SEKILAS PANDANG
TENTANG PURA SURALAYA
BANJAR BANDA
BAB I
PENDAHULUAN
Om, Awighnemastu Nama Sidem
A. Selayang
Pandang Tentang Pura Suralaya
Para pembaca yang
penulis hormati, sebelum penulis menghaturkan segala sesuatu tentang Pura
Suralaya ini ini, ijinkanlah penulis menghaturkan
sembah sujud kehadapan Ida Sanghyang Aji Saraswati dan Bhatara Bhatari
yang melinggih di Pura Suralaya ini. Mudah-mudahan Beliau Asung Kertha Wara
Nugraha kepada penulis serta para damuh-damuh beliau yang ingin mengetahui lebih
jauh tentang Pura Suralaya. Khususnya tentang Sejarah Pura, Fungsi Pelinggih
dan Pula-Pali yang berlaku pada setiap Odalan, Rerainan (dina/tegak odalan
setiap bulannya), Purnama, Tilem, Kajang
Kliwon atau pada setiap harinya.
Seperti diketahui
sampai sekarang, pedoman baku tentang pura
yang ada di Bali betul-betul
sangat minim, terutama tentang fungsi pelinggih dan pula pali yang dilaksanakan
setiap odalan atau pada hari hari penting agama hindu.
Sehingga didalam
setiap pelaksanaannya selalu memakai pedoman mule keto atau apa yang mereka
tahu, sehingga pelaksanaannya menjadi tidak jelas dan berbeda setiap saat. Disamping
itu, masalah nama pelinggih atau apa fungsinya serta siapa yang berstana di
sana, tentulah tidak semua orang mengetahui. Hal ini karena minimnya bacaan
tentang itu.
Maka itu, penulis
merasa tergerak untuk menulis tentang keberadaan Pura Suralaya, walaupun sumber-sumber
tentang Pura Suralaya sangatlah minim, apalagi pengetahuan penulis tentang pura
ini juga sangatlah terbatas. Tetapi berdasarkan keyakinan, Ida Bhatara Lelangit
dan Ida Bhatara yang melinggih di Pura Suralaya ini, pastilah akan memberikan
restu dan tuntunannya, maka dengan besar hati penulis memberanikan diri untuk
menulisnya. Apalagi sekarang sudah banyak diterbitkan buku-buku tentang Agama
Hindu, khusunya mengenai Agama Hindu di Bali, yang dapat penulis pakai pedoman
dan tuntunan.
Sekali lagi penulis
memohon, dimana penulis yang kebetulan
merupakan pretisentana Sira Arya Gajah Para yang lahir di Banjar ini, dengan
penuh rasa sujud bakti mohon ampun kehadapan Bhatara Bhatari yang melinggih
ring Pura Suralaya. Karena Damuh Bhatara
Bhatari, berani menulis dan menyebut-nyebut nama Bhatara-Bhatari.
Tetapi tujuan
penulis tiada lain hanya ingin berbakti, agar para damuh Bhatara Bhatari lebih
mengenal tentan Pura Suralaya. Semoga setelah mereka mengenal lebih dekat
tentang Pura ini, para Damuh Beliau di masa-masa mendatang akan lebih sujud dan
berbakti lagi.

Papan Nama Pura Suralaya
B. Selayang
Pandang Tentang Banjar Banda
Adapun Pura Suralaya yang penulis jadikan obyek
penulisan adalah Merupakan pura kebanggaan dari masyarakat di sini. Seperti
diketahui, masyarakat banjar Banda ini merupakan masyarakat yang terdiri dari
beragam wangsa. Karena dari pengamatan Penulis Sanggah Kawitan yang ada di
Banjar Banda ini cukup beragam. Misalnya disini ada Pemerajan/Sanggah Kawitan
Sangging, Pemerajan/Sanggah Kawitan Pulasari, Pemerajan/Sanggah Kawitan Mpu
Haji, Pemerajan/Sanggah Kawitan Pasek, Pemerajan/Sanggah Kawitan Arya Gajah
Para, Sanggah/Pemerajan Kawitan Arya Kepakisan. Sanggah/Pemerajan ini besarnya
juga beraneka ragam dari Tri Lingga, Panca Lingga, Sapta Lingga sampai Ekadasa
Pepeking Dewata, semua ada di Banjar Banda ini.
Banjar Banda merupakan Banjar yang cukup Indah dan
Tenang dengan letak yang memanjang dari Utara ke Selatan. Banjar Banda merupakan salah satu Banjar yang
ada di Desa Dinas Takmung. Sedangkan Desa Dinas Takmung terdiri dari beberapa
banjar seperti misalnya, Banjar Takmung Kangin, Banjar Takmung Kawan, Banjar
Banda, Banjar Sidayu Kangin, Banjar Sidayu Kawan, Banjar Lepang, Banjar
Umesalakan dan Banjar Losan, yang terbagi menjadi 5 Desa Adat, yaitu Desa Adat Takmung, Desa
Adat Lepang, Desa Adat Umasalakan,
Desa Adat Sidayu Kawan dan Desa Adat Sidayu
Kangin. Desa Adat Takmung terdiri dari Banjar Takmung Kangin dan Kawan, Banjar
Losan dan Banjar Banda.
Sebagai konsekwensinya sebagai anggota Desa Adat, maka
Banjar Banda ini juga sebagai pengempon Pura Puseh, Pura Dalem dan Pura Bale
Agung atau Pura Kahyangan Tiga. Tetapi di Banjar Banda sendiri seperti penulis kemukakan dimuka,
disini juga ada sebuah Pura yang sangat dibanggakan oleh Warganya yaitu Pura
Suralaya.
Tetapi bagaimana proses dan kapan berdirinya pura
ini, tidak satupun bukti tertulis yang dapat penulis temukan. Penulis bahkan
sudah menelusuri sejarah ini sampai keberbagai tempat, yang penulis duga ada
kaitan dengan banjar ini. Misalnya ke banjar Tihingan, Lepang, Sari Merta Koripan,
bahkan sampai ke Dinas Kebudayaan Propinsi Bali. Tetapi hasilnya nihil. Hanya berupa mitos
yang berkembang dimasyarakat, itupun ada beberapa versi. Tetapi sebagai pedoman sementara penulis
mengambil satu versi saja.
Kisah ini sebenarnya dimulai ketika Dalem
Klungkung melakukan inspeksi terhadap pasukan beliau yang di tempatkan di
perbatasan kerajaan Klungkung dan kerajaan Gianyar. Nampaknya beliau kemalaman di tempat
ini.
Akhirnya beliau memutuskan untuk bermalam di
tempat ini. Setelah beliau kembali ke Klungkung, oleh masyarakat desa, di
tempat ini didirikan sebuah pura.
Tujuannya tiada lain untuk mengenang, bahwa ditempat ini, Dalem Klungkung pernah bermalam.
Masalahnya sekarang, kenapa pura ini dinamakan
Pura Suralaya? Seperti di Ketahui, Suralaya ini adalah negaranya Bhatara Indra
yang sering disebut Indra Loka atau Sorga Loka. Sedangkan Purinya/Istananya
bernama ”Puri Kendran”. Maka itu
penulis menduga, Dalem Klungkung ketika itu dianggap Titisan Bhatara Indra yang
turun ke dunia. Maka itulah tempat ini
dinamakan Pura Suralaya, yaitu Pura Tempatnya Bhatara Indra yang ada di Dunia.
Hal ini juga diperkuat, dengan ornamen-ornamen yang ada di Pura ini, hampir seluruhnya
menceritakan tentang kebesaran Bhatara Indra.
Misalnya yang ada di belakang
bangunan piasan (sekarang dijadikan aling-aling). Di sana dipahatkan tentang kisah Arjuna Wiwaha. Seperti kita ketahui, dalam kisah Arjuna
Wiwaha, yang dimulai karena Bhatara Indra sedang kena bencana dan berakhir
dengan terbunuhnya Niwatakawaca oleh Arjuna.
Berdasarkan hal tersebut di atas, Pura Suralaya sekarang
ini pun diyakini oleh seluruh Anggota Banjar Banda merupakan tempat
Bersemayamnya Bhatara Indra.
Sebagai peringatan, tonggak berdirinya pura
Suralaya ini, terus diperingati sampai sekarang, yaitu Anggar Kasih Medangsia dalam
bentuk Piodalan. Piodalan di Pura Suralaya ini berlangsung selama 3 hari, atau nyejer
selama 3 hari.
Sedangkan Kisah dan Sejarah, bagaimana
terbentuknya Banjar Banda ini juga masih banyak versi. Sebab sampai saat
sekarang, penulis belum menemukan bukti otentik, baik berupa tulisan maupun
bukti-bukti lain, tetapi hanya berupa cerita dari beberapa orang tua, itupun
beragam adanya. Salah satu dari cerita itu adalah sebagi berikut,
Ketika Raja Klungkung mengadakan penyerangan
keberbagai tempat yang ada di barat sungai Bubuh, maka diperintahkanlah
prajurit beliau yang berkedudukan di Banjar Ambengan, Batu Tabih, Desa Takmung
untuk berangkat.
Ekspedisi ini dimulai dari Pantai Lepang ke barat
sampai Pantai Kesiut, dari sana lalu menuju uttara sampai di Tulikup. Dari Tulikup
ke timur sampai di sebuah hutan kecil yang sekarang menjadi Banjar Banda ini.
Didalam perjalanannya itu, balayuda ini juga membawa oleh-oleh yang diwariskan
sampai sekarang yaitu berupa ”Lesung Batu”. Bagi keluarga yang mempunyai Lesung
Batu, itu pertanda pengelingsirnya ikut dalam rombongan itu.
Setelah lama bermukim disini, Raja Klungkung
akhirnya memakai warga ini sebagai ”Tabeng Dada” kerajaan tepi barat.
Pada suatu kesempatan, Raja Klungkung mengadakan
kunjungan kesini, semacam inspeksi pasukan. Ketika tiba, beliau dilinggihkan
disebuah tempat. Tempat itu dikemudian
hari dibangun sebuah pura. Pura inilah kemudian diberi nama Pura Suralaya. Sekarang
masalahnya kenapa banjar ini diberi nama Banda dan kenapa puranya disebut Pura
Suralaya. Banda mungkin saja terinspirasi dari ”Jembatan Situbanda” yang dibuat
oleh Prabhu Ayodia, Rama Dewa ketika
menyerang Prabhu Alengka Pura, Rahwana. Raja Klungkung mungkin menegaskan dan
memesankan agar Masyarakat yang berdiam
disini mempunyai semangat untuk mempertahankan daerahnya seperti Prabhu Rama
Dewa ketika membuat jembatan Situbanda itu.
Sedangkan Suralaya adalah merupakan negara dari
Dewa Indra. Ketika Raja Klungkung mengadakan lawatan ke sini, beliau bertindak
sebagai panglima perang. Kita tahu Dewa Indra adalah dewa perang atau panglima
para dewata. Maka itulah tempat peristirahatan belia disini, dinakakan Pura
Suralaya.
Penulis juga sempat berbincang dengan beberapa
ahli kata. Kata Sura Laya mengandung arti yang syarat makna. Suralaya itu,
artinya pertahankanlah daerah ini sampai titik darah penghabisan walaupun
taruhannya mati. Apabila kamu
mati karena mempertahankan daerahmu, kamu akan disebut ”Satria Mahottama”. Inilah yang sekarang disebut dengan
istilah ”Puputan”.
Tetapi secara mengejutkan, penulis mendapatkan
sebuah salinan rontal dari gria Takmung, yang secara jelas memuat tentang
berdirinya sejarah banda ini, termasuk sejarah Pura Suralaya ini.
Adapun naskah lenghkapnya adalah sbb,
“Paman menawe hane kari anak anaking
Kyayi Bendul sisaning pejah kararudang ke Badung”, ike kanikayang sire angalih
antuk Dalem, I Pandé anawur wacanan Déwagung, sahe sembah mepamit ke Badung amendak I Gusti
Badung, pinake pamacek jagat Tihingan. I
Gusti Pucangan angicén, aris te sire I Gusti Badung jenek ring Tihingan. Swé te sire ring Tihingan, rumase embang
désané kiléning Takmung, raris te sire angalih maring kuloning Takmung pinake
pangukuh gelaring Semarepure. Kicén
wadwe olih paman sire I Gusti Kubakal wanging Banjar Ambengan Takmung 30 diri,
wekasan mearan Dése Bande, mapan binande sini déning lawan tmes tekaning
mangkin, sampun aswé sire jenek
ring Bande anangun sire parhyangan
inaranan Sure Laye. Sure ngaran Wani, puruse.
Laye ngaran prelaye. Muwah
amangun pamerajan linggih dané I Gusti Badung sisi lor Pure Surelaye, ring
wétanye Carik Subak Penasan, kidul mewates Pure Dalem Umesalakan, sisi kulon
Toye Tukad Bangke”
Maka itu, penulis menyerahkan kepada
pembaca untuk menyimak, yang mana yang benar.
Apakah mitosnya atau turunan rontalnya.
Ketika penulis menulis tulisan ini, jumlah
penduduk banjar Banda adalah kurang lebih 125 kepala keluarga, termasuk warga
banda yang ada di rantauan. Sedangkan mata pencaharian masyarakatnya sebagian
besar adalah di bidang pertukangan, sehingga darah seni sebenarnya sudah
mengalir dalam diri mereka semenjak lama.
Maka itu tidak mengherankan kalau dari banjar ini
lahir seorang Maestro Seni yang sudah sangat terkenal ke manca negara yaitu
seorang pelukis yang bernama I Nyoman Gunarsa. Sebagai rasa
bangga terhadap banjarnya ini, maka beliau mendirikan sebuah museum seni. Bahkan
museum ini, sekarang menjadi semacam Identitas kota Klungkung, khusunya bagi Banjar Banda.
Banjar Banda ini tepatnya terletak 4 Km di barat kota
Klungkung, yang dibatasi oleh, batas-batas geografis. Sebelah Utara adalah banjar Penasan
(Desa Tihingan), Di Bagian Barat adalah sungai Kerincing atau sering
disebut tukad Bangka (tukad mati), Di Selatan desa adat Umasalakan dan Sebelah Timur
adalah banjar Takmung.
Menurut carita para tetua dan sesepuh banjar Banda,
dulunya banjar Banda ini menjadi bagian dari banjar Takmung. Tetapi karena
sesuatu hal, maka pada tahun 1940 an, banjar Banda menjadi banjar tersendiri. Sedangkan
dari turunan rontal gria takmung juga sangat jelas dikatakan, seperti itu. Adapun naskah lengkapanya adalah sbb,
”Ring tahun
maséhi 1942, hane wicare Takmung kelawan Bande mawit saking upacare Pitre
Yadnye. Wanging Bande asétre ring
Takmung sinanggeh madoh angawe rompok ring Takmung. Mahyun te sire angawé rompok nyisi Dese Bande
sakte amawe tawulan angeliweri kahyangan dése.
Tan wéhane mapan tan wenang malih amawe tawulan maring dése pekraman,
mawit saking ike sawus amitre yadnye, Bande tan malih asétre ring Takmung sahe
angawé sétre ature I Mergig (?), mangkane predatanye nguni”.
Pada Tahun 1980 an anggota banjar Banda berkisar
antara 70 sampai 75 Kepala Keluarga. Sedangkan saat ini (tahun 2012) jumlah
anggota banjar Banda ini sudah mencapai kira-kira 125 Kepala Keluarga.
Pada tahun 2009 banjar banda secara defakto memekarkan
diri menjadi Desa Adat tersendiri, tetapi sampai buku ini kami tulis,
masalahnya belum selesai. Artinya belum
dapat pengakuan resmi dari yang berwenang.
C. Selayang Pandang Pura Kahyangan
Tiga Suralaya
Rencana pemekaran atau pengembangan banjar banda
menjadi desa adat banda memang sudah mengerucut. Ini artinya masyarakat banjar banda akan
membuat pura kahyangan tiga tersendiri dan memisahkan diri dari desa adat
Takmung.
Keinginan untuk menjadi desa adat tersendiri memang sudah ada semenjak lama. Tetapi
rencana ini lama terpendam karena sesuatu dan lain hal. Nampaknya rencana menjadi desa adat
tersendiri dicetuskan kembali oleh Bapak I Nyoman Gunarsa. Bahkan beliau
menjanjikan, seluruh pembangunan pura dan pembuatan tapakan barong akan di tanggung
oleh beliau.
Nampaknya tawaran Bapak I Nyoman Gunarsa seperti
gayung bersambut. Karena tanpa berpikir terlalu lama, masyarakat banjar banda
secara aklamasi menyetujui ajakan Bapak Nyoman Gunarsa ini.

Para Istri-Istri
Persiapan Ngaturang Pecaruan
Ada 2 syarat uttama yang harus dipenuhi untuk
dapat menjadi desa adat yaitu memiliki tanah kuburan dan memiliki pura kahyangan tiga, yaitu puseh
dalem dan pura desa atau pura bale agung. Syarat pertama tentulah sudah dapat
terpenuhi, karena banjar banda seperti pada umumnya banjar yang ada di
lingkungan desa Takmung, yaitu sudah memiliki setra atau seme tersendiri.
Tinggal memenuhi syarat kedua yaitu membuat pura kahyangan tiga.
Maka itu tindakan pertama yang dilakukan oleh
pemuka masyarakat adalah berkonsultasi ke beberapa tempat yang dianggap
berkompeten, misalnya ke gria-gria yang ada di lingkungan desa Takmung. Bahkan
kebeberapa gria yang ada di sekitar desa Takmung. Nampaknya semua konsultasi yang dilakukan
tidak ada yang memuaskan. Maka itu konsultasi terakhir dilakukan ke Gria
Aan. Nah disinilah akhirnya panitia
mendapat kesimpulan, bahwa pura kahyangan tiga bisa dibuat dalam satu
areal. Bahkan ketika hasil konsultasi
ini disampaikan, seluruh lapisan masyarakat mendukung, bahwa pura kahyangan
tiga ini akan di dirikan di dalam areal pura Suralaya, dengan mengatur beberapa
pelinggih yang telah ada.

Warga Banjar Banda Bergotong Royong
Ngasahang Tanah
Bahkan Ida Pedanda Aan, telah memberikan
lokasinya. Pura Dalem di timur menghadap
ke barat, pura Puseh di utara menghadap ke selatan dan pura Bale Agung di barat
menghadap ke selatan. Nampaknya rencana
ini mendapat tantangan oleh Ida Bagus Suryadarma dari Gria Batutabih. Bahkan ketika beliau kita undang berdialog di
pura suralaya, secara terang-terangan beliau tidak setuju dengan rencana
masyarakat banda yaitu mejadi desa adat sendiri. Sehingga waktu itu terjadi perdebatan yang
cukup sengit. Dari banjar Banda diwakili
oleh Bapak I Ketut Arsa Wijaya dan Pemangku Nyoman Suwitra. Bahkan sampai akhir dialog, beliau tetap
tidak setuju. Maka itu, masyarakat Banda
yang dimotori oleh Bapak Nyoman Gunarsa berketetapan pada pendiriaannya, jalan
terus, apapun resikonya.
Tindakan pertama yang harus dibuat adalah pura
Kahyangan Tiga, meliputi pura Puseh, pura Dalem dan pura Desa yang lazim
disebut pura Bale Agung.
Sesuai dengan saran Ida Pedanda Gria Aan, bahwa
ketiga pura tersebut semuanya akan dibuat di dalam areal pura Suralaya. Bahkan nyukat karangnya dilakukan sendiri
oleh Pedanda Aan. Pura Dalem akan dibuat berupa gedong, di timur menghadap
kebarat, pura Puseh, dibuat berbentuk meru tumpang 5 di utara menghadap
keselatan, dan pura Bale Agung di buat paling barat menghadap keselatan.
Tetapi ketika diadakan pengukuran, nampaknya ada
beberapa pelinggih yang harus digeser, misalnya balai piasan, dan balai
pegongan. Disamping itu, nampaknya tanah
atau areal pura ini agak sempit, bahkan bentuknya seperti trapesium.
Maka itu secara sepontan, lagi-lagi Bapak Nyoman
Gunarsa menyumbangkan tanahnya yang ada disebelah barat pura untuk dipakai
sebagai perluasan pura. Bahkan tanahnya paling pojok kelod kauh disumbangkan
untuk pembangunan kamar kecil. Maka itu
setelah mendapat sumbangan tanah barulah tembok lama di bongkar dan bentuknya
seperti sekarang.

Warga Sedang Memindahkan
Pelinggih Manik Bingin
Karena ada rencana untuk membuat Barong dan
Rangda, maka diputuskan untuk memakai kayu pule yang pernah hidup di pura
Prajapati.
Adapun sejarah pohon pule ini adalah sebagai berikut, Di pojok kelod
kawuh pura Prajapati tumbuh pohon pule yang sangat besar, bertumpang 5 (lima).
Tetapi pada tahun 2000 ada keinginan masyarakat untuk membuat bale
pegongan maka mau tidak mau pohon pule ini harus ditebang.
Ada beberapa masyarakat yang kurang setuju
menebang pohon pule ini, termasuk Bapak Nyoman Gunarsa. Tetapi karena sebagian
besar warga berkeinginan membuat bale pegongan maka pohon pule ini diputuskan
harus ditebang. Kayunya sebagian besar diambil oleh Bapak Nyoman Gunarsa Sekarang
berhubung akan membuat tapakan barong dan rangda, kayu yang diambil oleh Bapak Nyoman Gunarsa
inilah yang akan dipakai. Setelah dicari kerumahnya bapak Nyoman Gunarsa
ternyata sebagian besar kayunya hampir rusak (berek) setelah dipilih ada 6
keleng yang masih Bagus. Lalu dibawa ke Suralaya.
Tanggal 7 September 2006, Redite Medangsia kayu
ini kembali dihaturkan ke prajapati, dan akan dipendak pada saat penyineban
odalan di pura Suralaya yaitu tanggal 12 September 2006, sukra pon medangsia.
Tetapi atas anjuran jero Pemangku Nyoman Suwitra
akhirnya diputuskan akan dipendak tanggal 14 September 2006.
Pada Pukul 14.00 Wita, Pada tanggal 14 September
2006, redite pujut, purnama katiga, kajang kliwon pujut, Dilakukan mendak kayu pule di pura
Prajapati. Setelah mengadakan persembahyangan, kayu dipundut ke pura Suralaya.

Potongan Kayu Pole Yang
Akan Dipakai Petapakan
Adapun Yang Mundut (nyuwun) kayu itu adalah Kadek
Angga Hendraningrat, Gede Anjas Permana, Wayan Suamba, Wayan Sudira, Wayan
Mudana (Celek), Komang Sweta (Cetu),
sedangkan yang negen (karena kayunya besar dan berat) oleh Putu Januar Ardhana,
Wayan Dastra, Made Redana dan Made Wista.
Iring-iringan ini juga diiringi oleh seke bale ganjur dan seluruh
warga masyarakat banjar Banda.
Setelah tiba di pura Suralaya, kayu ini lalu
dipendak di depan Pura. Setelah mendapat sesajen lalu di linggihang di balai
piasan.
Masyarakat lalu mesanekan sebentar sambil menunggu
Ida Dalem Klungkung yang rencananya akan Napak (selaku Brahmana) serta Cokorda
Raka Tisnu yang akan membuat Barong dan Rangda (sebagai Sangging).
Tepat Pukul 15.30 yang datang ternyata bukan Ida
Dalem Puri Klungkung tetapi Cokorda Alit dari Puri Klungkung.
Masyarakat agak kecewa, karena masyarakat berharap
yang napak adalah Brahmana bukan welaka. Setelah dikonfirmasi kepada yang
menjadi kelian banjar adat Banda, ternyata waktu mengundang Ida Dalem, yang
sebagai utusan ternyata tidak tahu siapa itu Ida Dalem dan dimana tempatnya. Para
utusan lalu bertanya dimuka Puri Klungkung, pada saat itu kebetulan ada seorang
wanita setengah baya lewat disana. Atas petunjuk wanita itu, diajaklah ke
tempat Cokorda Alit ini, bukan ke tempat Ida Dalem. Maka itulah yang datang
bukan Ida Dalem. Karena sudah terlanjur, maka masyarakat dapat memakluminya.

Bapak Nyoman Gunarsa
Berbincang Dengan Para Pemangku
Setelah agak lama menunggu, akhirnya Cokorda Raka
Tisnu baru datang pukul 18,05 Wita, langsung menuju jerowan. Setelah mesanekan
sebentar lalu beliau berdua diberi petunjuk oleh Bapak Nyoman Gunarsa tentang
bentuk barong dan Rangda yang akan dibuat.
Yang sangat ditekankan oleh Bapak Nyoman Gunarsa
sebagai yang mempunyai Idea serta sebagai sponsor tunggal untuk pembuatan
Barong dan Rangda ini. Beliau menginginkan Rangda (ratu janda) bukan benaru
(raksasa).
Rangda menurut beliau berciri khas cantik, cinging, serta calingnya pendek dan
lanying. Sedangkan benaru mukanya seram dan calingnya panjang dan melengkung.
Setelah Cokorda Raka Tisnu mengerti bentuk tapakan
yang diinginkan oleh Bapak Nyoman Gunarsa, beliau lalu pergi kepiasan melihat
kayu yang akan dipakai. Cokorda Raka Tisnu lalu ngantebang banten pejati.
Akhirnya dipilihlah 1 kayu untuk tapakan barong dan 1 kayu untuk tapakan rangda
dan 1 kayu untuk tapakan rarung. Sisanya untuk celuluk, lenda-lendi dan yang
lainnya.
Yang pertama dibakalin adalah tapakan barong
dibantu oleh Wayan Sudira sebagai tukang gergaji dan beberapa orang sebagai
tukang pegang kayu. Setelah selesai barulah ditapak oleh Cokorda Alit.
Tetapi tapakan rangda dan tapakan rarung tidak
ditapak waktu itu. Kayu untuk tapakan rangda dan tapakan rarung hanya disibak. Setelah ini semua kayu dibawa
ke Singapadu ke rumahnya Cokorda Raka Tisnu
Selama proses pembuatan tapakan ini, menurut Ida
Cokorde Raka Tisnu, hampir setiap hari Bapak Nyoman Gunarsa menyempatkan diri
untuk menengoknya.
Bahkan dalam setiap kesempatan datang, Bapak Nyoman
Gunarsa selalu memberikan petunjuk kepada Ida Caokorde Raka Tisnu, bahwa
tapelnya kurang ini kurang itu.
Tanggal 1 oktober, penulis berkesempatan melihat tapakan ini di Singa
Padu dan mengambil beberapa gambarnya.
Ketika itu
baru bakalan barong dan tapel yang sudah dibuat. Pada tanggal 22 oktober beberapa warga kembali melihat proses ini
yaitu penulis sendiri dan istri, Wayan Suamba, Mangku Prajapati,
Komang Nurjaya, Wayan Dastra, Wayan Suarta.

Tapakan
Rangda dan Barong
Ketika
Masih Bakalan
Ketika tapakan Rangda hampir jadi, Bapak Nyoman Gunarsa kurang puas,
karena tidak sesuai dengan keinginan beliau.
Maka itu, dibuatlah tapel Rangda lagi satu. Agar tidak terdapat kekeliruan lagi, akhirnya
Bapak Nyoman Gunarsa memberikan lukisan
tapel yang diinginkan beliau.
Tanggal 29 Oktober
mulang dasar yang dipuput oleh Pedanda................... dasar di pura
Dalem dipulang oleh…………………., di pura Puseh oleh………………..dan di pura Bale Agung
oleh………………….. disaksikan oleh seluruh warga Banjar Banda yang dimulai pada
pukul 07.00 pagi Wita. Tanggal 11 Maret sore masang pengangge, Tanggal 12 maret
membuat banten caru dan tanggal 13 Maret melaksanakan pecaruan resi gana.

Beberapa Warga Ketika Menengok Petapakan
Sebelum Selesai Di Puri Singapadu
Untuk selanjutnya akan dilanjutkan pemelaspasan
pretima dan ratu ayu tanggal 9. Kegiatan ini dimulai Tanggal 3 oktober 2009,
nanceb taring, ring natar jerowan, ring jaba pura depan medal, dilanjutkan
dengan pemelaspas bale piyasan, panggungan dan bale pesucian. Tanggal 5 oktober
2009 mendak petapakan ke Singapadu.
Sebelum ke Singapadu ada sedikit perbedaan
pendapat, tentang barong yang akan dibawa. Pada rencana semula akan dibuat satu
tapakan barong. Tetapi didalam perjalanannya, Pak Gunarsa lagi-lagi
menghaturkan punggalan barong yang ada di musium. Barong ini dibuat oleh orang
banda sendiri yaitu oleh Sukadana. dan
Sumendra. Nampaknya sebagian besar
menolak rencana ini, karena asal kayunya diragukan. Maka itu sebagian besar
menolak kehadiran tapel barong itu.
Untuk tidak terjadi keributan, karena acara sudah
sangat mendesak, maka oleh Bapak Nyoman Arka sebagai kelian banjar, diputuskan
untuk meredam keadaan ini. Dalam arti, punggalan itu akan dipendak bersama,
tetapi setelah selesai akan segera dikembalikan ke Musium.
Warga banjar nampaknya menerima rencana ini.
Sehingga prosesi pengambilan akan segera dilaksanakan.
Tepat pukul 10 Wita, tanggal 5 Oktober 2009, seluruh
pemendak dari banjar Banda sudah tiba di Merajan Puri Singapadu.
Jumlah petapakan seluruhnya adalah 11 buah,
termasuk tapel barong yang akan dikembalikan ke Pak Gunarsa. Tapel barong ini
berwarna putih dan berukuran sedikit lebih besar. Selanjutnya dilakukan prosesi
pemelaspas alit oleh pemangku Puri Singapadu. Yang dipelaspas seluruh tapel,
termasuk tapel barong yang berwarna putih.
Tepat pukul 10 seluruh prosesi di merajan ini
selesai. Akhirnya seluruh petapakan dipundut. Tapakan Rangda oleh I Gede Anjas Permana, Bojog atau kera
oleh Wayan Sana dan (penulis lupa), Lenda lendi 5 buah oleh Wayan Dastra, (yang
lainnya penulis lupa) Rarung oleh Made Santa, Barong oleh Wayan Nana dan Ketut
Lombok, punggalan barong besar oleh
Kadek Topan.
Tepat jam 11 Wita, tanggal 5 oktober 2009 seluruh
rombongan berangkat kembali pulang. Sedangkan seluruh tapakan naik mobil
truknya I Kembar.

Pemangku Suwitra
Memasangkan Tapakan Pada Pemundut
Tepat jam 12, rombongan tiba di banjar Banda.
Seluruh rombongan turun diujung selatan banjar Banda, pinaka catus pata desa.
Dari sini seluruh rombongan berjalan mengiringkan petapakan. Ketika tiba di
pura Suralaya, seluruh petapakan kembali diaturkan segehan, termasuk tapel yang
putih. Seluruh tapel akhirnya dilinggihang di pura Bale Agung. Saat ini
nampaknya banyak yang menanyakan, tentang keberadaan tapel yang putih itu.
Bapak Nyoman Arka selaku kelian banjar,
mengatakan, malan nanti tapel ini akan segera dikembalikan ke Musium Gunarsa.
Maka itu tepat pukul 21 Malam, Tapel yang berwarna putih dikembalikan kepada
Bapak Nyoman Gunarsa.
Setelah rombongan kembali dari Musium
Gunarsa, Bapak Nyoman Arka selaku kelian
banjar juga menyampaikan kepada warga,
masalah ini sudah selesai, Bapak Nyoman Gunarsa katanya sudah menerima
dengan lapang dada.
Tetapi pada pukul 23.00 Wita, tanggal 6 oktober
2009, Bapak Nyoman Gunarsa nampaknya
punya firasat lain. Beliau lalu menelpon
beberapa orang, termasuk penulis sendiri juga di telpun. Terhadap penulis
Beliau mengatakan, kenapa barong yang sudah diaturkan kok dikembalikan lagi.
Karena acara puncak sudah sangat dekat
sekali, maka semua yang ditelpon oleh
bapak Nyoman Gunarsa, sepakat untuk membicarakannya dengan hati-hati dan hanya
pada kalangan tertentu saja. Tetapi bapak Nyoman Arka selaku kelian
banjar, dengan berbagai pertimbangan
yang sangat matang, sekali lagi menegaskan kepada mereka, bahwa masalah ini
sudah selesai. Nampaknya semua dapat menerima keputusan ini dengan baik, demi
kebaikan kita semua.
Karena sampai saat ini, belum mempunyai kakurub
Rangda, Rarung dan Barong. Maka Bapak Nyoman Arka, menugaskan beberapa orang
untuk segera ke dalem Ped memasupai kakurub.
Tanggal 6 oktober,
jam 11 Wita, ke 9 orang yang
ditugaskan untuk memasupati kekurub di Pura Dalem Ped segera berangkat. Mereka itu adalah Made Superman, (pemangku
pura Dalem Prajapati). Beliau ditunjuk sebagai pemimpin rombongan. Anggota yang
lainnya, Nyoman Arka, (Kelian Desa Adat
Banda), Nyoman Suwitra, (Pemangku Dalem yang ditunjuk warga), Wayan Mudita (Pemangku
Bale Agung yang ditunjuk warga), Gede Anjas Permana (pragina), Kadek Topan
(pragina), Wayan Nana (pragina), Ketut Arsa Wijaya (pragina), Putu Januar
Ardhana (penulis).

Rombongan Pertama Yang Ditugaskan
Mempasupati Kakurub Rangda, Rarung dan Barong
Di Pura Dalem Ped Nusa Penida
Perjalanan kali ini menumpang kapal roro dan tepat pukul 13.00
Wita kapal mulai melaju ketengah laut. Pukul 16.00 Wita, kapal roro sudah
merapat dipelabuhan.
Ketika sampai di Pura Dalem Ped, suasana agak
sepi, tetapi bekas-bekas canang masih berserakan disana-sini. Dari informasi yang penulis terima dari
beberapa orang disini, katanya tadi pagi jam 09.00 Wita, ada acara penyineban karena habis ngusaba.
Sehingga keadaan pura dalem Ped sangat sepi hari itu, tidak seperti biasanya.
Tepat pukul 21.00 Wita, prosesi mempasupati kerudung
dimulai, dimulai dari pura Sagara, pura Taman. Lalu dipasupati ring pelinggaih
Bhatara Ratu Gede Mecaling. Setelah itu baru dibaktiang ring pura Penataran
Ped, pelinggih Ida Ratu Mas Meketel. Pempasupatian langsung dilaksanakan oleh
Pemangku Lingsir Pura Dalem Ped. Selain mempasupati kakurub, juga dilakukan
penapakan terhadap 3 orang pragina yaitu Gede Anjas Permana, Kadek Topan, dan
Wayan Nana. Mereka itu langsung ditapak oleh Pamangku lingsir dihadapan
pelinggih Ida Bhatara Ratu Gede Mas Macaling, ring pura Dalem Ped. Bahkan
mereka masing-masing diberikan saput
poleng.
Setelah prosesi mempasupati kakurub selesai,
selanjutnya kakurub ini dilinggihang dihadapan pelinggih Ida Bhatara Ratu Gede
Mas Mecaling, selama satu hari dan dikemitin selama satu malam. Malam harinya,
tanpa kami duga sebelumnya, banyak sekali orang yang datang pedek tangkil
kesini. Bahkan sebagai besar mereka-mereka adalah para balian yang berasal dari
Bali dan hampir semua mereka kerauhan
(kapangluh), bahkan ada yang mengatakan Bhatara Dalem Ped sudah melingga di
kakurub ini.
Besoknya kira-kira pukul 07.00 Wita, kami semua
sudah siap kembali pulang. Tetapi karena kami mundut kakurub dan Bhatara Tirta
Dalem Ped, maka secara spontan kami memutuskan untuk tidak naik kapal roro,
karena takut salah (cemer), tetapi kami putuskan untuk naik jukung.
Kami langsung menuju Desa Sampalan, tempat
pangkalan jukung yang akan mengangkut kami ke desa Kusamba. Tepat pukul 09.00 Wita, kami sudah sampai di Desa
Kusamba.
Selanjutnya kekurub dipundut oleh penulis sendiri,
Bhatara Tirta dipundut oleh Wayan Nana, dari sini kami langsung menuju
pura Suralaya. Ketika kami sampai di pura Suralaya, keadaan
sangat sepi, nampaknya tidak ada acara penjemputan khusus. Setelah menunggu
cukup lama, akhirnya beberapa kelian istri datang, dan menghaturkan segehan dan
upacara secukupnya. Setelah itu kakurub
dilinggihang di pura Bale Agung. Sedangkan Bhatara Tirta dilinggihang di
pelinggih Bhatara Dalem Ped. Setelah acara selesai kami pulang kerumah masing
masing.

Penulis Mamundut Kakurub
Wayan Nana Mamundut
Bhatara Tirta
Tetapi tepat pukul 11.00 Wita, I Nyoman Mundra mengalami kerauhan ditempatnya
bekerja, lalu diikuti oleh Mangku Prajapati, Mangku Mudita. Mereka lalu segera
di bawa ke pura Suralaya. Setelah tiba di pura Suralaya nampaknya makin banyak
yang kerauhan, misalnya I Komang Pasek dan istrinya, I Kadek Yudipranata dll. Masyarakat waktu itu menjadi agak panik,
karena mereka jarang sekali mengalami hal seperti ini.
Penulis sendiri ketika itu sebenarnya sudah pulang
kembali ke Denpasar dan sudah tiba di Desa Ketewel. Tiba-tiba, ada telepon,
agar segera kembali ke Klungkung, karena banyak orang kerauhan di pura
Suralaya. Tanpa pikir panjang, penulis segera memutar kendaraan dan segera
kembali ke Klungkung.
Melihat Gelagat seperti ini, Bapak Nyoman Arka
sebagai kelihan banjar, lalu natakin bawos. Intinya beliau mengatakan, bahwa
yang datang ini adalah beliau Bhatara Dalem Ped, dan meminta agar punggalan
barong yang dikembalikan ke musium agar diambil dan disungsung disini, karena kayunya sama, bahkan
ini bongkolnya kayu.
Disamping itu, punggalan barong ini dibakalin oleh orang banda asli, bahkan sudah sama-sama
diupacarai. Bapak Nyoman Arka sebagai
kelian banjar, dengan persetujuan warga banjar yang hadir, mengambil tindakan
tegas, untuk segera memendak kembali punggalan barong itu di musium.
Ketika rombongan sudah tiba di musium, kami semua
diterima oleh Bapak Nyoman Guanarsa, intinya beliau mengijinkan punggalan
barong ini dibawa kembali, tetapi dengan beberapa syarat. Adapun syarat-syarat
yang diajukan adalah, punggalan ini
agar dipendak dengan memakai Gong Bale Ganjur dan waktu odalan di pura
musium, seluruh warga diharapkan ngaturang
bakti disini. Syarat-syarat ini segera
disetujui oleh yang hadir waktu itu.
Akhirnya seluruh yang hadir berangkat ke pura musium,
untuk memendak punggalan barong ini. Rombongan ini, dipinpin oleh Mangku Badera (Pamangku Puseh).
Sebagai Pendamping adalah Mangku Sudibia. Sedangkan sebagai pengremba seluruh
penglingsir Banjar, misalnya Gusti Putu Lingga, Mangku Pura Antap, Bapak Wayan
Warta, dll.
Setelah diadakan prosesi di musium, punggalan barong akhirnya dibawa ke pura Suralaya,
dipundut oleh I Gede Anjas Permana.
Tepat pukul 12.00 Wita, rombongan tiba di pura
Suralaya. Ketika Punggalan barong ini sampai di pura Suralaya, beberapa orang
lagi-lagi kerauhan, misalnya Mangku Prajapati, I Komang Pasek, Kadek
Yudipranata (Jontor). Tetapi setelah
diketisin tirta, mereka mulai sadar kembali. Selanjutnya dilakukan
pengebaktian, dipimpin oleh Mangku Suwitra sebagai pamangku Dalem. Pengabaktian
ini, bahkan dihadiri oleh Bapak Nyoman Gunarsa, orang yang sangat dihormati di
Desa Banda ini.
Akhirnya, tanggal 8 oktober 2009, melaspas pratima
dan tapakan semua, serta dilanjutkan memasupati pratima dan tapakan.
Tanggal 9
oktober 2009, mekiis kesegara klotok, malamnya dilanjutkan ngemargian
pawintenan, serta ngerehang Ratu Gede, Ratu Hayu dan Ratu Rarung disetra, dan
tanggal 10 oktober 2009 Ida masineb
Ketika acara ngerahang, Ketut Kerta dan I Wayan Nane kerawuhan. Acara ini
berlangsung sampai pukul 24, 00 Wita.
Setelah berlangsung sekian lama, nampaknya
ada wacana untuk mencari pemangku
kayangan tiga baru, penulis tidak tahu apa sebabnya. Tetapi dari beberapa
fakta, wacana ini lahir karena ada
beberapa sebab. Misalnya, banyak sekali nampaknya orang yang berminat menjadi
pemangku. Maka itu, paruman banjar memutuskan
untuk mencari pemangku baru dengan cara nyanjan.
Akhirnya acara nyanjan pemangku ini diputuskan
akan dilakukan, tanggal 15 januari 2010, tetapi berhubung sebelum tanggal 15
januari 2010, ada orang meninggal, maka
acara ini dibatalkan. Akhirnya nyanjan dilakukan tanggal 28 februari 2010.
Nyanjan ini sendiri dilakukan di pura Suralaya,
yang ikut nyanjan sebagai peserta adalah, seluruh krama adat banjar Banda yang
aktip, ditambah dengan krama rantau, sehingga jumlahnya 150 orang. Sedangkan
warga nyada dan taruna tidak dilibatkan.
Adapun aturannya seperti berikut, pertama-tama dilakukan persembahyangan
bersama, setelah itu nuhur Ida Bhatara agar ada orang kerahuan, apabila ini
gagal maka akan dilanjutkan dengan lekesan (base lengkap).
Yang pertama dicari adalah pamangku Dalem.
Keputusan banjar adalah, yang ditunjuk menjadi pamangku Dalem adalah orang yang
mendapatkan lekesan yang berisi tulisan pamangku, berturut-turut tiga kali.
Apabila tidak bisa 3:0, maka sekor minimal 2:1. Apabila
sekor 2:1 maka yang mendapatkan lekesan pemangku 2 kali yang ditunjuk, tetapi apabila sekor 1:1, maka undian dianggap batal, dan
akan di ulang lagi sampai skor minimal
2:1.
Tepat pukul 18.00 Wita, diadakan acara nuhur,
tetapi Ida Bhatara tidak datang, karena tidak ada kerawuhan. Makanya
dilanjutkan sengan lekesan (undian). Tetapi penulis lihat, bukan dengan lekesan
tetapi hanya memakai sirih (base) yang digulung.
Undian pertama, ternyata semua daun base kosong,
tidak tahu apa sebabnya. Beberapa warga menapsirkan, bhatara berkehendak agar
pamangku yang sudah ditunjuk itu yang ditetapkan. Tetapi hasil rembugan
ternyata berpendapat lain, undian tetap dilanjutkan.
Undian ke-2 yang mendapatkan sirih bertuliskan
pamangku ternyata I Gusti Ketut Ranta. Maka dilanjutkan dengan undian ketiga,
ternyata yang mendapatkan adalah I Ketut Susila (mangku Sangging). Ketika nama
mangku sangging dibacakan yang mendapatkan sirih bertuliskan pamangku, dengan
tiba-tiba I Ketut Kerta kerawuhan, dan
mengatakan mangku Sangginglah yang ditunjuk dijadikan pemangku Dalem.
Tanpa pertimbangan apapun, warga langsung menyetujui,
bahkan warga berlanjut bertanya siapa pemangku pure Puseh dan pemangku pure Bale
Agung, dengan sangat lancar I Ketut Kerta mengatakan ”Mangku Badra sebagai
pamangku pure Puseh dan Mangku Mudita sebagai pamangku pure Bale Agung”. Maka
itu, undian tidak dilanjutkan lagi karena sudah ada yang kerawuhan, walaupun
sekore baru menunjukkan 1:1.
D. Selayang Pandang Tentang Pura
Agama Hindu
Mengenal empat jalan untuk memuja dan menghubungkan diri dengan Tuhan atau Ida
Sanghyang Widhi Wasa dalam berbagai manipestasinya. Empat jalan itu disebut
dengan istilah Catur Marga, yaitu Bhakti Marga, Karma Marga, Jnana
Marga, dan Yoga Marga. Di antara empat marga tersebut, Bhakti Marga dan Karma
Marga merupakan ajaran yang paling
dominan dilaksanakan. Dalam pelaksanaan ajaran ini, terkait beberapa
unsur yang paling berhubungan antara lain, kelompok umat yang melaksanakan
Yadnya (Yajamana), Unsur Rohaniawan yang bertugas muput yadnya, Tempat Suci
untuk memuja Tuhan dan mempersembahkan Yadnya, juga pedewasaan atau pemilihan
hari baik untuk melaksanakan yadnya dan unsur-unsur lain yang mendukung.
Dalam rangka
melaksanakan Bhakti dan Karma Marga, umat Hindu yang terhimpun dalam ikatan
sosial tertentu, memiliki kewajiban masing-masing. Misalnya dalam ikatan
terkecil, yaitu dalam satu kesatuan keluarga, memiliki Sanggah atau Pemerajan di
masing-masing pekarangannya. Sedangkan di tingkat banjar tentulah berupa
pura. Sedangkan di tingkat Desa berupa
Pura Kahyangan Tiga.
Pura adalah suatu tempat yang disucikan dan
merupakan tempat pemujaan yang di
sungsung penyungsungnya.
Dari beberapa sumber dikatakan, pencetus
gagasan dan konseptor tempat pemujaan di Bali adalah Empu Kuturan atau Mpu
Rajakrete. Gagasan ini dicetuskan pada jaman pemerintahan Raja Cri Gunapria
Dharmapatni/Udayana (Dharmodayana) Warmadewa, yang dinobatkan menjadi raja di Bali pada tahun saka 910 (tahun 988 masehi). Gagasan ini
kemudian dituangkan dalam pustaka lontar berjudul ”Ithi Prakerthi”.
Kedatangan Mpu Kuturan di Bali menjadi
tonggak pemersatu sekte-sekte Hindu yang ada di Bali. Seperti diketahui, sekte-sekte yang ada
ketika itu adalah sekta Siwa Sidhanta, Pasupata, Bhairawa, Waisnawa, Budha
Sogata, Brahmana, Rsi, Sora dan Ganapatya.
Mpu Kuturan kemudian memperkenalkan konsep Tri Murti, yang di Jawa
dimanifestasikan dalam bentuk Candi,
seperti candi Prambanan. Konsep Mpu
Kuturan ini kemudian diterapkan di Bali dalam bentuk Pura Kahyangan Tiga untuk
sebuah Desa Adat.
Sebagai masyarakat Hindu Di Bali, keberadaan
Sebuah Pura adalah merupakan sesuatu hal
untuk melaksanakan Dharma selaku umat hundu untuk memuja kebesaran TUhan
Yang Maha Esa.
Bahkan dalam
Kekawin Ramayanan yang merupakan sastra agama yang memuat tentang penghayatan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan ajaran ajarannya. Bahkan menurut penulis
kekawin ini merupakan karya sastra yang benar benar sempurna, sebagai penuntun
kehidupan umat manusia menuju hidup sempurna, juga memuat tentang pemujaan
terhadap tuhan
Pada sargah I.3,
misalnya disebutkan “Gunamantta Sang Dasaratha, Wruh Sira Ring Weda, Bhakti Ring Dewa, Tar
Malupeng Pitra Puja, Masih Ta Sireng Swagotra Kabeh” yang artinya sbb,
Sang Dasaratha mempunyai Pikiran yang sangat jernih dan hati yang budiman, beliau juga sangat memahami isi Kitab
Suci Weda, Yang diterapkan sehari-hari untuk memuja Tuhan, tetapi beliau juga
sangat memuja Leluhurnya, Bahkan beliau juga mendidik dan sangat menyayangi
seluruh keluarganya.
Pada uraian
selanjutnya nasehat Rama Dewa kepada adiknya Bherata, juga disarankan ketika
akan menjadi raja, hal peretama yang harus dikerjakan adalah memperbaiki tempat
pemujaan. ”Wang dina atiti yogya yan sungana dana tekap ire Sang uttama ing
praje, mwang dewa stana tan winursita rubuh wangunan ika paharja sembahan”.
Bahkan di dalam
kitab kekawin niti sastra, juga dikatakan agar memperbaiki tempat-tempat
pemujaan yang sudah rusak apa lagi yang sudah runtuh, ”Kreta Panca Yadnya gawayan te
panahura hutang te ring widhi”
Maka itu, Bagi
seorang Hindu, pemeliharaan tempat-tempat suci seperti pura, adalah merupakan
sesuatu yang merupakan keharusan, salah satunya adalah menyelenggarakan Upacara
Piodalan.
Maksud dari
Piodalan adalah, peringatan hari kelahiran
suatu Pura atau bangunan suci yang
biasanya berpatokan pada saat pemendeman pedagingan. Piodalan biasanya dilaksanakan 6 bulan sekali atau setahun
sekali setiap purnama tertentu.
Tujuan Piodalan ini
adalah untuk memelihara dan menjaga secara spiritual kesucian suatu tempat
pemujaan sehingga tetap dapat dijadikan tempat memuja Ida Sanghyang Widhi Wasa
dalam berbagai manifestasinya, karena Banten yang digunakan saat Piodalan ada
yang berfungsi sebagai sarana Penyucian.
Dari jaman dahulu,
orang Bali di dalam melaksanakan agamanya selalu berdasarkan gugon tuwon,
sehingga mereka tidak pernah bertanya kenapa begitu, kenapa begini, apalagi melakukan protes. Mereka tidak mau
tahu apakah yang mereka lakukan itu benar apa salah.
Tetapi dari
pengamatan penulis ada 2 hal kenapa mereka begitu?. Yang pertama mereka merasa
apa yang diterima dari pendahulunya adalah benar. Yang kedua, karena mereka
tidak tahu. Kedua hal ini bisa dimengerti karena sumber yang dapat dipakai
acuan atau pedoman pada waktu itu sangat
minim. Misalnya buku-buku hampir tidak ada,
apalagi orang-orang yang pintar pada waktu itu sangat kikir untuk
menurunkan kepintarannya.
Mereka selalu
berlindung di bawah Kalimat, Ayue Were, yang mereka terjemahkan tidak boleh
diketahui oleh umum.
Dengan perkembangan
Jaman dan adanya pendidikan modern yang mengajarkan orang berpikir kritis, maka
mulailah timbul pertanyaan-pertanyaan akan kebenaran pelaksanaan ajaran Agama
yang berdasarkan sastra, tidak lagi mule keto.
Berdasarkan hal-hal
tersebut di atas, penulis mencoba menulis buku ini, agar pembaca sekalian yang
belum mengerti tentang sejarah dan eksistensi Pura Suralaya supaya mempunyai
pengetahun tentang pura suralaya sesuai
dengan kenyataan dan sastra agama dan bukan benar karena mule keto.
D. Fungsi Pura
Semenjak dahulu umat Hindu, khususnya yang
ada di Bali selalu melaksanakan ajaran dan kewajiban Agamanya sesuai yang
diterimakan oleh leluhurnya, yang di
Bali disebut dengan istilah Gugon Tuwon. Yang
artinya melaksakan apa yang
diturunkan tanpa bertanya apa gunanya, atau apa sebabnya.
Tetapi dengan kemajuan jaman, yang disebabkan
oleh berbagai faktor, misalnya anak-anak sekarang sudah lebih cerdas, lebih
terbuka karena era globalisasi, ingin tahu, maka mulailah timbul
pertanyaan-pertanyaan akan pelaksanaan ajaran Agama yang benar, termasuk fungsi
sanggah atau merajan.
Begitu juga halnya yang terjadi di banjar
ini, tidak satu pertanyaanpun yang menyangkut tentang Pura Suralaya dan banjar
banda bisa di jawab secara jelas dan tuntas.
Semua berdasarkan kone atau mule keto.
Memang untuk memberikan jawaban yang
memuaskan tentunya sangatlah sulit. Jangankan memberikan jawaban untuk apa
fungsi Pura Suralaya dibuat, tentang siapa yang membuat pura suralaya atau
siapa yang paling dahulu tinggal di banjar Banda, atau berapa orang yang
pertama sekali datang ke Banda, pertanyaan tentang dari mana asalnya masyarakat
banda pun tidak ada yang bisa menjawab dengan pasti berdasarkan bukti tertulis.
Kalau toh ada, itu hanya berdasarkan kone dan one.
Tetapi yang jelas menurut I Gede Sura, fungsi
sebuah pura adalah merupakan tempat pemujaan
yang erat hubungannya dengan ajaran Ketuhanan di Bali. Tetapi untuk menjawab pertanyaan siapakah yang
di puja di Pura Suralaya ini? Sampai
sekarang penulis belum dapat jawaban pasti.
BAB II
LETAK PELINGGIH PURA
A. Letak Pura
Sesuai dengan konsep Tri Hita Karana, maka dalam setiap mandalayang
ada di setiap banjar atau Desa Pekraman yang beragama hindu di Bali, biasanya akan terbagi menjadi 3 bagian, yaitu
Parhyangan (Utama Mandala/Hulu), Pawongan (Madya Mandala) dan Palemahan
(Nista mandala).
Sedangkan yang disebut hulu juga ada 2 paham, ada
yang menganggap gunung sebagai hulu, tetapi ada yang memakai terbitnya matahari
sebagai hulu. Sedangkan arep adalah memakai margi agung/Jalan sebagai kiblat.
Sedangkan yang disebut hulu atau kepala dari suatau tempat adalah, arah timur dan
utara. Arah timur karena merupakan asal
dari kehidupan atau kelahiran, karena dari arah inilah matahari mulai terbit.
Sedangkan ke adya berarti ke arah gunung (sumber kemakmuran).
Dalam pandangan umat hindu, para dewa dianggap
berstana di puncak gunung. Maka itu arah ke adya dan kangin (purwa) dianggap
sebagai tempat yang paling suci dari setiap areal tanah. Maka itu kaja kangin dianggap sebagai hulu.
Beberapa sumber mengatakan kaja berasal dari kata
ke ja yang berasal dari bahasa sanskertha yang bermakna kelahiran dan berkiblat
kepada aliran air sungai. Seperti diketahui hulu sungai selalu berasal atau
lahir dari gunung dan muaranya di laut (lod)
Maka itulah para pengelingsir di banda menempatkan
pura Suralaya ini pada bagian paling utara dari banjar ini.
Sedangkan konsep Tri Mandala juga membagi tempat
suci menjadi tiga, yaitu jeroan, jaba
tengah dan jabaan. Di Jeroan hanya ada pelinggih, tempat dan ruang untuk memuja
Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa. Di jaba tengah biasanya berisi
balai-balai untuk segala kesenian yang bernapaskan agama hindu atau untuk
segala kegiatan yang berhubungan dengan pelaksanaan agama.
Sedangkan di jabaan biasanya berisi balai serba
guna atau tempat bahan yang akan digunakan kegiatan agama ataupun pura.
Seperti dikatakan oleh Wiana, Pura ini sebenarnya
merupakan lambang Bhuana Agung secara horizontal.
Jaba Sisi melambangkan Bhur Loka, Jaba Tengah melambangkan Bhuwah Loka dan
Jerowan melambangkan Swah Loka. Maka itu, Pura ini dapat dikatakan sebagai
proyeksi dari alam semesta, stana atau linggih Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Konsep inilah yang menyebabkan Pura sebagai tempat
suci, dan bukan semata mata sebagai tempat sembahyang. Sedangkan Ida Pedanda dari
Gria Aan, dalam ceramah beliau dihadapan warga banjar banda klungkung, ketika
beliau nyukat letak pelinggih di Pura Suralaya, mengatakan pura pada hakekatnya merupakan perwujudan dari
Sorga Loka. Seperti kita ketahui,
sorga itu selalu diidentikkan dengan kebaikan dan keindahan. Maka itu, pura ini
selayaknya merupakan tempat terindah yang ada di banjar kita, sehingga pura ini betul-betul merupakan
sorga bagi kita.
Tetapi ada kalanya pura yang terdiri dari satu
halaman, ini mengambil konsep Ekabhuwana yaitu penyatuan alam atas dan alam
bawah. Tetapi ada pura yang dibagi menjadi dua halaman. Ini berarti mengambil konsep alam atas
(urdhah) dan alam bawah (adhah) yaitu akasa dan pertiwi.
Tetapi ada yang membagi pura menjadi 7 bagian,
misalnya Pura besakih terbagi menjadi
tujuh halaman, ini berarti mengambil konsep saptaloka, yaitu tujuh lapisan alam
keatas yang terdiri dari, Bhur Loka, Bhwah Loka, Swah Loka, Maha Loka, Jana
Loka, Tapa Loka, dan Satya Loka.
Tetapi dari pengamatan penulis,
pura yang ada di bali pada umumnya terdiri atas dua halaman, yaitu
jabaan dan jerowan. Sedangkan jerowan adalah tempat semua pelinggih uttama berada. Antara jerowan dan jabaan akan dihubungkan
oleh sebuah pintu masuk yang biasanya berbentuk gelung kori. Sedangkan antara jabaan
dengan luar pura akan dihubungkan oleh candi bentar. Candi bentar ini sebenarnya merupakan simbolis
dari pecahnya Gunung Kailase, tempat dimana Dewa Siwa melakukan tapa brata
semadi.
Sedangkan dari pengamatan
penulis, Pura Suralaya ini nampaknya memakai konsep alam atas dan alam
bawah. Karena Pura Suralaya ini terbagai
menjadi 2 bagian, yaitu Jerowan dan Jabaan. Dijerowan ada sejumlah pelinggih yang
disucikan, semuanya berjumlah 24 buah
sedangkan di jabaan ada 5 buah pelinggih. Yaitu 2 pelinggih apit lawang,
1 pelinggih manik bingin dan 1 pelinggih pengayengan Bhatara Dalem Ped ring
Nusa Penida dan 2 buah patung mahakala dan dorekale.
Adapun pelinggih yang ada di
Jerowan (Utama Mandala) adalah 24 buah,
yaitu
1. Utama Mandala/Jerowan
(a). Padmasana/Sanggaran,
(b). Meru Tumpang Tiga, (c). Gedong/Pajenengan
Bhatara Suralaya, (d). Gedong/Pajenengan
Dalem, (e). Sapta Petala/Dasar,
(f). Pajenengan Puseh, (g). Bale Agung, (h). Pengaruman, (i). Pelinggih
Hulun Danu, (j). Penyimpenan
Gedong Ratu Gede, (k). Bala Uttama, (l). Gedong
Penyimpenan Bhatara, (m). Basukian, (n). Pangerurah, (o). Panggungan, (p). Limas Cari, (q). Limas
Catur, (r). Manjangan Saluwang, (s). Bale
Piasan, (t). Lumbung, (u). Taman/Beji, (p). Bale Pegongan, (w). Bale Pesucian,
x. Pewaregan,
2.
Madia Mandala
Adapun pelinggih
yang ada di bagian Madia Mandala ini adalah
(a). Apit Lawang (di muka gelung kori menghadap keselatan), (b).
Manik Bingin (samping kanan peletasan kecil) (c). Pengayengan
Bhatara Dalem Ped (menghadap keuttara di pojok kelod kangin) (d). Bale Kulkul (e). Patung Mahakala dan Dorakale
C. Piodalan
Piodalan di pura Suralaya ini jatuh pada setiap
anggarkasih medangsia.
B. Pemangku
Pada umumnya setiap pura mempunyai pemangku masing-masing,
adapun pemangku di Pura Suralaya ini adalah,
- Pemangku Pura Penataran Suralaya, adalah, Nama: I Gusti Putu Loka. Alamat: Banjar Banda, Desa Takmung. Pekerjaan: Guru
- Pemangku Pura Desa, Nama: I Wayan Mudita, Alamat: Banjar Banda, Pekerjaan: Undagi
- Pemangku Pura Puseh, Nama: Made Badera, Alamat: Banjar Banda, Pekerjaan: Undagi
- Pemangku Pura Dalem, Nama: Ketut Susila, Alamat: Banjar Banda, Pekerjaan : Swasta
BAB. III
BENTUK DAN FUNGSI PELINGGIH
A. Utama Mandala/Jerowan
1. Pelinggih Sanggaran/Padmasana
Padmasana sebenarnya merupakan konsep yang
dianjurkan oleh Dang Hyang Dwijendra sebagai purohita kerajaan waktu itu.
Pada jaman Mpu Kuturan pemujaan serta penghayatan lebih ditekankan pada manifestasi Tuhan
sesuai dengan fungsinya masing masing. Hal
ini dilakukan karena sesuai dengan daya
nalar umat pada waktu itu yang belum begitu tinggi. Bahkan kegiatan pelaksanaan
agama masih berpusat pada kerajaan, sehingga pada jaman itu pemujaan dewa dewa
sebagai manifestasi Tuhan lebih menonjol.
Tetapi tidak demikian halnya ketika Dang
Hyang Dwijendra datang ke Bali. Daya nalar umat nampaknya sudah meningkat,
sehingga selain tetap melakukan pemujaan terhadap dewa dewa, Dang Hyang
Dwijendra juga mulai menekankan pada pemujaan Sang Hyang Widhi sebagai Sang
Hyang Tunggal.
Umat pada waktu itu sudah dapat memahami
bahwa dewa dewa itu pada hakekatnya adalah “Sinar Suci Tuhan” atau Prabawa Sang
Hyang Widhi Wasa. Jadi keesaan Tuhanlah yang ditekankan. Semenjak itulah di
bangun Padmasana sebagai bangunan budaya agama. Dapat dikatakan Padmasana itu
merupakan media untuk mengajarkan umat agar meyakini, bahwa Sang Hyang Widhi
Wasa itu benar benar Esa adanya.
Sanggaran/Padmasana merupakan Padma yang
terdiri dari 3 bagian yaitu kaki (tepas), badan (batur), kepala (sari).
Padmasana dalam bentuk utamanya dilengkapai
dengan garuda, angsa dan bedawang nala. Khusus bedawang nala ini, ada padmasana
yang bedawang nalanya dililit oleh seekor naga, dan kepala naga ini biasanya
berada di atas kepala bedawang nala. Tetapi ada padmasana dimana bedawang nalanya
dililit oleh 2 ekor naga dan kepala naga ada di samping kepala bedawang nala. Sedangkan
Padmasana yang ada di Pura Suralaya ini memakai 1 naga yang melilit bedawang nala.
Adanya ornamen naga melilit bedawang di
setiap padma yang ada di Bali mungkin saja terinspirasi dari cerita pemutaran
mandara giri ketika para dewata dan para raksasa menginginkan untuk mendapatkan tirta amerta
dari lautan susu atau ksirarnawa.
Dari pengamatan penulis, penempatan padma di
Bali ada tiga cara yaitu di utara menghadap ke selatan, di timur menghadap ke
barat atau di timur laut menghadap ke barat laut. Tetapi penempatan padmasana
di pura Suralaya ini mengambil tempat di utara menghadap ke selatan.
Dalam
buku “Himpunan Keputusan” Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek
Aspek Agama Hindu I-XV, dikatakan Padma ini dapat dibedakan berdasarkan Letak/lokasi
dan berdasarkan rongnya (rongga), yaitu
a. Berdasarkan
Lokasi
Berdasarkan lokasi kardinal, selaras
dengan arah konsep pengider-ider buana, terbagi dalam 9 buah, berdasarkan Lontar
Wariga Catur Wisana Sari, Rontal Asta Kosala Kosali, Rontal Asthabhumi, ada 9
buah padma yaitu, (1) Padmakencana, apabila padma ini bertempat di timur menghadap ke
barat, (2) Padmasana
adalah padma yang bertempat di
selatan menghadap ke uttara. (3) Padmasana Sari adalah padma yang bertempat di barat menghadap ke
timur. (4) Padmasana
Lingga adalah padma yang bertempat di uttara menghadap ke selatan. (5) Padma Asta Sedana adalah padma yang
bertempat di tenggara menghadap ke barat laut. (6) Padmanoja adalah padma yang bertempat di barat Daya
menghadap ke timur laut. (7) Padmakora adalah padma yang bertempat di barat laut
menghadap ke tenggara. (8) Padmasaji adalah Padma yang bertempat di timur laut menghadap ke
barat daya. (9) Padma
Kurung di tengah-tengah me-rong tiga menghadap ke lawangan
b. Berdasarkan
Rong (ruang) dan
Pepalihannya (tingkatan undag) pelinggih padma dapat dibedakan menjadi 5 buah,
yaitu (1) Padmasana Anglayang, Apabila padma ini me-rong 3 (beruang tiga), mempergunakan bedawang
nala dengan palih 7 (tujuh). (2)
Padma Agung, Apabila padma ini me-rong 2 (dua) dan mempergunakan bedawang nala dengan palih lima 5 (lima). (3) Padmasana, Apabila padma ini me-rong
satu, mempergunakan bedawang nala dengan palih 5 (lima). (4) Padmasari, Apabila
padma ini me-rong 1 (satu) dengan palih 3 (tiga) yaitu palih taman (bawah),
palih sancak (tengah) dan palih sari (atas) dan tidak mempergunakan bedawang nala. (5) Padmacapah, Apabila
padma ini me-rong 1 (satu), dengan palih 2 (dua) yaitu palih taman dan palih capah
(atas) dan tidak mempergunakan bedawang nala
Tetapi di beberapa tempat penulis menemukan padma yang tidak berisi
kepala, seperti bangunan padma belum selesai.
Menurut pemangku setempat bangunan itu bernama Tepe Sana. Misalnya di Pura Tirta Empul, juga di Pura
Dalem Kresna Kepakisan yang ada di tengah sawah di Desa Samplangan
Secara umum, padmasana ini dapat di bagi menjadi tiga bagian yaitu,
dasar bangunan, badan bangunan dengan pepalihan, dan bagian atas. Pada bagian
atasnya terbuka seperti kursi sedangkan pada tebing mahkotanya dipahatkan
lukisan gambar Sanghyang Acintya (Sanghyang Licin/Sanghyang Tunggal).
Dalam beberapa sumber di sebutkan, misalnya dalam rontal Asta Buana,
Sanghyang Acintya ini, di katakan berada di atas Sanghyang Siwa.
Bahkan merupakan wujud pertama yang bisa di bayangkan oleh manusia.
Setelah itu, baru Sanghyang Siwa, dan selanjutnya barulah Dewata Nawa Sanga.
Fungsi utama padmasana ini adalah tempat memuja Ida Sanghyang Widhi
Wasa, Tuhan Yang Maha Esa.
Tetapi padmasari dan padma capah dapat di tempatkan menyendiri dan
berfungsi sebagai penghayatan/penyawangan. Karena pada waktu upacara
pamelaspasan kedua padma ini hanya memakai pedagingan ring sor (bagian bawah),
dan ring luhur (bagian puncak).
Agar padma-padma lain sebagai stana Hyang Widhi (Siwa) itu menjadi
suci dan utuh, pedagingannya akan diisi dan ditempatkan pada bagian dasar,
tengah dan puncak (ring sor, ring madia, ring puncak).
Pedagingan ini terdiri dari unsur lima logam yaitu, emas, perak suasa, besi dan tembaga. Termasuk
juga batu mulia seperti mirah. Semuanya itu disebut dengan istilah Panca Datu.
Benda ini adalah niasa sarat konsep filosofis. Setelah dipuja oleh Sang Wiku
menjadi suci.
- Pelinggih Meru Tumpang Tiga (3)
Bentuknya sangat indah karena atapnya di buat bertingkat-tingkat
yang biasanya di sebut tumpang. Bagian bawahnya berupa bebaturan yang terbuat
dari paras dan batu bata merah. Ruang pemujaan dibentuk oleh empat tiang sudut
yang dirangkai sunduk di bawah dan lambang sineb di atas.
Dingding samping dibuat dari papan, atapnya biasanya terbuat dari
ijuk atau genteng. Tetapi ada kalanya, di beberapa Pura, meru ini dibuat dengan
memakai batu seluruhnya. Misalnya Meru yang ada di Pura Kawitan Gajah Para di
Candi Gora dan di Pura Kawitan Gajah Para yang ada di Desa Pangi, Kecamatan
Dawan. Sehingga kelihatannya seperti candi yang ada di Jawa.
Juga meru yang ada di Merajang Agung Puri Kesiman, Denpasar. Meru
yang dibuat dengan batu seluruhnya ada yang menyebutnya sebagai Prasada
Pelinggih meru tumpang tiga yang ada di Pura Suralaya ini menghadap
ke barat dan terletak di utara Gedong/Pajenengan Bhatara Suralaya.
Meru adalah melambangkan Gunung Mahameru yang merupakan
Stana/Pelinggih Dewa-Dewi, Bhatara-Bhatari Leluhur.
Dari Pengamatan Penulis, Meru di Bali ada 7
macam yaitu, Meru tumpang 1 (satu),
tumpang 2 (dua), tumpang 3 (tiga), tumpang 5 (lima), tumpang 7 (tujuh), tumpang
9 (sembilan) dan tumpang 11 (sebelas). Didalam Lontar Andhara Buwana (dalam
Soebandi, 1992) dikatakan Meru merupakan perpaduan antara Purusa Tattwa dan
Pradhana Tatwa yang kemudian disebut Batur Kalawasan Petak, yaitu cikal bakal leluhur
yang suci.
Juga disebutkan bahwa meru juga merupakan lambang
andhabuwana atau alam semesta, dan tumpangnya atau tingkatnya sebagai simbul
lapisan alam. Demikian pula meru disebut sebagai simbul aksara (huruf) suci
Dasa Aksara yang manunggal menjadi Om, dengan windu windunya dari bawah naik diawali
dari windu 1, windu 2, windu, 3, windu 5, windu 7, windu 9 dan windu 11.
Dengan demikian, Meru bertumpang 11 adalah lambang
dari Ekadasaksara (11 hurup suci) merupakan simbul Ekadasa Dewata. Meru tumpang
9 sebagai simbul Nawa Aksara (9 hurup suci) merupakan lambang Nawa Dewata, Meru
tumpang 7 simbul Sapta Aksara (7 hurup suci) lambang Sapta Dewata, Meru tumpang
5 simbul Panca Aksara (5 hurup suci) sebagai lambang Panca Dewata, Meru tumpang
3 simbul dari Tri Aksara (3 huruf suci) lambang dari Tri Purusa, Meru tumpang 2
simbul Dwi Aksara (2 huruf suci) simbul Purusa dan Pradhana. Meru tumpang 1 ialah simbul
panunggalan seluruh Aksara (huruf suci) menjadi Om lambang Sang Hyang Tunggal.
Selanjutnya dikatakan, tingkatan atap meru
merupakan simbul lapisan alam besar kecil dari bawah ke atas yaitu, sakala,
niskala, sunya, taya, nirbana, moksa, suksmataya, turyanta, acintya, tanya dan
cayem.
Atap meru juga merupakan panglukunan dasa aksara
atau peredaran sepuluh hurup suci yang dikatkan dengan dewa-dewa dikpala atau
dewata nawa sanga, yaitu Sa (Iswara), Ba (Brahma), Ta (Mahadewa), A (Wisnu), I
(Siwa/Zenit), Na (Mahasora), Ma (Rudra), Si (Sankara), Wa (Sambhu), Ya
(Siwa/Nadir).
Kesepuluh dewa-dewa tersebut adalah manipestasi
Dewa Siwa sebagai penguasa alam semesta. Delapan diantaranya sebagai pelindung
kiblat (arah angin). Secara kasat mata fungsi meru untuk memuja Sanghyang Widhi
tidak bisa dibedakan dengan fungsi meru yang diapakai untuk memuja dewa pitara
atau roh suci leluhur. Perbedaan fungsi
meru hanya dapat diketahui dari pedagingan (isi yang ditanam saat pamelaspas)
dan puja astawa (mantra pamujaan) yang
dipakai saat odalan.
Meru tumpang 1, meru tumpang 3 berpedagingan pada
dasar dan puncak. Sedangkan Meru tumpang
5, Meru tumpang 7, Meru tumpang 9 dan Meru tumpang 11 berpedagingan pada dasar,
madya dan puncak.
Dari beberapa sumber dikatakan, bahwa Pelinggih
bangunan Meru ini diciptakan oleh Mpu Kuturan. Selanjutnya beliau memfungsikan
Meru ini sebagai 2 fungsi yaitu Sebagai Dewa Pratista dan sebagai Atma
Pratista.
Sebagai Dewa Pratista artinya dipakai untuk
memuliakan Ida Sanghyang Widhi Wasa dan segala Manifestasinya. Sedangkan
sebagai Atma Pratista dipakai untuk memuja arwah suci nenek moyang atau para
leluhur.
3. Pelinggih Gedong Suralaya/Pajenengan
Pelingih pajenengan atau
gedong terletak di selatan meru tumpang
tiga (3) atau di utara pelinggih sapta petala (dasar/pertiwi).
Bangunan ini terbagi menjadi tiga bagian utama, yaitu atap (sari),
badan (batur) dan dasar (tepas). Dasar dan badannya terbuat dari batu paras dan
bata merah. Sedangkan sarinya terdiri
dari . Tetapi ada juga yang secara keseluruhan terbuat dari paras termasuk
atapnya.
Fungsi utama pelinggih ini adalah bermacam-macam sesuai dengan
tempatnya, ada sebagai tempat pemujaan Roh Suci Leluhur (atma siddha dewata)
dan ada juga untuk tempat memuja Sang Hyang Widhi, para Dewata dan
manifestasinya.
Maka itu, fungsi uttama gedong yang ada di Pura Suralaya ini tentulah
sebagai pemujaan terhadap Bhatara-Bhatari yang di muliakan di Pura Suralaya
ini. Disamping itu fungsi yang lain sebagai gedong simpen, terutama menyimpan
benda-benda pusaka.
4. Pelinggih Gedong/Pajenengan Dalem
Pelingih pajenengan
dalem terletak di selatan pajenengan
suralaya dan meru tumpang tiga (3) atau di utara pelinggih sapta petala (dasar/pertiwi).
Bangunan ini terbagi menjadi tiga bagian utama, yaitu atap (sari), badan
(batur) dan dasar (tepas). Dasar dan badannya terbuat dari batu paras dan bata
merah. Sedangkan sarinya terdiri dari
atap genteng.
Fungsi utama pelinggih ini adalah tentulah sebagai pemujaan terhadap
Bhatara Dalem yang di muliakan di pura Dalem ini.
5. Pelinggih
Sapta Petala/Dasar/PertiwiNaga Raja
Berbentuk bebaturan, bawahnya berbentuk segi
empat, yang terbuat dari paras. Di atasnya berdiri seerkor naga yang terbuat
dari batu hitam, menghadap ke barat.
Dari pengamatan penulis, hampir setiap sanggah/pemerajan
yang ada di Banjar Banda, bahkan pada setiap ”Pura” yang ada di Desa Takmung,
hampir semuanya ada pelinggih sapta petala ini.
Fungsinya untuk memuja Sanghyang Ibu Pertiwi yang
menguasai alam material. Sapta Petala
ini juga dipakai untuk memuja Naga Raja atau Naga Tiga, yaitu Naga Ananta Boga
yang melambangkan kesuburan, Naga Basuki yang melambangkan kemakmuran dan Naga
Taksaka yang melambangkan kehidupan.
6. Pajenengan
Puseh
Pelingih pajenengan
Puseh terletak di uttara menghadap
keselatan, dan berbentuk meru tumpang lima (5).
Fungsi utama pelinggih ini adalah tentulah sebagai pemujaan terhadap
Bhatara Puseh yang di muliakan di Pure
ini. Dalam rontal Purwa Gama Sasana dikatakan, ketika Bhatara
Siwa dan Bhatari Uma yang menyebut dirinya sebagai Kaki Manuh dan Nini Manuh selesai mengajarkan
orang-orang dalam bercocok tanam, beliau dibuatkan tempat suci oleh Sang
Wiswakarma di pusat desa (puser jagat),
maka itu tempat suci beliau sampai sekarang disebut pura puseh.
Jadi dapat disimpulkan, yang dimuliakan di pura puseh adalah Bhatara
Siwa dan Bhatari Uma dalam manifestasi beliau sebagai Kaki Manuh dan Nini
Manuh, ketika beliau mengajarkan umat manusia bercocok tanam.
7. Pura
Desa/Bale Agung
Setiap Pura Desa biasanya dicirikan adanya
bangunan bale agung atau bale panjang di bagian nista mandalanya/di jabaan.
Dari pengamatan penulis
di beberapa tempat, bale agung ini biasanya menghadap ke uttara dan hulunya ada
di sebelah selatan serta berada di bagian nista mandala atau di jabaan. Ini
mungkin sesuai dengan arah kiblat, bahwa Bhatara Brahma ada di selatan dunia. Seperti
diketahui yang dimuliakan di Pura Desa/Bale Agung yang kita kenal selama ini adalah Bhatara Brahma.
Tetapi di dalam rontal
Siwagama dikatakan, bale agung ini
dibuat oleh Sang Wiswakarma atas perintas Bhatara Iswara, ketika beliau
mengajarkan umat manusia mempelajari agama dan adat istiadat.
Setelah sekian lama
beliau belum berhasil mengajarkan para manusia yang bodoh itu, maka beliau
minta bantuan kepada Dewi Saraswati agar beliau mau menyusup di pikiran manusia
dan menyebar di ujung lidah para manusia. Semenjak itulah manusia menjadi orang
pandai, berkat anugerah Sanghyang Saraswati, meresap ke dalam pikiran manusia.
Tetapi di Banjar Banda,
bangunan bale agungnya justru berada di bagian uttama mandala dan menghadap ke selatan. Bangunannya hampir sama dengan bangunan bale
agung yang ada di tempat-tempat lain. Tetapi uniknya, pelinggih bale agung yang di
pura Suralaya ini mempunyai pratima
(arca). Pratima/arca ini terbuat dari
perunggu, berupa Bhatara Brahma tanpa didampingi oleh sakti /permaisuri beliau.
8.
Pelinggih Bale Pepelik/Pengaruman/
Bale Pesamuan
Bentuk dan konstruksinya berupa gedong dan memakai
tiang jajar, ketiga sisinya terbuka. Bagian bawahnya terbuat dari paras dan
bata merah. Sedangkan atasnya terbuat dari kayu, atapnya dari ijuk, mengahadap
ke selatan.
Dibeberapa tempat, bale pepelik ini ada yang
menghadap ke barat, misalnya yang ada di Pura Sri Kresna Kepakisan di
samprangan, juga yang ada di Gria Bhuda Gunung Sari Peliatan Ubud.
Dikatakan bale pasamuan, karena di bale inilah
tempat melinggih simbul-simbul bhatara-bhatari yang berupa Pratima/arca, ketika
piodalan.
9. Pelinggih
Hulun Danu
Ketika penulis masih
kanak-kanak, pelinggih yang sekarang di katakan pelinggih Hulun Danu ini, di kenal dengan pelinggih Gedong Betel. Tetapi ada yang menyebut Gedong Simpen. Karena pada jaman dahulu, katanya gedong ini
dipakai untuk menyimpan benda-benda sakral dan benda-benda berharga kepunyaan pura. Tetapi kemudian ada yang menyebutnya sebagai
Taksu Agung. Alasannya karena letaknya berada
disebelah barat pelinggih Padmasana.
Dikatakan Taksu Agung, mungkin karena bangunan ini pada dasarnya memakai
ornamen Bedawang Nala.
Semenjak Karye mamungkah
dan nubung pedagingan yang jatuh pada
tanggal......................................................................pelinggih
ini disebut pelinggih Hulun Danu. Dari penuturan pamangku Dalem (pemangku Ketut Susila), yang memberikan
petunjuk bahwa pelinggih ini adalah pelinggih hulun danu, katanya Ida Pedanda
Aan, ketika beliau nyukat genah.
Alasannya karena pelinggih ini dasarnya memakai Bedawang Nala. Kalau memang pelinggih ini memang benar pelinggih Hulun
danu, tentulah fungsi uttamanyan adalah untuk memuliakan dan memuja kebesaran
Bhatara Hulun Danu. Seperti di ketahui,
danau di bali adalah merupakan sumber pengairan yang ada di Bali. Banguna ini
berbentuk gedong, dengan dasar bedawang nale.
Semuanya terbuat dari batu padas.
10.
Penyimpenan Gedong Ratu Gede
Seperti namanya,
bangunan ini berfungsi sebagai tempat menyimpan petapakan barong, rangda serta seluruh tapakan yang lain.
Bangunan ini terletak di
timur menghadap kebarat, tepatnya berada di sebelah utara pelinggih pangarurah. Bentuknya seperti rumah bale dangin. Semuanya
terbuat dari batu paras dan beratap genteng
11. Bala Uttama
Pada jaman dahulu,
ketika penulis masih kanak-kana, pelinggih ini sering disebut pelinggih Balang
Tamak. Pelinggih Balang Tamak ini
biasanya ada pada setiap Pura Desa/Bale Agung. Bahkan dari pengamatan penulis,
di beberapa tempat pelinggih ini masih
dinamakan pelinggih Balang Tamak.
Setahu penulis, istilah
Bala Utama pertama sekali penulis dengar dari seorang sulinggih yang memberikan
upanisad di sebuah stasiun televis swasta yang ada di Bali pada tahun 2000.
Mungkin merujuk dari pendapat beliau itu, maka pelinggih ini dinamakan
pelinggih Bala Utama.
12. Gedong Panyimpenan Pertima/Bhatara
Pelinggih ini dibuat ketika
Pura Suralaya dijadikan pura kahyangan tiga.
Bangunan ini terletak di uttara mengahadap keselatan , tepatnya di barat
gedong pura Puseh.
Seluruhnya terbuat dari
batu paras. Fungsinya adalah tempat manyimpen
semua arca/pratima-pratima yang ada di pura Suralaya.
13. Basukian
Pelinggih ini dibuat
tepat ketika Karya Ekadasa Rudra di Pura Besakih, tahun 1978.
Konon cerita ini
dimulai, ketika para tapini sedang menggoreng jajan upacara di pawaregan pura
besakih. Tiba-tiba ada seekor ular berwarna hitam, naik ke tempat penggorengan yang
sedang berisi minyak panas ini, dan ular itu seolah-olah sedang mandi di dalam
penggorengan inis.
Setelah sekian lama ular
itu mandi di dalam minyak panas ini, tiba-tiba ular itu menghilang. Sedangkan minyak yang berada di penggorengan
itu, seketika berubah warnanya menjadi merah darah.
Dari beberapa sumber,
ular itu katanya bernama Naga Basukih. Atas saran pemangku yang ada di besakih,
minyak ini kemudian dibagikan kepada seluruh banjar-banjar adat yang ada di Bali, dan dibuatkan pelinggih
padma capah.
Pada tahun 2009, penulis
bahkan sempat bertatap muka langsung dengan salah satu saksi mata ini, nama
beliau adalah Pemangku Ranti, dari Desa
Sibetan, Karangasem.
Di pura Suralaya, pelinggih
ini di bangun di timur menghadap ke barat, tepatnya di samping pelinggih sapta
petala. Ketika akan di bangun pura kahyangan
tiga, pelinggih ini di pindahkan ke utara, di belakang bale agung, menghadap keselatan.
Fungsinya tentulah
memuja kebesaran Bhatara Naga Basukih.
Seperti diketahui, naga basukih ini adalah yang memberikan kesuburan
pada umat manusia.
14. Pelinggih Pangerurah/Anglurah/Penyarikan
Di Beberapa tempat, misalnya di Denpasar pelinggih ini disebut
Pelinggih Ratu Ngurah Gembal. Pelinggih ini merupakan pelinggih terluar dari pelingih-pelinggih
yang lain. Pangerurah ibaratnya kulit pada manusia, sepatutnya tidak ada bagian
anggota badan lagi yang berada di luar kulit.
Pelinggih ini berbentuk tugu, menghadap ke barat.
Bahan utamanya adalah batu alam, yaitu paras dan batu merah. Pangarurah ini
berfungsi sebagai penyarikan (pencatat) atau sekretaris dan sekaligus pemegang
kunci pura secara niskala.
Maka itu, segala aktifitas yang akan dilakukan di
pura selalu dimulai dari pangarurah ini. Tetapi dalam beberapa sumber, fungsi pangarurah
adalah untuk mohon penjagaan dan
keselamatan atau kesentausaan binatang di rumah.
Fungsi beliau yang lebih luas sebagai penyarikan adalah, ibaratnya beliau
sebagai bendesa yang mengayomi masyarakat, maka itu pelingggih ini harus ada. Berbusana
selem dan poleng. Kalau ingin memohon perlindungan disini tempatnya, karena
erat kaitannya dengan penyengker dan penjaga.
Yang melinggih disini adalah Ratu Ngurah Tangkeb
Langit, yang waktu di dalam kandungan
beliau berujud yeh nyom, selanjutnya
bersemayam pada kulit, sehingga sering disebut sebagai segara tanpa tepi dan
dalam alam bali beliau di stanakan
sebagai pepatih di pura Hulun Suwi.
Tetapi beberapa sumber mengatakan, pada pelinggih pangarurah
berstana Sang Catur Sanak (kanda pat yang telah disucikan), yang berfungsi
menjaga keselamatan dan keamanan pekarangan rumah beserta penghuninya, tetapi
beberapa sumber juga mengatakan pada pelinggih ini berstana Sang Hyang Panca
Maha Butha.
Sedangkan Yasa Diatmika (2006), mengatakan, yang melinggih disini adalah
sbb
(a). Ida Ratu Anglurah Sakti Tangkeb Langit. Berfungsi
memberikan anugerah seperti pemunah gering sarat, keni cor, melebur segala
kotor (leteh) pada manusia, melebur segala upadrawa dan mohon hujan atau tidak
hujan. (b). Ida I Ratu Anglurah Agung Wayahan Tebeng beliau mempunyai wewenang
untuk menjaga musuh, mohon kerahayuan dan mohon pemalik sumpah terhadap maling
atau segala durjana. (c). Ida I Ratu Anglurah Agung Sakti Made Jalawung mempunyai
kekuatan untuk memusnahkan segala wisya
mandi, menetralisir racun, seperti leak, cetik, aneluh, detiwang. (d). Ida I Ratu Anglurah Agung Nyoman Sakti. Kesaktian
beliau adalah merupakan sumber segala macam pengobatan, merupakan dewaning
dukun/balian, dewan taksu, dewan leak. (e). Ida I Ratu Anglurah Agung Sakti
Ketut Petung. Beliau bertugas menjaga kehidupan manusia dan memberikan
keahlian/profesi kepada manusia
Sedangkan pada lontar panugrahan
bhatara ring dalem dikatakan, Ratu Ngurah Tangkeb Langit, melinggih di pura Hulun
Suwi. Berkedudukan sebagai dewa tugu, sedahan sawah dan dewa kawanan binatang.
Sedangkan posisi beliau
dalam diri manusia, bersemayam pada kulit, sebagai segara tanpa tepi.
Akasaranya Sang, berfungsi sebagai air kehidupan, karena berupa tirtha Amertha
Sanjiwani. Apa bila keluar, merembes sebagai keringat.
Kewenangan beliau
melebur segala jenis penyakit dan pemusnah segala jenis kutukan dewa dan pitara.
Penampakan
beliau seperti langit bersih, seperti mendung, seperti cahaya, juga seperti
tetesan embun.
Sesajinya ketipat
dampulan, ulam bekasem, canang pasucian dan segehan kepelan putih.
15. Bale
Panggungan
Berbentuk Bale-Bale, menghadap ke utara. Terbuat
seluruhnya dari kayu, kecuali dasarnya yang terbuat dari paras. Merupakan simbolis dari kaki
Tuhan, maka itu sering disebut Sor.
Beberapa sumber mengatakan, panggungan ini sebenarnya merupakan niasa
Bhatara Sagara, atau simbul dari laut.
Maka itu, kalau ada upacara apapun, kalau bhatara mau kesagara/pantai
cukup atau boleh sampai di balai
panggungan ini.
16. Pelinggih Mascari
Mascatur/Catumujung
Catumeres/Dwi Jati/Rambut Sedana
Juga sering disebut pelinggih catumujung catumeres, tetapi ada yang
menyebut dwi jati.
Tetapi ada juga mengatakan, mascari mascatu ini sebagai tempat
memuja Sri Sedana, arta kekayaan untuk kesejahteraan. Dalam rontal Purwagama
sasana, dikatakan, Bhatara Mahadewa memerintahkan untuk menyampaikan segala
bentuk perhiasan bersama abdinya yang berjumlah 8000 orang.
Beberapa sumber mengatakan pelinggih ini juga stana Bhatara Gunung
Agung dan Bhatara Gunung Batur. Pelinggih yang atapnya lancip, adalah stana
Bhatara Gunung Agung. Sedangkan yang
tumpul pelinggih Bhatara Gunung Batur.
Pada umumnya bentuk bangunan pelinggih mascatu massari ini adalah
gedong. Pelinggih gedong adalah
bangunan serupa dengan tugu, tetapi bagian atasnya terbuat dari
konstruksi kayu. Pelinggih mascatu
massari ini mempunyai 2 rong (rongga)
dan menghadap ke selatan.
Mascari puncak atapnya perucut lancip (lingga) sebagai penyawangan
bhatara di gunung agung. Mascatu puncak atapnya tumpul (yoni) sebagai penyawangan
bhatara di gunung batur.
Tetapi Pelinggih mascari mascatu yang di Pura Suralaya ini berdiri
sendiri-sendiri, tidak menyatu seperti pada umumnya di pura-pura yang lain.
17. Pelinggih Manjangan
Saluwang
Berfungsi sebagai penghormatan terhadap Empu Kuturan yang telah
berjasa mempersatukan berbagai sekta
yang ada di Bali, tetapi ada yang mengartikan untuk memuja Bhatara yang berasal
dari Majapahit atau Wilwatikta, bahkan ada yang mengartikan tempat
berkumpulnya/tempat penyatuan berbagai sekta atau aliran yang disatukan dalam kesatuan wujud.
Seperti diketahui sebelum sekta-sekta ini disatukan, di Bali
berkembang 9 sekta yaitu Siwa Siddhanta (penyembah siwa), Pasupata (penyembah
lingga Siwa), Bhairawa (penyembah Durgha), Waisnawa (penyembah Wisnu), Boddha
atau Sogata (penyembah Budha), Brahmana (penyembah Brahma), Rsi (?), Sora
(penyembah Surya) dan Ganapatia (penyembah Ganesa/Gana).
Kemudian kesembilan sekte ini disatukan menjadi satu di pelinggih
ini. Maka itu pelinggih ini akan mempunyai tigas (3) ruangan. Rong yang paling
barat untuk kepercayaan asli bali, di
tengah untuk Bhoda dan paling timur untuk Siwa.
Di depan rong ini terdapat satu tiang, sebagai simbul penyatuan. Didepan
tiang ini biasanya terdapat patung manjangan.
Bentuk dan konstruksinya secara umum berupa Gedong, yang terbuka 3
sisi, di depan memakai tiang tengah.
18. Pelinggih
Bale Piasan
Bentuknya berupa bangunan type saka 6 (tiang enam),
8 dan 9. Tetapi piasan yang ada disetiap sanggah ini biasanya type saka 6 dan
8. Sedangkan piasan pada pura biasanya type saka 9. Bawahnya terbuat dari batu
atau paras, sakanya terbuat dari kayu, atapnya ijuk atau genteng, menghadap ke selatan.
Piyasan artinya pang iyas atau supaya bersih,
damai. Yang berstana disini adalah Ida Sang Hyang Wenang, beliau ini yang
mempunyai kewenangan di lingkungan pura.
Kalau mau menghaturkan banten sepatutnya ke
pelinggih piyasan terlebih dahulu, untuk diperiksa oleh Ida Bhatara Sang Hyang
Wenang.
Maka itu fungsi piyasan ini adalah sebagai tempat
mensucikan dan penyajian sarana upacara atau keaktipan serangkaian upacara.
Artinya banten yang dibawa ini, sebelum
dihaturkan agar disucikan dahulu disini dengan memakai tirta pangelukatan dari
wiku atau air kelapa gading. Piasan ini juga biasanya difungsikan sebagai bale
pewedaan. Yang perlu diingat, pemangku (tingkat ekajati) tidak boleh ngaturang
banten (nganteb) dari piasan ini.
Bale pawedaan itu artinya tempat para wiku (dwi
jati). Artinya bale pawedaan simbul dari siwa loka, maka itu hanya dewa Siwalah
yang boleh dan mampu melinggih disana.
Maka itu, para pemangku sebaiknya tidak nganteb
dari piasan ini. Karena seperti diketahui pemangku itu baru eka jati.
Bale piasan yang ada di pura suralaya ini dulunya
terletak persis ditengah natar pura suralaya sekarang. Seperti pelinggih yang lain di atas, karena
adanya penambahan pelinggih, maka pelinggih piasan dipindahkan ketempatnya
sekarang yaitu di pojok barat laut (kaja kauh), dan digunakan sebagai tempat
banten. Sedangkan piasan yang baru
dibangun disebelah barat pelinggih Bale Agung.
19. Lumbung
Bangunan ini mirip
seperti bangunan jineng, atau gelebeg yang ada panggungnya. Pada jaman dahulu hampir semua keluarga
mempunyai bangunan seperti in, sebagai tempat menyimpan padi, atau hasil panen
yang lain.
Dalam Siwa Gama
dikatakan, Bhatara Siwa memerintahkan kepada umat manusia untuk membangun Balai
Sari di hulu Balai Agung untuk memuja Bhtara Sri.
Adapun yang berkenaan dengan minat dan bakat para
wanita, adalah Bhatara Sri sebagai gurunya. Disitulah para wanita diajari oleh
Bhatari Sri. Beliau dijuluki Sri Guru Nini. Beliau adalah dewa ilmu
pengetahuan dan ketrampilan wanita.
Banyak ibu-ibu belajar ketrampilan wanita,
sehingga orang-orang pada tahu menata rambut, membuat kipas, menenun, memotong
padi, membuat kain, dan segala pekerjaan wanita. Beliau pandai mengajar.
Demikianlah ceritanya dahulu.
20. Taman Beji
Taman beji ini letaknya
persis di belakang pelinggih Hulun Danu.
Berupa telaga yang berukuran 2 x 5 meter. Didalamnya ada dua topo, atau penyaring air. Sumber airnya adalah dari sungai yang ada di
utara pura. Di dalam telaga ini juga dididirkan
pelinggih Padmasari. Sesuai dengan
namanya, fungsi utama pelinggih ini tentulah sebagai pesiraman bhatara.
21. Pelinggih Bale Pegongan
Sesuai dengan namanya, bale pegongan ini mempunyai fungsi utama
sebagai tempat menabuh rikala diadakan odalan atau acara lain di
pemerajan/sanggah.
Bale pegongan ini berbentuk sebagai bale panjang, dasarnya terbuat
dari paras. Sedangkan saka
dan lambangnya terbuat dari kayu, atapnya adalah genteng. Tetapi
bale pegongan yang ada di pura suralaya ini, sakanya dibuat dari beton
yang sangat permanen, sehingga kelihatannya sangat kokoh.
22. Bale
Pesucian
Bale pesucian ini
sebenarnya dibuat pada saat karya ngenteg linggih dan nubung pedagingan. Bale ini khusus dibuat untuk membuat banten
suci atau banten-banten lain yang dianggap memerlukan kesucian batin.
23. Pawaregan
Berbentuk Bale Panjang, dengan 6 saka, semuanya
terbuat dari batu dan semen, menghadap ke barat. Berfungsi untuk mempersiapkan
keperluan sajian upacara yang perlu disiapkan di Pura. Sesuai dengan namanya
pawaregan atau membuat wareg, maka bale pewaregan ini jelas
merupakan tempat memasak atau mebat pada
waktu odalan
24. Medal Agung
Sebuah Pamedal yang sangat indah dan megah,
terletak diselatan madiya mandala, menghadap keselatan. Tetapi puncaknya sudah
rontok, yaitu ketika Pulau Bali dilanda gempa, dan para pengelingsir menyebut
jaman Gejer.
Dalam Siwagama dikatakan, ketika Bhatara Iswara rurun kedunia, beliau diiringkan oleh Sang
Jogormanik, Sang Citragopta, Sang Dorakala. Sang Jogormanik selanjutnya disuruh oleh
Bhatara Iswara sebagai juru tulis dan melinggih di balai banjar.
Sang Citragopta disuruh menjadi guru para pelukis, karena beliau
sangat pintar melukis. Sedangkan Sang
Dorakala di suruh sebagai penjaga pintu.
Maka itu yang menguasai pamedal agung ini tentulah Sang Dorakala. Sesuai
dengan namanya, pamedal agung ini berfungsi untuk keluar masuk Ida Bhatara.
25. Candi Bentar
Candi Bentar adalah pintu gerbang terbuka, berfungsi sebagai pintu
masuk. Candi Bentar ini merupakan simbolis pecahnya Gunung Kailase sebagai
tempat Dewa Siwa melakukan tapa. Candi Bentar yang ada di Pura Suralaya ini menghadap
ke selatan.
B. Madia Mandala
1.
Apit Lawang
Di depan pamedal agung/pintu masuk pura terdapat 2 (dua) buah
apit lawang. Berbentuk tugu, terbuat dari paras menghadap ke luar dari pura/keselatan.
Apit lawang ini, berada tepat di muka kiri kanan pamedal. Apit Lawang berfungsi untuk menjaga
kesucian pura secara niskala oleh orang
atau siapa saja yang ingin berbuat tidak baik.
2. Manik
Bingin
Ketika penulis masih kecil,
pelinggih ini terletak di bawah pohon beringin yang ada di madia mandale,
menghadap ketimur. Ketika pohon beringin
ini tumbang, maka di buat pelinggih manik bingin baru di samping beringin yang
ada di uttama mandala. Sedangkan pelinggih manik bingin yang lama tetap
berdiri di tempatnya semula di fungsikan sebagai penyawangan Bhatara Dalem Ped.
Lagi-lagi ketika ada perluasan
pura, pelinggih manik bingin ini, lagi-lagi dipindahkan ke madia mandala di
samping candi bentar.
Sedangkan bangunan manik bingin
yang lama di pindahkan ke pojok kelod kangin dan fungsinya tetap di pakai
sebagai pengayengan Bhatara Dalem Ped, dengan penambahan patung pada
cangkemnnya..
3. Pengayengan
Bhatara Dalem Ped
Seperti penulis katakan di muka,
pelinggih Bhatara Dalem Ped terletak di pojok kelod kangin, menghadap ke
uttara.
Pelinggih ini seluruhnya terbuat
dari batu paras, berbentuk seperti padmasari.
Fungsinya tentulah sebagai penghayatan Bhatara Dalem Ped, atau tempat
ngelinggihang tirta Bhatara Dalem Ped pada saat diadakan odalan di pura
suralaya ini.
Sekarang ini, Penyawangan Bhatara Dalem Ped
sudah dilengkapi togog paras, berbentuk sisya.
Patung ini setahu penulis diaturkan oleh Bapak I Ketut ArsaWijaya.
4. Bale
Kulkul
Setiap pura yang ada di
Bali pastilah berisi Bale Kulkul. Sedangkan untuk setingkat sanggah atau
merajan, biasanya jarang.
Sesuai dengan namanya,
bangunan ini merupakan tempat kulkul atau kentongan.
Seperti di ketahui
kentongan ini mempunyai berbagai fungsi, misalnya untuk mengumpulkan masa, atau
mengiringi prosesi tertentu di pura.
Misalnya ketika bhatara akan tedun, baru datang atau ketika akan
berhias. Maka itu, bale kulkul ini
dianggap tempat paling keramat.
Seolah-olah dari sinilah
datangnya segala perintah untuk dimulainya suatu upacara. Artinya, sebelum
kulkul berbunyi tidak boleh ada kegiatan apapun, dan apabila kulkul sudah
berbunyi, kegiatan boleh dilakukan.
Tetapi dibeberapa
tempat, bale Kulkul ini juga tempat
untuk meminta agar tidak hujan (dipakai nerang).
Pada jaman dahulu suara
kulkul ini biasanya sesuai dengan upacara yang sedang berlangsung di pura.
Misalnya kalau ida bhatara
sedang berhias (miyas), suara kulkul
biasanya pelan. Lain halnya kalau sedang mecaru, suara kulkul biasanya cepat.
Bahkan pada saat
tertentu, suara kulkul ini sesuai dengan bunyi tawa-tawa pada gong yang sedang
menabuh.
Bale kulkul ini merupakan
bangunan yang tertinggi yang ada di pura Suralaya. Bale kulkul ini terletak di
bagian pojok kelod kangin pura Suralaya.
5. Togog
Dorakala dan Mahakala
Berupa patung raksasa yang sangat
menyeramkan, berada dikiri dan kanan dari pamedal.
Fungsinya sebagai pencatat setiap
yang datang ke pura dan sekaligus sebagai penjaga kesucian pura.
Patung yang berada dibagian
kanan dari pamedal bernama Dorakala, dan yang berada disebelah kiri pamedal
bernama Mahakala. Dorakala ini mencatat
segala sesuatu yang baik, sedangkan Mahakala mencatat segala sesuatu yang
buruk.
Demikianlah selayang pandang, tentang sejarah terbentuknya banjar Banda
dengan pura Suralanya.
Penulis minta mahaf sebesar-besarnya, apabila ada kekeliruan atau hal-hal
yang belum terkopi dalam tulisan ini. Penulis berharap ada penulis lain yang
dapat melengkapi tulisan ini, dalam bentuk tulisan lain, sehingga sejarah
terbentuknya banjar Banda dan pura Suralaya ini menjadi lebih mendekati
kenyataan.
Akhirnya, penulis mengucapkan syukur dan rasa bakti kehadapan Ida
Bhatara-Bhatari yang melinggih ring parhyangan Banjar Banda ini. Tentu karena bingbingan Ida, penulis bisa
menyelesaikan tulisan ini. Begitu juga rasa bakti ini penulis tujukan kepada
Ida Sanghyang Widhi Wasa, sebagai Yang Maha Kuasa, yang telah memberi rahmatnya
kepada penulis.
Om Santi, Sati, Santi, Om.
Puput Ditulis Oleh Ir. Putu Januar Ardhana. Penulis Adalah Warga Banjar Banda, Yang Kebetulan Ikut Terlibat Dalam Pelaksanaan Ini, Tetapi Apabila Ada Yang Tidak Terekam Dalam Tulisan, Dengan Sangat Hormat Penulis Minta Maaf, Semoga Tulisan yang Lain, Yang Ditulis Oleh Orang Lain Bisa Terekam. Om Santi, santi, santi Om.

Penulis Bersama Bapak Nyoman Gunarsa
Yang Sangat Penulis Kagumi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar