga membuat semacam kreasi, yaitu tari janger yang diiringi dengan gender
wayang. Saya katakan kreasi,
karena tari janger waktu itu biasanya diiringi oleh gong biasa. Selain tari janger, saya juga akan membawa
tari Sunda Upasunda.
Sunda dan Upasunda sebenarnya dua raksasa
bersaudara yang sakti mandraguna. Mereka berkelahi saling bunuh karena
memperebutkan bidadari cantik dari Indraloka. Bidadari itu bernama ”Diah Nilottama”
Seperti diketahui bidadari Nilottama dibuat oleh begawan Wiswamitra dari bunga
ratna dan buah wijen. Sebelum bidadari ini selesai dengan sempurna, wajahnya
sudah kelihatan sangat cantik. Dewa Brahma bahkan sampai tergila-gila untuk
dapat melihat bidadari ini. Sampai-sampai beliau merubah wujud menjadi Dewa
Catur Muka, dewa yang bermuka empat.
Tujuan beliau agar dapat melihat dari keempat sisi
Nilottama. Sedangkan Dewa Indra, juga merubah wujud menjadi Dewa Bermata
Seribu.
Bidadari inilah yang dipakai memancing Raksasa
Sunda Upasunda agar mereka mau berkelahi sesamanya, sehingga akhirnya keduanya
tewas. Mungkin saja, cara ini yang diterapkan bangsa belanda ketika menjajah Indonesia, yaitu politik pecah belah
Ketika akan mencari dua sosok raksasa ini, saya
sangat kesulitan. Karena ketika itu, di Bali hanya ada satu sosok raksasa,
yaitu Rangda. Maka itu saya berpikir keras apa sebaiknya yang akan dipakai
memerankan tokoh raksasa yang lagi satu. Waktu saya duduk-duduk di teras rumah,
kebetulan waktu itu lewat seorang wanita tua, dia ini sering dipanggil dadong ranti. Dadong ranti adalah sosok nenek
tua, dan rumahnya di sebelah rumah saya. Mukanya agak sidikit serem, jalannya
lucu, seperti sedang menari. Saya pikir, inilah tokoh yang sedang saya
cari.
Tanpa pikir panjang, saya lalu memakai nenek ini
sebagai model. Maka itu saya segera pergi
ke Singapadu untuk mencari tukang ukir tapel.
Tukang ukir ini adalah teman saya juga, bernama I Dewa
Putu Glebes. Kepada beliau saya minta
agar dibuatkan tapel yang wajahnya seperti dadong ranti itu. Setelah selesai,
jadilah tapel itu seperti tapel celuluk sekarang, bahkan tariannya pun saya
sesuaikan dengan pembawaan dadong ranti sehari-hari. Baik jalannya, gerakan
tangannya, bahkan cara tertawanya.
Masyarakat di banjar Taruna, yang seumur saya,
apabila melihat tarian celuluk, mereka pasti teringat dengan dadong ranti.
Memang begitulah kenyataannya. Maka itu, saya pesankan kepada cucu saya, A.A.
Gde Rama, agar memonumenkan celuluk ini, dengan caranya.
Disamping tari Sunda Upasunda, saya juga
mempersiapkan sebuah tari yang lain. Tari itu saya namakan tari Oleg Tambulilingan.
Seperti saya katakan dimuka, tari ini terinspirasi dari dua kupu-kupu yang
keluar dari carita Sampek Eng Thae.
Dilain pihak, ada sebuah tarian yang sangat bagus
menurut saya, namanya tari ”Kekelik”. Yang diciptakan oleh I Mario dari
tabanan. Tari kekelik inilah
bersama I Mario saya olah, dengan mengurangi dan menambahkan beberapa gerakan
lagi.
Sampai akhirnya tercipta Tari Oleg Tambulilingan. Tari
oleg Tambulilingan ini sedikit menyimpang dari konsep awalnya. Seperti saya
katakan dimuka, konsep awalnya adalah pertemanan dua kupu-kupu yang sedang
dimabuk asmara.
Tetapi setelah selesai, tari ini menceritakan perkelahian
antara seekor kupu-kupu dengan seekor tambulilingan (tawon hitam). Dimana diceritakan
tambulilingan merasa cemburu melihat kupu-kupu yang sedang hinggap dan mengisap
madu pada sekuntum bunga. Sedangkan penata tabuhnya sepenuhnya adalah saya yang
menciptakan, dibantu oleh sekehe saya.
Sebagai penari pertamanya saya beri kehormatan I Sampih
dari desa Bongkasa dengan I Gusti Ayu Raka dari banjar Taruna Peliatan, yang
merupakan penari tercantik waktu itu. Saya
betul-betul puas menonton kedua penari ini, lebih-lebih I Gusti Ayu Raka. Tariannya
persis seperti kupu-kupu tarum sedang terbang dan mengisap madu di atas
sekumtum bunga.
Setelah persiapan rampung sepenuhnya, saya
mengundang Jhon Kust, yang bertindak sebagai menejer, untuk menonton persiapan
terakhir. Jhon Kust sebagai menejer (yang mengurus keberangkatan saya) mengatakan
sangat puas dengan persiapan ini.
3.8. Perjalanan Eropa Kedua
Sebagai jawaban rasa puasnya, kami disuruh membuat
pakaian tari secara komplit. Bahkan pada bulan agustus 1952, kami sudah
mengepak perlengkapan dan barang-barang yang akan di bawa ke Eropa. Persiapan terakhir, kami diisolasi untuk beberapa
hari di Istana Tampaksiring. Selama menginap di istana Tampak Siring, kami
diberikan beberapa pengarahan, tetang hal-hal yang harus di lakukan selama di
Eropa.
Jumlah rombongan waktu itu, semuanya berjumlah 48
orang.
Setelah tiba waktunya, kami naik kapal terbang
”KLM” menuju Bangkok. Dari sini menuju Singapura lalu ke Damaskus, dari
Damaskus ke Paris, lalu ke London Inggris.
Perjalanan kali ini betul-betul berbeda dengan
perjalanan kami tahun 1931. Berhubung
sekarang memakai kapal terbang, maka kami dengan cepat tiba ditempat tujuan.
Tanggal dan bulannya saya lupa, akhirnya kami
mendarat dengan selamat di London. Di sini kami menari di sebuah ruangan yang
sangat sempit, sehingga tari legong tidak bisa dipentaskan. Di London, kami pentas selama 2 minggu. Penontonnya
betul-betul puas, makanya dalam setiap pertunjukan tempatnya selalu penuh
sesak.
3.9. Dari Eropa Ke Amerika
Setelah melanglang di benua Eropa, kami langsung
menuju Amerika Serikat. Ternyata setelah saya amati, penontonnya juga ada
orang-orang Inggris. Orang-orang ini ternyata sudah pernah menonton pertunjukan
kami di London. Bahkan kata mereka, karcisnya mereka beli ketika kami masih di
London. Mereka semua mengatakan, belum puas menonton di London. Maka itu mereka
sengaja datang ke Amerika, untuk menonton kami lagi di New York Amerika
Serikat. Betul-betul saya merasa bangga sebagai orang Bali, dan sangat senang
mendengarnya.
Di New York, kami
menginap disebuah gedung yang bertingkat. Setiap tingkat, terdiri dari 12 orang.
Gedung ini letaknya sangat dekat dengan teatre
pertunjukan, tempat kami pentas. Disini kami pentas selama 14 hari.
Di New York, saya mengalami kejadian yang sangat menarik
dan tidak masuk akal. Pada suatu saat, saya kehilangan cincin bermata mirah. Cincin
ini sebenarnya saya pinjam dari teman saya dari desa Dalang Tabanan. Cincin ini
saya yakini sangat bertuah dan bisa meningkatkan taksu (kewibawaan), terutama
apabila dipakai untuk menari. Ketika akan Saya pakai, cincin itu hilang dari
tempatnya. Cincin itu ternyata, dicuri oleh penjaga barang. Ini saya ketahui
kemudian, setelah orang yang mengambil cincin itu mengembalikannya kepada saya.
Saya tanyakan, kenapa dia mengembalikan
cincin ini. Penjaga barang itu mengatakan, dia sangat takut sekali. Setelah dia
mengambil cincin itu, malamnya dia dikejar-kejar oleh seorang raksasa. Raksasa
itu, katanya keluar dari cincin yang dicuri.
Saking takutnya, orang itu segera menaruh lagi
cincin itu pada tempatnya semula. Sehingga
cincin itu, saya temukan kembali.
Saya katakan tidak masuk akal, karena kejadiannya
terjadi di New York. New York adalah
sebuah kota metropolitan, yang penduduknya tentu tidak percaya akan hal-hal mistik
seperti ini. Lain halnya kalau kejadiannya terjadi di Bali, tentulah itu
merupakan hal yang biasa. Betul-betul
cincin bertuah, kata saya dalam hati.
Tetapi Yang sangat mengesankan ketika saya di New
York, ketika saya memasak sendiri, betul-betul terkesan. Karena di Bali, saya
selalu dimasakkan oleh orang-orang, itu bisa dimaklumi karena saya termasuk
keturunan bangsawan.
Setelah
seminggu di New York, selanjutnya saya pindah ke Chicago. Di Chicago ini, saya
pentas selama 7 hari. Dari Chicago lalu pindah ke Las Veges. Duta besar Indonesia
untuk Amerika Serikat waktu itu adalah, Bapak Ali Sastro Amijoyo. Ada saran beliau kepada saya,
janganlah main judi disini, bahaya katanya. Tetapi larangan itu saya langgar, saya tertap berjudi, biar pernah berjudi
di Las Vegas. Untuk pengalaman hidup, begitu pikiran saya. Ternyata saya
beruntung, saya menang sebanyak 19 dollar. Sebuah keberuntungan yang jarang
didapat kata orang-orang disini.
Ketika pentas
disini, kesannya kurang baik. Saya pentas di sebuah restoran, sehingga menarinya
dihadapan orang makan. Penonton
lebih asyik makan dari pada menonton tarian kami.
Setelah 2 minggu di kota Las Veges, kami lalu
melanjutkan perjalanan ke San Francisco. Kota yang sangat besar, menurut ukuran
saya di Bali.
Yang paling manarik dari kota ini adalah, adanya
jembatan yang sangat panjang. Disini juga ada lonceng yang berukuran besar sekali.
Bangsa Philipina banyak sekali disini.
Di San Francisco, kami menari selama 20 hari. Tetapi
orang-orang disini, minta agar saya menambah hari pertunjukan. Tetapi permintaan
mereka tidak bisa kami penuhi, karena jadwal harus sudah pergi ke Hollywood.
Ketika menari di kota ini, saya bertemu dengan Bapak Bob Hawk. Beliau waktu itu
sedang membuat film dengan judul ”Road to Bali”, makanya saya sangat senang
dengan ini semua. Disinilah saya baru tahu, bagaimana sebenarnya orang membuat
film.
Semuanya dibuat-buat, dan diulang-ulang. Sehingga
dalam pikiran saya, apa yang ada di film semuanya palsu. Untuk itulah saya
selanjutnya tidak senang nonton film, palsu itu.
Ketika sedang berada di Hollywood, saya diundang
ke Orlando. Kota Orlando ini, terletak di dekat kota Florida. Di kota ini saya menemukan
banyak sekali buah jeruk. Kalau di Bali,
jeruk ini dinamakan jeruk purut.
Setelah menari di Orlando, lalu kami diundang menari
di Florida Miami. Setelah berada di
Miami, semua anggota rombongan ingin pulang ke Bali. Mereka semuanya sudah
sangat rindu keluarga, karena sudah
berada disini selama 6 bulan. Maka itu, saya segera menghubungi Bapak Ali
Sastro Amijoyo. Balasan surat justru datang langsung dari Bapak Presiden
Soekarno. Beliau melarang saya pulang ke Bali dan menganjurkan untuk menari ke
Eropa.
Anjuran itu, tentulah tidak berani saya tolak. Disamping
karena anjuran seorang Presiden, beliau juga merupakan tokoh pavorit saya. Bahkan
ketika saya sudah pulang ke Indonesia beliau sempat menghadiahkan sebuah pedang
komando angkatan laut kepada saya.
Maka itu, akhirnya dari Miami saya terbang ke Brussel Belgium.
Disini saya disambut oleh Bapak Duta Besar Indonesia untuk Belgium, yaitu Bapak
Anak Agung Gede Agung. Beliau adalah orang Bali, sehingga saya sama-sama sangat
senang.
Betul-betul menyenangkan, bertemu sesama orang Bali
ditempat yang sangat jauh, di Eropa. Di Belgia ini, kami menari selama 2 minggu. Pertunjukkan disini, sangat
sukses. Dari Belgia menuju Roma Italia, sebuah kota kuno yang sangat indah.
Disini juga kami menari selama 2 minggu, hasilnya juga sangat sukses. Dari Roma selanjutnya pindah ke Jerman Barat. Di Jerman juga pentas selama 2 minggu. Sampai akhirnya, menari di
Paris di teater ”Marini”. Teatre ini merupakan teatre yang sangat terkenal di
Perancis. Saya menginap di Hotel Carol. Penonton disini semua minta tanda
tangan saya, sampai-sampai tangan saya kesemutan, tetapi saya sangat senang.
Setelah 2 minggu disini, akhirnya pulang ke Jakarta
naik pesawat terbang. Di jakarta saya dijemput oleh Bapak Cokorda Gede Raka
Sukawati, yang mengantar pertama kali ke Paris Prancis. Setelah 5 hari di
Jakarta barulah bisa pulang ke Bali, naik kapal laut dan turun di kota Singaraja.
Dari Singaraja, lalu pulang kerumah masing-masing.
IV. MEMASUKI
MASA TUA
4.1. Perjalanan Ke Australia
Setelah datang dari Eropa, saya sebenarnya sudah
memasuki usia tua. Tenaga tidak seperti dulu lagi, walaupun keinginan berkarya
dan mengabdi dibidang seni tetap besar.
Seperti misalnya Pada tahun 1971, ada permintaan
seorang Australia bernama Klefer Hokig kepada saya. Saya ditawari untuk membawa
rombongan penari ke Australia. Klefer Hokig sendiri adalah seorang pengagum seni, yang sudah lama mengenal
pulau Bali. Bahkan sebelum saya pergi ke Amerika tahun 1931, orang ini sudah
sering mementaskan kesenian kami di Bali Hotel. Tanpa pikir panjang lagi, permintaan
itu saya sanggupi. Rombongan yang akan berangkat itu, saya namakan Sekehe Gong
Gunung Sari. Kami terbang dengan pesawat Qwantas
Air Wais. Setelah 8 jam penerbangan, pertama-tama kami mendarat di Cambera.
Disini kami disambut oleh, Bapak Duta Besar Indonesia untuk Australia. Dari Canbera, kami terbang Ke Melbourne. Ternyata disini
ada semacam festifal seni, pesertanya
dari seluruh dunia. Disini
kami pentas selama 7 hari berturut-turut. Setelah itu, barulah menuju kota Sidney.
Disini kami
pentas selama 7 hari. Teater di sini ternyata
kurang mendukung, bahkan terkesan kurang baik.
Makanya kami pentas di sebuah Kampus
Kedokteran, selama 2 minggu.
4.2. Perjalanan Ke Meksiko
Pada tahun 1981, saya ada tawaran lagi untuk
berangkat ke Meksiko. Tetapi tongkat kepemimpinan, sudah saya serahkan kepada
anak-anak saya. Tetapi Saya tetap ikut berangkat ke Meksiko dan New York. Persiapan
yang dilakukan juga sangat serius,
mengingat di Meksiko nanti katanya semacam festifal seni sedunia.
Di Meksiko, pertunjukan kami sangat sangat sukses.
Sebab cerita yang kami
bawakan, ternyata hampir sama dengan cerita rakyat di sana. Yaitu tari-tarian
yang menceritakan tentang perkelahian antara Sapi dengan seorang Raja. Di Meksiko tarian ini, sering disebut tari Matador. Tidak
banyak yang bisa saya ceritakan, ketika saya berada di Meksiko. Sebab segala
kegiatan sudah ditangani oleh anak-anak saya.
4.3. Kesan
Sampai hari ini, saya sudah berkali-kali melanglang buana keluar Indonesia. Yaitu ke
Amerika, Eropa dan Australia. Tetapi secara pribadi saya sangat menyenangi
Amerika. Kota-kotanya sangat bersih dan teratur, terutama kota New York. Kota
ini betul-betul indah dan sangat mengesankan. Walaupun begitu, saya jarang
berjalan-jalan di kota ini, berhubung keterbatasan bahasa. Hanya sekali-sekali saya
keluar penginapan, apalagi kalau tidak ada pemandu wisata (gaid).
Makanya semua kegiatan, menyangkut keperluan sehari-hari
dikerjakan sendiri. Bahkan memasakpun saya lakukan sendiri. Hal memasak tentulah
tidak terlalu merisaukan, karena saya memang senang memasak, apalagi membuat
masakan Bali seperti lawar. Sedangkan untuk rombongan, saya memiliki tukang
masak sendiri. Tetapi memasaknya dilakukan didalam kamar, di penginapan.
Perlu juga saya ceritakan tentang Jhon Kock. Beliau
tinggal di Denpasar, di Kaliungu. Ketika saya mau diajak pentas di Singapura, Bapak
Presiden ternyata tidak menyetujui. Ngapain
ke Singapura, apa mau menari di dalam got, tetapi kalau rombongan lain
bolehlah, kata Presiden.
Selanjutnya Presiden bilang, rombongan ini mau di bawa melawat ke Amerika dan Eropa. Bapak
Presiden, nampaknya kurang senang dengan Jhon Kuck. Bapak Presiden mengatakan, keuangan orang ini sangat payah. Bahkan Anak
Agung Gede Agung, berpesan kepada saya, agar saya jangan sekali-kali berhubungan
dengan Jhon Kuck ini. Orangnya tidak baik, bahkan terkenal licik.
Hal ini akhirnya terbukti, saya dibohongi oleh
Jhon Kuck ini. Tetapi hal itu tidak akan
saya ceritakan ini disini. Biarlah hal itu menjadi kenangan tersendiri untuk
saya, saya tidak akan memikirkan dia lagi. Sebagai orang Bali saya selalu berpikir
positip, selalu berpikir untung dan selalu percaya akan kebesaran tuhan, biarlah
tuhan yang menghukum mereka.
Pada tahun 1953, Setelah saya pulang dari Eropa,
saya mendapat hadiah sebuah mobil station dari pemerintah Amerika Serikat.
Di Bali waktu itu, belum ada mobil seperti itu. Saya
hanya membayar biaya pengangkutan, yang lainnya dibayar oleh pemerintah Amerika
Serikat. Mobil itu mereknya Chevrolet, hanya ada di Bali dan di Jakarta. Selanjutnya
mobil ini, saya setir sendiri.
Hari-hari selanjutnya, saya mengajarkan anak-anak
di sekitar desa ini untuk menabuh dan menari. Bahkan anak-anak Bung Karno juga
ada yang belajar menari Bali. Tetapi yang paling serius menekuni tari Bali
adalah, Guruh Sukarno Putra. Anak ini sebenarnya merupakan anak kesayangan, Bung
Karno. Disamping mengajar tari terhadap
anak-anak yang berasal dari sekitar desa peliatan, saya juga mengajar menari
terhadap tamu-tamu manca negara. Misalnya
tamu yang berasal dari Australia, Jepang bahkan Amerika Serikat.
Kalau boleh saya katakan, setelah tahun 1952, nama
desa peliatan benar-benar terkenal diseluruh dunia. Untuk itu, saya juga
mendapat undangan menari dari dalam negeri. Misalnya di Jakarta,
tepatnya di stasiun Gambir. Kebetulan waktu itu ada pasar amal. Saya menari
bersama grup-grup kesenian dari berbagai daerah di Indonesia. Waktu itu, kami diundang
langsung oleh Bapak Presiden Soekarno.
Tetapi Kesan yang paling tidak mengenakkan selama
menari di tanah air adalah ketika saya membawa tari kecak ke Celebes. Reaksi
penonton disini betul-betul tidak baik, apalagi menarinya ditempat yang sangat
sempit. Sedangkan untuk kegiatan lokal, Sekehe ini juga sering berpartisipasi.
Misalnya pada tahun 1938, ketika di Gianyar
diadakan Festipal Gong Kebyar seluruh Bali. Pesertanya dari Klungkung, Bangli, Singaraja,
Badung, Jembrana, Tabanan, Karangasem dan Gianyar yang diwakili oleh desa Peliatan.
Festipal ini bahkan dihadiri
oleh seluruh Raja-Raja se Bali. Pada waktu itu, Gong Peliatan mendapat
kesempatan pertama untuk menabuh. Disini saya benar-benar mengeluarkan seluruh
kemampuan yang dipunyai. Ada rasa bangga mengalir di dada saya, sebab bisa
menabuh dihadapan Raja seluruh Bali, kapan lagi kalau tidak sekarang. Saya
pikir sesuatu hal yang sangat jarang terjadi.
Tetapi ketika giliran Gong kebyar dari Singaraja,
yang diwakili oleh sekehe gong dari desa Banjar menabuh. Ada sesuatu yang agak
aneh waktu itu, Suara gongnya kecil dan hampir tidak terdengar. Makanya mereka,
memukul gongnya dengan sangat keras. Sampai-sampai tidak terasa, gongnya banyak
yang patah dan pecah. Akhirnya
anggota rombongan dari Sangaraja ini banyak yang marah-marah. Mereka mengira,
ada orang yang menjaili mereka dengan memakai ilmu hitam.
Setelah diumumkan oleh juri, ternyata gong kebyar desa
Peliatan keluar sebagai juara pertama. Pada tahun 1942, festifal gong kebyar se
Bali diadakan di Singaraja. Singaraja waktu itu diwakili oleh 5 grup, tetapi
hasil akhir, Peliatan tetap juara. Di sini
betul-betul saya merasa bangga, karena bisa menjadi juara diluar kandang.
Pada tahun 1971, ada sekehe kesenian dari desa Peliatan
berangkat ke negeri Iran dan Amerika. Yang mengantarkan kesana adalah Guruh
Soekarno Putra. Tetapi gamelan yang dibawa adalah gamelan saya yang dipinjamkan kepada mereka. Setelah dari
amerika, mereka mendapat sumbangan berupa uang sebesar Rp. 4.000.000,. Pimpinan
rombongan nampaknya bingung, untuk apa uang sebanyak itu. Lalu mereka ada
pemikiran untuk membeli seperangkat gambelan. Akhirnya mereka membeli gambelan seharga Rp. 1.500.000,. Mengingat sebelumnya mereka
sudah meminjam gambelan saya, maka sekarang di banjar teges ada 2 barung
gamelan. Maka itu saya pikir, untuk apa mereka memegang 2 barung gambelan.
Akhirnya saya mecoba meminta kembali gambelan yang dipinjamkan dahulu. Tetapi mereka katakan,
gamelan yang baru dibeli tidak sebagus gamelan saya. Mereka meminta agar
gambelan saya ditukar dengan gambelan yang baru di beli.
Tidak apa-apa, saya pikir kalau gambelan saya
tetap di banjar Teges tentulah gambelan ini akan dipelihara dengan baik, dan
kenyataannya gambelan ini tetap dirawat dengan baik sampai sekarang
Masalahnya sekarang, di rumah ada satu barung gambelan yang tidak mempunyai
sekehe/grup. Maka itu saya segera, mencari anggota baru lagi untuk memamfaatkan
gambelan ini. Anggotanya semua terdiri dari anak-anak muda. Bahkan beberapa
bulan kemudian, Guruh Sukarno Putra ikut bergabung dengan grup ini. Pada tahun 1981, saya diundang untuk mengisi
acara di Jakarta Fair.
Waktu berangkat ke Jakarta, kami diantar langsung
oleh Bapak Jendral TNI. M. Yusup. Kalau tidak salah beliau waktu itu memegang
jabatan sebagai Panglima ABRI. Saya betul-betul merasa bangga, karena saya
diantar oleh orang yang sangat populer waktu itu. Di Jakarta, saya menari selama
2 hari.
4.4. Lain-lain
Berbicara tentang gambelan, ketika itu ada dua
tempat di Bali yang bisa membuat gambelan. Desa Tihingan Klungkung dan di Desa
Sawan Singaraja. Gambelan dari kedua desa ini mempunyai sedikit perbedaan dalam
hal bunyi.
Sepengetahuan saya, gambelan bikinan sawan,
suaranya lebih nyaring dibandingkan dengan gambelan bikinan desa Tihingan.
Harga seperangkat gambelan waktu itu sangat-mahal, sampai Rp. 4.000.000,. Makanya
hanya Raja-Raja yang bisa mempunyai gambelan (gong kebiar). Waktu melawat ke Paris, saya bikin
gambelan di Peliatan, tetapi jumlahnya kurang.
Makanya Cokorda Gede Raka Sukawati dari Ubud,
meminjamkan kekurangannya. Kekurangannya ini, diambilkan dari Puri Kanginan
Belaluan Denpasar. Diantaranya yang dipinjamkan itu adalah gong, reong, terompong,
calung dan jublag.
Setelah datang dari Paris, semua yang dipinjam
segera kami dikembalikan. Selanjutnya saya membikin gong kebyar di desa
Tihingan, Klungkung. Tetapi gambelan yang
dibuat ini, saya beri campuran Emas agar bunyinya lebih nyaring.
Tetapi disamping emas, juga saya campurkan dengan
sebuah cengceng pusaka. Dikatakan cengceng pusaka, karena cengceng ini didapatkan
di sebuah tebing, oleh Anak Agung Rai Doblet. Ketika itu beliau sedang mencari
rumput, untuk makanan kerbau disebuah tebing di pingir sungai. Tanpa diduga
disampingnya dia lihat sebuah cengceng.
Setelah melihat kiri kanan, ternyata tidak ada
orang. Timbul pertanyan dalam dirinya, siapa yang menaruh cengceng. Setelah
lama berpikir, mungkin ini paica pikirnya (pemberian tuhan). Selanjutnya
cengceng ini dipakai mencampur gambelan yang sedang dibuat. Setelah selesai
suara gambelan ini suaranya sangat bagus. Apalagi sekehe gongnya,
melaksanakan upacara kawin dengan gambelannya.
Perkawinan ini bertujuan, agar sekehe
ini betul-betul mencintai gambelan ini, seperti mencintai istrinya di rumah. Sehingga
waktu memukul gambelan, benar-benar dengan perasaan.
Hal ini betul-betul sangat saya percayai. Buktinya
kalau orang lain memukul gambelan ini, suaranya tidak seindah kalau dipukul
oleh sekehenya.
Sebagai orang Bali, saya sangat menyenangi segala kesenian
Bali. Tetapi saya paling menyenangi yang namanya ”Semara Pegulingan”. Semara
pegulingan adalah sejenis gong kebyar, tetapi suaranya selendro, iramanya
indah, merdu, asli, menarik dan
melodius. Sehingga menyebabkan mata menjadi mengantuk, bagi setiap orang yang
mendengarkan. Makanya di jaman dahulu semara pegulingan dipakai untuk mengiringi
para raja jika akan keperaduan.
Inilah yang membedakan semara pegulingan dengan gong
kebiar. Kalau gong kebiar iramanya agak cepat, sehingga berbau modern. Ini juga
yang menyebabkan irama gong kebyar cepat dilupakan. Lain halnya dengan semara pegulingan,
lagunya tetap lestari sepanjang masa.
Ada sesuatu hal yang perlu diperhatikan, didalam
memukul gambelan. Gambelan itu harus diberikan jiwa, harus dengan perasaan. Misalnya ketika sedang menabuh, dengan tidak disadari si
penabuh akan tersenyum. Itu karena
mereka menjiwai lagu yang dibawakan.
Irama gambelan akan baik terdengar apabila, gambelannya
baik, penabuhnya juga baik. Maka itu, didalam sekehe (grup) harus ada salah
satu yang bisa memberikan kontak batin terhadap teman yang lainnya.
Saya sendiri sangat menyenangi istrumen kendang.
Dengan makendang saya bisa mengeluarkan segala kemampuan yang saya punya. Makendang bagi saya seperti
candu, yang dapat membuat lupa segalanya.
Setelah tua seperti ini, makendang bahkan seperti
obat bagi saya. Kalau sudah memegang kendang, saya seperti muda kembali.
Kendang ini yang saya pegang sekarang, seolah-olah istri pertama saya.
Ternyata pilihan saya benar, dalam arti dengan
kendang ini ternyata saya dapat berkeliling Indonesia bahkan keliling dunia.
Kalau saya tidak bisa memainkan kendang mungkin saya tidak akan mengenal dunia lain.
Disamping sebagai penabuh kendang, saya juga
sering memberikan tentang agem atau posisi penari. Saya juga mampu memilih calon-calon
penari yang baik, dengan melihat cara berdiri, jalan, muka dan bentuk tubuhnya.
Misalnya kalau ada orang
seperti ini, tari apa bagusnya, kalau seperti itu tari apa bagusnya.
Salah satu diantaranya yang saya dapatkan adalah I
Gusti Ayu Raka, penari Oleg Tambulingan yang pertama, bersama I sampih dari
Bongkasa. Sebelum menari oleg, dia sebenarnya merupakan penari legong kraton. I
Gusti Ayu Raka ini, saya dapatkan secara tidak sengaja. Ketika saya sedang duduk-duduk didepan rumah, secara kebetulan
lewat sekelompok anak-anak kecil. Mereka bersenda gurau dan tertawa cekikikan
sambil mencari capung. Tetapi salah satu dari mereka, ada yang istimewa.
Jalannya seperti kupu-kupu kecil sedang terbang,
wajahnya cantik, matanya tajam, rambutnya pajang terurai, badannya kurus berisi,
tangannya lentik. Ketika saya tanyakan, anak ini ternyata anak ini bernama I Gusti Ayu Raka, anaknya I Gusti Ngurah Kwanji
(Sindung). Anak ini lalu saya
ambil, saya gembleng untuk belajar menari legong kraton. Anak ini betul-betul luar biasa, otaknya
cerdas, gerakannya lincah. Sehingga dalam waktu relatip singkat, dia sudah bisa
menguasai tari legong keraton.
Tetapi ketika saya sedang menggarap tari oleg
tambulingan, bersama I Mario. Saya teringat kembali kepada anak ini
untuk menarikan kupu-kupunya. Masalah yang lain, siapa yang cocok untuk
mendampingi sebagai prianya, sebagai penari tambulilingannya.
Setelah saya pikir, akhirnya pilihan saya jatuh
pada I Sampih dari Bongkasa.
Setelah selesai, tari oleg tambulilingan untuk
pertama kalinya saya pentaskan di sini, di Puri Kaleran. Saya betul-betul puas dengan penampilan kedua
orang penari oleg ini. Masing-masing membawakan perannya dengan sangat baik.
Betul-betul pasangan penari yang sangat cocok.
Maka itu, sekali lagi saya tegaskan bahwa, tari oleg
tambulilingan untuk pertama kalinya dipentaskan di sini di puri Kaleran, banjar
Teruna desa Peliatan Gianyar.
Dengan penari perempuannya bernama I Gusti Ayu
Raka dari desa Peliatan, sedangkan penari prianya bernama I Sampih dari desa
Bongkasa
Dengan cara-cara itulah saya memilih penari-penari
yang lainnya. Dengan melihat cara berjalannya, wajahnya, postur tubuhnya, ketajaman
matanya, dsb. I Mario sendiri adalah
teman baik saya waktu itu. Beliau berasal dari Kabupaten Tabanan. Tetapi
ayahnya sebenarnya berasal dari desa Banjarangkan Klungkung. Beliau sebenarnya penari yang sangat bagus.
Beliau juga menciptakan tari terompong, tari kekelik dan oleg tambulilingan.
Tetapi tari oleg tambulilingan ini dibuat berdasarkan idea-idea saya, walaupun
dasarnya adalah tari kekelik.
Seperti saya katakan, semula tari ini sebenarnya terinspirasi
dari cerita arja ”Sampek Eng Thai”. Dimana diceritakan pada akhir cerita itu, keluar 2 ekor kupu-kupu dari dalam kuburan. 2 kupu-kupu
inilah sebenarnya yang memberikan saya inspirasi dasar tentang tari oleg
tambulilingan. Idea ini saya sampaikan kepada I Mario. Selanjutnya saya garap
bersama-sama.
Tetapi setelah selesai, tari ini sedikit melenceng
dari konsep semula. Konsepnya dasarnya adalah merupakan pertemanan 2 kupu-kupu
yang sedang dimabuk asmara. Tetapi setelah selesai, caritanya adalah perkelahian
antara kupu-kupu dengan tambulilingan (kumbang hitam). Makanya penarinya putih
satu hitam satu.
Yang putih itu adalah kupu-kupu dan yang hitam itu
adalah tambulilingan. Sedangkan penata tabuhnya, sepenuhnya saya yang menggarap
bersama seke gong gunung sari.
Tari tambulilingan ini benar-benar tari yang
sangat bagus. Tetapi saya
sendiri sangat menyenangi tari legong, terutama tari condong. Karena tari condong tidak terlalu memporsir
tenaga, tetapi variasi geraknya sangat banyak. Maka itulah, saya paling senang
melatih tari condong.
Perlu saya jelaskan sedikit tentang tari legong keraton.
Pada mulanya, tari legong ini, posisi badan penarinya tegak lurus, dari bawah
sampai keatas. Telapak kakinya datar, menyentuh tanah. Seperti tarian sakral
pada umumnya. Karena tarian sakral biasanya diperuntukkan untuk para dewa. Makanya semua gerakannya seperti gerakan yoga.
Tari sakral biasanya dipentaskan, ketika ada wali atau odalan di pura-pura.
Tetapi ketika saya melawat ke Amerika, saya
betul-betul kagum dengan gerakan balet. Gerakannya sangat lincah, posisi kakinya
menjinjit. Maka itu, ketika saya tiba di Bali, hal pertama yang saya lakukan
adalah memperbaharui tari legong ini. Diantaranya, posisi kaki serta dada.
Kalau dulunya telapak kaki datar dan menyentuh
tanah, sekarang saya rubah dengan menjinjit seperti posisi kaki penari balet. Sehingga
gerakannya akan sangat lincah dan dinamis, terutama ketika memutar dan
nyeregseg.
Begitu juga halnya posisi dada. Kalau dulu tegak lurus seperti papan. Sehingga tidak menarik. Sekarang posisi
dada sedikit ditonjolkan kemuka, pundak ditarik kebelakang. Sehingga posisi susu sedikit menonjol
kemuka. Kenapa saya posisikan seperti itu, karena tari ini akan dipertunjukan
kepada manusia. Bukan lagi untuk para dewa, penari harus kelihatan sedikit
seksi. Sehingga enak untuk ditonton. Setelah saya perbaharui seperti itu,
jadilah tari legong seperti sekarang ini, khas legong desa peliatan.
Itulah sedikit sumbangan saya kepada seni tari dan
tabuh di Bali. Semoga seni tari dan tabuh di bali akan terus berkembang, sesuai
dengan kemajuan jaman.
Tetapi sekarang ini, saya melihat kesenian orang Bali
sudah mulai berubah. Mungkin sesuai
dengan perubahan jaman dan gaya hidup orang Bali. Misalnya sebelum ada Akademi Seni
Tari Indonesia (ASTI), di Bali banyak sekali berkembang kelompok-kelompok seni.
Setiap kelompok seni, masing-masing
mempunyai ciri khas. Makanya ada legong stil Saba, stil Bedulu, stil Badung
atau stil Peliatan. Inilah yang menyebabkan orang ingin menonton, karena
stilnya berbeda.
Ada satu contoh kecil, kalau dulu ada tari rejang
di pura, banyak orang menonton. Kenapa?, karena disetiap tempat tari rejangnya
berbeda. Kalau sekarang dimana-mana tari rejangnya sama. Ini yang menyebakan tidak ada orang menonton
tari rejang, paling yang nonton ayah ibunya penari rejang.
Mungkin ini yang menyebabkan seke–seke kesenian, pada
mulai pudar. Apalagi
tari-tari sekarang banyak yang bersipat kontemporer. Bahkan ada yang mengambil
gerak tari luar. Sehingga tari-tarian itu seperti seni pencak silat. Padahal inilah yang membedakan gerak tari Bali
dengan luar. Kalau tari Bali, gerakan dasarnya sebenarnya adalah gerakan yoga.
Sedangkan tari luar, dasarnya gerakan pencak silat silat. Coba lihat tari jawa,
tari sumatera, semuanya seperti pencak silat
Tari-tarian lama memang mempunyai karakter yang sedikit
lain dengan sekarang, apalagi setelah adanya Akademi Seni Tari Indonsesia.
Bahkan kalau boleh saya katakan, tari sekarang kualitasnya tidak sebagus pada
jaman dahulu. Buktinya tidak ada tari-tarian yang melegenda seperti dulu.
Banyak sekali tari-tarian sekarang dibuat berdasarkan komersialisme saja.
Sangat beda dengan yang dahulu, mereka tidak pernah menjual seni. Mereka
membuat seni hanya untuk adat dan upacara agama, sehingga kekuatannya akan
lain. Contohnya tari Legong keraton, tari itu diciptakan berdasarkan Yoga oleh Ida
Dewa Agung Karna
Mungkin ada yang bertanya. Siapa itu I Dewa Agung
Karna?. Saya akan ceritakan sedikit tentang beliau I Dewa Agung Karna.
Ceritanya dimulai setelah meninggalnya Ki Balian
Batur oleh Ida Dewa Agung Anom Putra.
Seperti diketahui, Ki Balian Batur adalah seorang balian atau dukun
sangat sakti dijamannya. Sedangkan Ida
Dewa Agung Anom Putra, merupakan putra mahkota dari kerajan Klungkung
Smarapura. Sebagai jasa beliau setelah mengalahkan Ki Balian Batur, maka
diberikanlah sebuah daerah yang bernama ”Timbul”. Ditempat baru inilah beliau
selanjutnya membangun sebuah kerajaan baru.
Berkat kepemimpinan beliau, dan kegigihan
masyarakat disini, maka daerah ini berkembang sangat pesat. Apalagi daerah ini merupakan daerah baru,
perpaduan dari dua budaya, yaitu budaya
kerajaan Mengwi dan budaya kerajaan Smarapura.
Dimana kedua kerajaan ini, masing-masing mempunyai
karakter yang berbeda. Kedua budaya
inilah nantinya disatukan oleh beliau
menjadi daerah baru di Timbul, yang selanjutnya beliau berinama ”Sukawati”.
Inilah yang menyebabkan kerajaan Sukawati sangat kaya akan budaya dan
kesenian. Karena merupakan gabungan dari kebudayaan mengwi dan Klungkung.
Daerah ini terus berkembang dengan pesat, dengan
batas-batas wilayah sebagai berikut, di sebelah utara gunung Batur, di selatan
laut Ketewel, di barat sungai Ayung dan di timur sungai Pakerisan.
Terus Bagaimana cara-cara beliau menggabungkan
kedua budaya ini?. Ketika beliau mau pindah dari Klungkung, maka beliau membawa
undagi, seniman, pande, pelukis bahkan beliau membawa sulinggih Siwa dan Budha
sebagai bagawanta. Hanya pelukis kamasan
dan pande gong yang tidak beliau bawa.
Sedangkan dari Mengwi, beliau juga minta hal yang sama. Setelah mereka berkumpul di Timbul,
mereka-mereka inilah yang membuat budaya baru di sini.
Setelah pembangunan selesai, akhirnya beliau Ida
Dewa Agung Anom Putra, diabiaseka menjadi Raja pertama kerajaan Sukawati dengan
permaisuri Ida Ayu Ratu Mutering Jagat, putri dari kerajaan Mengwi yang
beribukan Panji Sakti. Beliau inilah
yang juga membawa budayawan dan seniman dari kerajaan Mengwi, yang saya katakan
di atas tadi.
Ida Dewa Agung Anom Putra, selanjutnya mempunyai 3
(tiga) putra. Yang paling tua, bernama Ida I Dewa Agung Jambe, yang dikemudian
hari menjadi seorang wiku di Guwang.
Putra ke 2 (dua) bernama Ida Dewa Agung Karna, beliau sangat menyenangi
seni budaya dan penganut brahmacari.
Beliau inilah yang saya katakan tadi, penemu tarian ”legong dedari” di
pura Payogan Agung Ketewel. Sedangkan putra yang ketiga bernama I Dewa Agung
Pamayun. Beliau inilah selanjutnya menggantikan ayah belia menjadi Raja Sukawati ke II.
Cerita ini akan saya teruskan sedikit, karena akan
berhubungan dengan saya. I Dewa Agung Pamayun, kemudian mempunyai 11 (sebelas) orang putra dan putri. Putra yang ke 4 (empat), bernama Ida Dewa
Agung Tabanan. Beribu I Gusti Ayu Sekar
dari Tabanan. Beliau inilah selanjutnya menurunkan ”trah Ida Cokorda Tabanan”.
Setelah dewasa, beliau juga mengambil Istri, juga
dari Tabanan, bernama I Gusti Ayu Cili,
dari puri Subamia Tabanan. Selanjutnya
beliau menurunkan 4 orang anak, yang
pertama bertempat tinggal di desa Guwang, yang kedua di puri Kelodan desa
Peliatan, nomor 3 di pouri Kaleran, desa Peliatan, disini di tempat saya
sekarang dan yang nomer 4 di puri Padangtegal Ubud
Sebagai seniman, saya sangat mengagumi beberapa
tokoh seni dunia. Misalnya Carlie Caplin. Secara kebetulan saya pernah berkenalan
di tahun 1952 di Gunung Sari. Saya diperkenalkan oleh Jhon Kush waktu itu.
Bahkan saya sempat mengajarkan beliau, Carlie Caplin memainkan instrumen cengceng.
4.4. Sekilas Tentang Keluarga
Saya bertempat tinggal di Puri Kaleran, Banjar
Taruna, Desa Peliatan. Puri Kaleran sebenarnya diturunkan dari Ida I Dewa Rai Kaleran
dengan I Gusti Ayu Chili Penatih. Makanya di Merajan Saya sekarang ini ada
pelinggih Ratu Gusti. Sebagai tempat pemujaan dari I Gusti Penatih, yang
merupakan cikal bakal di Puri Kaleran
ini. Puri Kaleran sebenarnya ada 3 bagian, yaitu di barat, timur dan puri Saren.
Sedangkan Di bagian barat ditempati oleh ayah saya, sedangkan di bagian timur
ditempati oleh paman saya. Di Puri Saren ditempati oleh paman tertua.
Paman saya ini sebenarnya merupakan kakak dan adik
kandung bapak saya. Maka itu, puri kaleran sebenarnya berasal dari satu darah
yang sama. Maka itu, Merajannya hanya satu, terletak di bagian timur Puri. Di Merajan ini juga terdapat 2 pelinggih
rong 3. Pelinggih rong 3 yang disebelah selatan, tempat pitara yang belum medwi
jati. Sedangkan yang sebelah utara, tempat pitara yang sudah medwi jati. Seperti saya katakan tadi, disini juga melinggih
ratu panji, yaitu sebagai taksu seni.
Perlu juga saya jelaskan disini tentang pelingih ratu
panji. Ketika saya datang dari paris, Saya menjabat Kepala Desa Peliatan.
Ketika itu saya berinisiatip mendirikan pelinggih ratu panji ini di pura ulun
suwi, yang sekarang disebut pura gunung sari.
Pikiran saya kenapa pelingih ratu panji didirikan
disini, agar setiap orang yang menekuni seni bisa nunas taksu disini, karena
pura ini adalah pura umum.
Pendirian pelinggih ini sudah mendapat persetujuan
dari kelian subak dan penglingsir Puri Agung Peliatan. Sedangkan di rumah saya
masih gelungan panjinya saja yang ada sekarang.
Paman saya adalah, seorang penekun sastra lontar. Maka
itu, ketika saya masih anak-anak, saya sering diajari membaca lontar, terutama
lontar-lontar yang menceritakan tentang pewayangan.
Saya sebenarnya terlahir di Puri Kaleran bagian
barat. Sedangkan di puri kanginan lahir seorang istri. Dari kesepakatan orang
tua saya, saya dijodohkan dengan anak ini. Tetapi tuhan berkehendak lain, anak
itu keburu meningggal karena menderita sakit keras. Berhubung calon istri saya
sudah meninggal, akhirnya saya diangkat sebagai anak di sini, di timur. Tetapi
saya baru pindah ke timur setelah datang
dari Paris.
Beberapa tahun kemudian, saya mempersunting istri dari Puri Kelodan. Namanya adalah, Anak
Agung Oka. Saya sebenarnya ada hubungan keluarga, tetapi saya tidak dijodohkan.
Melainkan istri saya ini, merupakan pilihan sendiri, bukan dijodohkan seperti
kebiasaan ketika itu. Saya
menikah ketika berumur 25 tahun, sebelum saya berangkat ke Paris. Pernikahan
saya dihadiri oleh banyak kerabat, sebab kerabat saya waktu itu banyak sekali. Saya
sebenarnya, termasuk orang yang disenangi di desa.
Upacara pernikahan saya pun termasuk besar,
dibandingkan dengan upacara pernikahan orang lain waktu itu. Sedangkan upacara pernikahan,
berlangsung 3 hari lamanya. Makanya hati ini sangat senang, apalagi baru
pertama kali menikah.
Setelah sekian lama menikah, lahirlah anak pertama.
Anak itu saya beri nama Anak Agung Gede Bawa. Setelah sekian bulan kemudian, saya berangkat ke Paris. Perasaan saya sangat senang waktu itu, sebab
terbayang bagaimana keindahan kota paris ketika itu.
Setelah kembali dari Paris, saya kecantol dengan
salah satu panari janger. Namanya Anak Agung Istri Anom.
Orangnya cantik, tetapi pendiam. Saya sebenarnya sudah
tertarik, ketika masih di Paris. Tetapi masih sama-sama malu, sehingga hanya
saling curi pandang. Tetapi saling perhatian dan saya sangat mengagumi akan kecantikannya.
Tetapi betul-betul tertarik ketika saya sudah pulang ke Bali. Akhirnya saya
menikah dengannya.
Istri saya ini berasal dari desa Kedewatan dan
ketika menikah, dia sudah berumur 20 tahun. Waktu meminang, dia hanya diam saja.
Jawabannya saya tunggu sampai 1 bulan lamanya. Setelah itu, barulah dia
mengatakan mau. Akhirnya saya jemput dia di sebuah ladang miliknya, lalu saya
naikkan ke mobil. Dengan
istri saya yang kedua ini, sebenarnya saya kawin lari. Tetapi sebelum mengawininya, saya juga minta ijin
sama istri pertama. Jawaban dari istri pertama, terserah kalau memang senang.
Hari-hari selanjutnya, kedua istri saya ini
semuanya berada dalam satu rumah. Mereka akur-akur saja, mungkin karena sebelumnya sama-sama sudah saling
kenal. Jarang sekali mereka bertengkar, terutama kalau ada saya.
Ketika saya berumur 45 tahun, saya menikah lagi.
Lagi-lagi dengan salah satu penari janger saya, namanya Wiraga.
Setelah menikah namanya menjadi Jero Wiraga. Jero
itu artinya, karena dia bukan berasal dari satu wangsa/trah. Saya sendiri
berasal dari Trah Dalem Sukawati. Sampai saat ini, istri saya ada 3 orang. Tetapi
dibandingkan dengan orang lain waktu itu, saya termasuk mempunyai istri
sedikit. Karena teman-teman saya, ada yang beristri sampai 10 orang. Sampai-sampai
nama anaknya tidak dikenal, bahkan kadang-kadang anaknya sendiri tidak di kenal
sama sekali.
Dengan Jero Wiraga sebenarnya saya sudah kenal
lama, karena orang tuanya sudah menjadi abdi disini semenjak dulu. Makanya
ketika meminang dia, saya tidak menemukan kesulitan.
Ketika Ibu wiraga dewasa dia ikut menari janger
disini. Seke janger ini benar-benar bagus. Pengiringnya memakai gender wayang. Penarinya
semuanya cantik-cantik, sampai-sampai penontonnya tergila-gila.
Seperti Raja Gianyar ketika itu, betul-betul kesemsem
sama janger Peliatan. Sampai-sampai ketika janger ini baru latihan, beliau
sudah sering menyempatkan diri untuk menonton.
Suatu saat beliau berbisik kepada saya, kalau saya
mati nanti, cukup berikan kepada saya tari janger saja. Suatu saat beliau
mengundang sekehe janger peliatan untuk main di Puri Gianyar. Sebelum main,
ketika penari akan berhias, semua penari disuruh berhias di kamar tidurnya Raja.
Itu karena saking gilanya Raja Gianyar melihat kecantikan penari janger
Peliatan.
Begitu juga halnya dengan Raja Karangasem, yang
bernama Anak Agung Bagus. Suatu saat, pernah mengundang janger ini. Raja
karangasem, sama kagumnya dengan Raja Gianyar sama janger peliatan. Sehingga
sebelum janger menari, raja rela duduk dihadapan janger supaya dilangkahi.
Sedangkan pada waktu sedang menari, Raja Karangasem itu menonton di sebelah
tempat orang menabuh. Sedangkan disekitar tempat menari semuanya dikelilingi
pagar kawat berduri. Maksudnya supaya sedikit orang masuk. Tetapi karena mereka
ingin tahu, mereka mendesak masuk dan tidak takut lagi sama Raja. Maka pagar berduri
itupun diterobos, sampai jebol. Itulah kekuatan taksu janger Peliatan waktu
itu. Sampai-sampai janger Peliatan ini dianggap sebagai jelmaan bidadari dari
kahyangan.
Bahkan Saya sendiri akhirnya mengawini salah satu
dari mereka, namanya Wiraga pada umur 17 tahun. Pada tahun 1947 melahirkan
seorang anak yang bernama Anak Agung Bagus.
Ketertarikan saya sama wiraga karena dia sudah
saya kenal dari kecil, bapaknya adalah abdi puri di sini. Disamping sebagai
janger dia juga sebagai penari condong.
Daya tariknya luar biasa dibandingkan dengan yang
lain. Ekspresi wajahnya sulit ditandingi oleh penari lain, dia punya daya tarik
tersendiri. Ketika saya mengawini Wiraga, orang lain tidak pernah protes, karena
saya tidak pernah berbuat macam-macam sebelumnya dengan orang lain. Sehingga mereka
menerima, ketika saya mengawini Wiraga.
Seperti saya katakan dimuka, ketika diajarkan membaca
lontar saya menyenangi cerita wayang. Maka itu saya sering nonton wayang.
Adapun dalang yang paling saya senangi adalah dalang Brahmana dari desa Mas,
lalu ada dalang Kerekek dari Sukawati yang dilanjutkan oleh anaknya bernama dalang
Granyam.
Sedangkan tokoh wayang yang paling saya sukai
adalah ”Kresna”. Dimata saya, kresna mampu menyelesaikan masalah seberat
apapun.
Setelah pulang dari Amerika, pada tahun 1953 saya
dipilih menjadi Perbekel oleh masyarakat desa Peliatan juga oleh Raja Gianyar.
Juga sebagai Controller Belanda. Saya berhenti menjadi Kepala Desa karena kemauan
sendiri, jenuh karena tugasnya sangat berat, terutama apabila ada orang
berperkara. Sedangkan imbalan kepala desa berupa gaji adalah sawah.
Sebenarnya menjadi Kepala Desa waktu itu banyak tidak
senangnya. Apalagi waktu itu, politik adalah panglima. Tetapi sebagai seorang
seniman, saya berusaha bersikap netral terhadap perkembangan politik.
Pernah saya ditawari masuk PNI waktu itu, padahal
waktu itu pengaruh Bung Karno sangat kuat di Bali. Perlu dicatat, Bungkarno
waktu itu tidak mau ke Bali. Karena beliau sangat marah terhadap Cokorde Gede
Raka Sukawati yang menjadi Presiden NIT. Karena menurut Bung Karno, jabatan ini
diberikan oleh Belanda dalam rangka menerapkan politik pecah belah. Ketika Bung
Karno menjadi Presiden RI, saya sendiri pernah satu hari dimasukkan kamar gelap
oleh Belanda. Pada waktu itu semua pemimpin perjuangan menyingkir ke
gunung-gunung, agar tidak bisa diajak berunding oleh Belanda. Sebelum mereka
berangkat, saya ditugaskan untuk menjaga desa peliatan.
Maka itu, sayalah yang ditangkap oleh Belanda, dan
ditanyai kemana para pemimpin negeri ini, saya katakan tidak tahu. Belanda
memang sangat licik, selalu memeras rakyat dan pribumi tidak boleh sekolah, agar semua tetap bodoh.
Lain halnya setelah merdeka, kita bisa mengatur diri kita sendiri,
kita tidak diperintah lagi sama orang lain. Bahkan ketika penjajahan jepang, saya
benar-benar melarat. Saya disuruh kerja rodi, bikin jalan, belajar pertanian,
benar-benar berdisiplin. Bahkan
di beberapa negara seperti Korea, Cina, banyak rakyatnya yang dibunuh. Perlakuan Jepang terhadap kita benar-benar
menyakitkan, tetapi ada dampak baiknya
sekarang, kita bisa berdisiplin.
Pengalaman saya yang paling tidak terlupakan,
ketika terjadinya Gerakan 30 September tahun 1965. Ketika meletus gerakan itu saya
sedang berada di Pasuruan Jawa Timur, bersama sekehe gong Gunung Sari. Disini saya
melihat banyak terjadi pembunuhan terhadap orang-orang Indonesia. Saya
benar-benar takut sekali, makanya saya segera pulang ke Bali. Ketika tiba di Bali,
saya juga mendapatkan banyak sekali orang-orang PKI yang dibunuh. Bahkan ketika
tiba di Peliatan, saya juga mendapatkan hal yang sama. Ketika itu memang banyak
sekali orang mau masuk PKI, karena pemimpinnya menjanjikan akan memberikan sawah
seandainya PKI menang.
Rakyat bisa diiming-imingi seperti itu, karena
kehidupan rakyat waktu itu sangat melarat, sangat miskin. Saya waktu itu terus menerus
diintimidasi oleh PKI dan diancam akan dibunuh, karena saya tidak mau masuk
PKI. Ancaman itu saya rasakan
sampai 1 tahun lamanya, tetapi saya biasa-biasa saja.
Untuk pendidikan anak-anak, saya memberikan
kebebasan kepada mereka termasuk didalam menekuni seni, termasuk memilih
sekolah dan jodoh.
Diantara sepuluh orang anak saya, nampaknya hanya
Anak Agung Oka Dalem yang mirip dengan saya. Sedangkan didalam keluarga, untuk mengatur keuangan saya kelola
bersama-sama dengan istri, tetapi biasanya sering saya serahkan pada istri,
karena saya sangat sibuk dengan seni.
Yang perlu dicatat, di keluarga ini, dari dulu
tidak pernah terjadi perceraian. Maka itu, saya anjurkan bagi segenap keluarga
besar Puri Kaleran, agar menghindari terjadinya perceraian. Apalagi sekarang
ini. Kalau mau cerai sangat susah karena berurusan dengan pemerintah. Maka itu,
kalau anak-anak saya ada yang mau cerai, reaksi saya tentulah menasehati agar
itu tidak dilakukan kalau tidak terpaksa.
Apalagi dalam ajaran hindu, hal ini sangat
dilarang. Karena orang hindu yang kawin sudah medewa saksi atau disaksikan oleh
para dewa.
Seperti sekarang ini, walaupun saya mempunyai 3
orang istri dengan 10 orang anak, saya tertap rukun-rukun saja. Karena semua
itu didasari oleh rasa saling mencintai dan penuh pengertian. Kalau
pertengkaran memang sering terjadi, itu sesuatu yang wajar pada setiap suami
yang banyak istri, tetapi saya bijaksana untuk menyelesaikan.
Istri saya yang pertama Oka namanya, hobinya
membikin banten atau sesajen. Istri saya yang kedua bernama anom, dia senangnya
menabung dan menghemat uang dan menenun. Sedangkan Wiraga senang memasak.
Tetapi yang paling humoris adalah Oka, sedangkan
anom sangat pendiam. Saya sendiri sangat suka marah, kalau lama tidak marah
sepertinya ada yang kurang.
Anak saya Bawa paling suka omong keras, tetapi
suka bergaul. Nadri sangat ramah. Rai Dalem suka bisnis, makanya dia yang
mengurus losmen dan trevel agent. Adiknya Oka yang di Jakarta juga senang bisnis,
suaminya bekerja di Bank.
Sedangkan Anak Agung Arimas, kawin ke Ubud.
Suaminya sangat disegani di Ubud, karena orangnya sangat ringan tangan, banyak
membantu orang lain dan senang ke Pura.
Adiknya yang paling kecil, Anak Agung Putra diam
di jakarta bekerja di hotel. Anak saya Anak Agung Bagus dan Oka Dalem masih
singel/teruna. Bagus senang ngurus restoran, Oka Dalem masih kuliah di Arsitek
Unud. Saya berharap mereka cepat-cepat
kawin. Dari sekian pengalaman yang saya alami selama hidup, menekuni seni tari
dan tabuh adalah pengalaman yang paling
berkesan. Dengan seni ini saya bisa kenal dengan orang-orang penting didunia,
seperti Raja Wiliam, Bung Karno, Ratu Yuliana, Carlie Caplin, Antonio Alto dari
Prancis, atau Mario dari Prancis.
Mario ini adalah murid langsung seniman tari I
Mario dari Tabanan. Nama ini mungkin dia pakai seperti nama gurunya. Tetapi
yang paling penting, dari sekian negara, daerah yang saya kunjungi, Bali memang
betul betul luar biasa. Tidak
ada satu tempat pun di dunia sebaik pulau Bali ini.
Kisah sedih dan haru saya pernah alami, ketika
saya mendengar teman saya Walter Speace meninggal. Ada orang belanda mendatangi saya, agar
Walter Spece bisa diaben bersama saya kalau kelak saya meninggal.
Orang ini mengatakan, pernah melihat arwahnya Walter
Spece. Kisah ini mungkin terinspirasi dari pengabenan ”Bonet” bersama Cokorde
Gede Agung di ubud.
Sebagai orang yang berumur panjang, saya merasakan
ada perubahan yang sangat cepat di Bali. Maka itu, saya ramalkan, dimasa akan
datang akan terjadi perubahan yang sangat mendasar di Bali. Satu contoh, pada
jaman dahulu ketika hari raya galungan, orang-orang betul-betul sangat antusias.
Karena betul-betul sakral dan diagungkan.
Tetapi sekarang ini, rasanya biasa-biasa saja, bahkan
lebih semarak merayakan tahun baru. Begitu juga halnya pada jaman dahulu, kalau
orang belajar pasti melalui tuhan. Artinya, sebelum belajar mereka selalu
berdoa, mohon agar diberikan kemudahan.
Tetapi sekarang hal itu tidak pernah dilakukan
lagi. Tuhan memang tidak pernah menghukum umatnya, tetapi akibat kita lupa
dengan tuhan akibatnya dapat dirasakan.
Misalnya dunia kering atau banjir sekalian, banyak
bencana dll. Dunia akan hancur atau tidak
hancur, semuanya kehendak tuhan. Yang jelas, manusia didunia ini seperti
wayang, sedangkan dalangnya adalah Tuhan.
Kalau dunia ini kiamat, entah dimana lagi tuhan
akan menciptakan dunia baru. Yang jelas dunia ini selalu ada baik dan buruk atau
rwa bineda, tetapi yang baik akan selalu menang, dharma selalu menang.
Semua cerita tentang manusia semuanya sudah diatur
sama tuhan, walaupun akan terjadi perubahan yang sangat menyedihkan, manusia
tidak akan dapat menghalangi kehendak tuhan.
Sebagai akhir cerita, saya ingin memperkenalkan
diri. Waktu kecil saya sering di panggil Anak Agung Lepo, tetapi juga
kadang-kadang di panggil Anak Agung Meregeg. Tetapi saya juga dibuatkan nama oleh
orang tua saya yaitu Anak Agung Ngurah Mandera. Nama ini akhirnya saya pakai
sampai sekarang semenjak tahun 1928. Saya juga sangat menyenangi memakai nama
ini. Didalam perjalanan hidup saya juga pernah menemukan penomena alam 2 kali
yaitu meletusnya gunung Batur dan meletusnya gunung Agung tahun 1963.
Tetapi meletusnya gunung Batur jauh lebih hebat
dari Gunung Agung. Saya termasuk orang beruntung, karena dapat melihat kedua
penomena alam tersebut. Saya yakin tidak semua dapat melihat penomena itu.
Om, Santi Santi Santi, Om
Rombongan Penari
dan Tabuh
Legong
Peliatan Tahun 1931
Ke Perancis
---------------
Penanggung Jawab
Cokorde Gede Raka Sukawati (Puri Kantor Ubud)
Cokerde Gede Rai (Puri Agung Peliatan)
Pimpinan,
Anak Agung Gede Ngurah Mandera
Anggota
1. Cokorde
Gde Rai
2. IB. Ny
Cim
3. I Bajra
4. Gst Oka
5.I Gerodong
6.I Gerindem
7. Ngk
Togog
8. Ngk Kompiang
9. I Kuwus
10. I Toblo
11. Kt. Gerudug
12. An Ag Rai Dobler
13. An Ag Kontje
14. Gst Kompiang
15. I Keredek
16. Ni Serining
17. Ni Renes
18. Ni Jabreg
19. I Wede
20. I Regog
21. I Gejer
22. I Lebah
23. I Olas
24. Cok Gde
Oka
25. Cok Gde Rai Sayan
26. Cok Ngurah Wing
27. Cok Istrti Pera
28. Cok Rai Agung Mas
29. Jero Candra
30. I Ronje (payangan)
31. An. Ag. Rai (payangan)
32. I Liang (payangan)
33. I Lasia (payangan)
34. N. Kodir (payangan)
35. Sang Ayu Ruwet (payangan)
36. Ni Tunjung (payangan)
37. Ds Merenjong (payangan)
38. Ni Renti (payangan)
39. Ni Kardi (payangan)
40. Gst Rai Mara (payangan)
41. Ni Rinceg (sanur)
42. (saru).....(sanur)
43. Ni Jabreg (sanur)
44. I Munggah (sanur)
45. I Dugdug (sanur)
46. Cok Gde Anom
47. Cok Agung
48. Cok Oka Singapadu
49 I. Serog
50. Cok Gede Raka Sukawati
51. Anak Agung Raka Batuan
Selesai Ditulis :
Tanggal 17 Agustus 2009
Tempat :
Di Banjar Batur Sari Denpasar
Oleh :
Ir. Putu Januar Ardhana
Kurukulum Vitae
Ir. Putu Januar Ardhana
1. Nama : Ir. Putu Januar
Ardhana
2. Tempat/Tgl. Lahir :
Tabanan, 6 Januari 1960
3. Alamat : Jalan Sekarsari 14,
Denpasar
Timur, Bali
3.
Pekerjaan : Dosen Kopertis
(PNS), di
Pekerjakan di Unwar
4.
Gol/Pangkat
: IVb/Pembina
5.
Jabatan Akademik
: Lektor Kepala
6.
Alumni : Fakultas Pertanian
Jurusan Hama dan
Penyakit Tumbuhan
Universitas Udayana
Denpasar
7.
Organisasi :
a.
Forum Komunikasi GMNI
b.
Ketua Pemangku Semeton Sira Arya Gajah Para
Bretara Sira Arya Getas Se Indonesia
c.
Pembina UKM Kempo Unwar
d.
Pelatih dan Wasit Wusu Tingkat Nasional
(pertama
di Bali)
8.
Penataran
a.
Penataran P-4
b.
Penataran TOT P-4
c.
Penataran Buku Ajar
d.
Kursus Kewaspadaan Nasional
9.
Penelitian Individu
a. Pengaruh
Dosis Pupuk NPK terhadap
Tingkat
Serangan Penyakit Helminthosporium
oryzae pada Tanaman Padi
b. Beberapa
Teknik Budidaya Untuk memproduksi
Sayuran Dataran Rendah (cabai besar merah) di
Luar Musim
c. Strategi
Pengendalian Hama Terpadu Dalam
Mewujudkan
Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Yang Berwawasan Lingkungan
d. Pengaruh
Dosis Pupuk Nitrogen dan Zat Pengatur
Tumbuh Dekamon 22,3 L Terhadap Peretumbuhan
dan Produksi Jamur Merang (Volvariella
volvaceae)
e. Pertumbuhan
dan Hasil Tanaman Cabai Merah
Pada Pemberian
Dosis Pupuk Nitrogen dan Zat Pengatur Tumbuh
Dekamon 22,3 L
f. Pengaruh
Lama Rendaman Jerami dan Lama
Proses
Pengomposan Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Jamur Merang (Volvariella volvaceae)
g. Pengaruh
Prekuensi Pengolahan Tanah dan Dosis
Pupuk Organik
Soil Treatment (OH) Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Bawang Merah (Allium sativum L)
h. Pengaruh
Ketebalan Mulsa Jerami dan Jarak
Tanam terhadap
Hasil Jamur Merang (Volvariella volvaceae)
i.
Pengaruh Media dan Usia Biakan Jamur Soicaria
sp Terhadap tingkat kematian Helopeltis antonii
10. Penelitian
Kelompok
a. Dampak
Sosial Ekonomi Kepariwisataan di
Kelurahan Kerobokan Kabupaten Badung
b. Dampak
Pemasyarakatan dan Pembudayaan P-4
di Kabupaten Dati II Jembrana, Bali
c. Dampak
Pemasyarakatan P-4 di Desa Tertinggal
di Bali
d. Pembuatan
Amdal Kawasan Wisata Kintamani
e. Pembuatan
Amdal Kawasan Wisata Bedugul
f. Pembuatan
Amdal Kawasan Wisata Pantai Soka
g. Pembuatan
Amdal Kawasan Wisata Nusa Penida
h. Pembuatan
Amdal Kawasan Wisata Tulamben
i.
Pembuatan Amdal Kawasan Industri Celukang
Bawang
j.
Pembuatan Amdal Hotel Green Garden Kuta
11. Bidang
Yang Pernah Ditekuni
a. Kepala
Pusat Penelitian Unwar
b. Ketua
Redaksi Majalah Puslit Unwar
c. Ketua
Majalah Ilmiah Fakultas Pertanian Unwar
d. Anggota
Redaksi Majalah Ilmiah Kopertis
Wilayah VIII
e. Anggota
Redaksi Majalah Kampus Unwar
12. Buku-Buku
Yang Pernah Ditulis
a. Diktat
Dasar Dasar Perlindungan Tanaman
b. Diktat
Ilmu Alamiah Dasar
c. Diktat
Pengendalian Hama Terpadu
d. Pula Pali Sane Kemargiang
Di Pura Antap
Klungkung
e. Pula
Pali Di Sanggah Merajan di Bali
f. Tetikasan
Kepemangkuan
g. Lalintih
Sira Arya Gajah Para dan Bretara Sira
Arya Getas
h. Gaguritan
Sira Arya Gajah Para.
i.
Selayang Pandang A.A. Gede Mandera
j.
Selayang Pandang Pura Suralaya Banda
k. Selayang
Pandang Sanggah Pamerajan Di Bali
13. Karya
Yang Lain.
a. Mengkomputerisasi
Lontar Siwa Gama
b. Mengkomputerisasi
Lontar Ganapati Tatwa
c. Mengkomputerisasi
Lontar Kekawin Darma
Wijaya
d. Mengkomputerisasi
Lontar kekawin Arjuna
Premada
e. Mengkomputerisasi
Lontar Kekawin Saba Parwa
f. Mengkomputerisasi
Lontar Kekawin Swarga
Rohana
g. Mengkomputerisasi
Lontar Kekawin Mosala
Parwa
h. Mengkomputerisasi
Lontar Kekawin Jarasanda
i.
Mengkomputerisasi Kekawin Karna Antaka
j.
Mengkomputerisasi Lontar Kekawin Kangsa
Antaka
k. Mengkomputerisasi
Lontar Kala Tatwa
l.
Mengkomputerisasi Lontar Lebur Gangsa
m. Mengkomputerisasi
Lontar Janana Tattwa.
n. Mengkomputerisasi
Lontar Kekawin Hariwangsa.
o. Mengkomputerisasi
Lontar Wirata Parwa
p. Mengkomputerisasi
Lontar Kekawin Bima
Wijaya
q. Mengkomputerisasi
Lontar Udiyoga Parwa
r.
Mengkomputerisasi Lontar Kakawin Brahmanda
Purana
s. Mengkomputerisasi
Lontar Astupungku
t.
Mengkomputerisasi Lontar Brahmokta
u. Mengkomputerisasi
Lontar Sri Tattwa
v. Mengkomputerisasi
Lontar Dasa Kanda
w. Mengkomputerisasi
Lontar Kamahanikam
x. Mengkomputerisasi
Lontar Putru saji
y. Mengkomputerisasi
Lontar Haji Kanda
z. Mengkomputerisasi
Lontar Rudra Purana
aa. Mengkomputerisasi
Lontar Siwa Purana
bb. Mengkomputerisasi
Lontar Stri Pralapita
cc. Mengkomputerisasi
Lontar Calonarang
dd. Mengkomputerisasi
Lontar Dewa Ruci
ee. Mengkomputerisasi
Lontar Gagak Aking
ff. Mengkomputerisasi
Lontar Kunjara Karna
gg. Mengkomputerisasi
Lontar Tata Buana
hh. Mengkomputerisasi
Lontar Tatwa Siwa Purana
ii. Mengkomputerisasi
Lontar Tatwa Bujangga Bali
jj. Mengkomputerisasi
Lontar Slokantara

Ir. Putu Januar Ardhana
(Trah/Bhatara Kawitan: Sira Arya
Gajah Para Bretara Sira Arya Getas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar