Senin, 01 Mei 2017


SEPAK TERJANG SIRA ARYA GAJAH PARA BRETARA SIRA ARYA GETAS
DI BALI







OLEH
IR. PUTU JANUAR ARDHANA
PRATISANTANA SIRA ARYA GAJAH PARA
BRETARA SIRA ARYA GETAS



KLUNGKUNG BALI
2017

Sepak Terjang “Sira Arya Gajah Para
Bretara Sira Arya Getas”
Di Bali


Om, Swastiastu
I.            SELAYANG PANDANG BHATARA KAWITAN
Sembah sujud hamba ke hadapan Ida Hyang Parama Wisesa, yang melimpahkan segala sifat baik dan buruk terhadap setiap kehidupan di dunia ini. Semoga tidak ada halangan dalam pemipilan/penulisan babad atau sastra sejarah ini. Bebaskan hamba dari segala kesalahan dan kekeliruan, karena kurang paham terhadap Purana Tatwa, serta dengan hati yang tulus dan suci bermaksud meluruskan ceritra sejarah leluhur. Semoga Beliau Asung Kertha Wara Nugraha kepada damuh-damuhnya yang ingin mengetahui lebih jauh tentang keberadaan Bhatara Lalangit pada jaman  dahulu.

Sekali lagi penulis yang  adalah Pratisantana Sira Arya Gajah Para Bretara Sira Arya Getas, dengan penuh rasa sujud bakti, mohon ampun kehadapan bhatara  lalangit, Sira Arya Gajah Para Bretara Sira Arya Getas, karena damuh bhatara, berani menulis dan menyebut-nyebut nama bhatara lelangit. Tetapi tujuan penulis tiada lain hanya ingin berbakti, agar para damuh bhatara lalangit dapat mengenal lebih jauh tentang kebesaran dan keagungan bhatara lalangit di jaman dahulu. Sehingga para damuh bhatara  berbangga sebagai keturunan Sira Arya Gajah Para Bretara Sira Arya Getas, sehingga pada masa-masa mendatang dapat lebih berbakti lagi.

Sebagai orang Bali yang beragama Hindu, bahwa sangat percaya akan keberadaan roh laluhur. Maka itu tiada seorangpun yang berani terhadap laluhurnya, apalagi ada sebuah bisama tentang kawitan atau laluhur, yaitu” Apabila kamu lupa dan lengah terhadap Kawitan/Kahyangan, mudah-mudahan tidak menentu jalan hidupmu, banyak halangannya, hana kene hana keto, giat bekerja tetapi kurang makan, tidak henti-hentinya cekcok di dalam keluarga dan selamanya merasa gundah”.      

Maka itu, wajarlah pada akhir-akhir ini banyak sekali mereka ingin menelusuri, mencari atau ingin mengetahui laluhurnya atau kawitannya masing-masing, dimana Padarman, Pura Kawitan, Pura Panti atau Paibon. Tetapi penulis merasa bersyukur karena sudah dengan jelas mengetahui bahwa penulis merupakan Pratisantana Sira Arya Gajah Para Bretara Sira Arya Getas, yang tingal di Banjar Banda, Desa Takmung, Kabupaten  Klungkung, Propinsi Bali. Sedangkan laluhur penulis  berasal dari banjar Pangi, desa Pikat, kabupaten  Klungkung, dengan pusat pura Kawitan di desa Tianyar kabupaten Karangasem.

Hal ini tentulah tidak terlepas dari kecermatan laluhur penulis, untuk tetap mengingatkan dan mewariskan bukti-bukti sejarah kepada keturunannya, bahwa mereka adalah Pratisantana Sira Arya Gajah Para Bretara Sira Arya Getas. Maka itu, sebagai bukti bakti penulis terhadap laluhur, penulis mencoba memipil/menulis tentang Keberadaan dan Peranan Sira Arya Gajah Para dan Bretara Sira Arya Getas, ketika datang ke Bali.


II.         SIAPAKAH SIRA ARYA GAJAH PARA SIRA ARYA GETAS
Beliau sebenarnya merupakan dua bersaudara kakak beradik.  Sira Arya Gajah Para kakaknya dan adiknya Sira Arya Getas.

Dalam Palelintih Sira Arya Gajah Para Bretara Sira Arya Getas.  Beliau merupakan keturunan ke sembilan, kalau dihitung dari Prabhu Darmawangsa.  Ayah beliau adalah Ida Dalem Maneneng. Kenapa beliau disebut Dalem Maneneng, karena ketika ayah beliau gugur di medan laga, beliau masih dalam kandungan.  Sedangkan kakek beliau bernama Jaya Kata yang tertangkap ketika Kerajaan Kediri diserang oleh Tantara Singasari.

Sedangkan Kumpi (kompyang beliau) adalah Prabhu Jayakatong yang memerintah di Kerajaan Kediri atau Kerajaan Gelang-Gelang.  Beliau berteman baik dengan Bupati Madura, Arya Wiraraja, tetapi pertemanannya ini diakhiri dengan tidak baik, karena Arya Wiraraja memberikan bocoran kelemahan Prabhu Jayakatong kepada Raden Wijaya (pendiri Majapahit).  Buyut beliau bernama Prabhu Dangdang Gendis.  Seperti kita ketahui, Prabhu Dangdang Gendis adalah seorang penganut Siwa yang sangat dan sangat panatis.  Sehingga beliau pernah berucap, beliau tidak pernah takut dan tidak akan tunduk kepada siapapun, kecuali pada Dewa Siwa.  Sehingga sekta-sekta lain, selain sekta Siwa pada waktu ini, tidak mendapat tempat dan merasa tersingkirkan.  Karena itu, seluruh sekta-sekta yang ada waktu itu, semuanya menyingkir ke kekerajaan Singasari.  Dilain pihak, kerajaan Singasari seperti mendapat kekuatan baru dengan kedatangan penganut sekta-sekta ini, yang dipelopori oleh para Rsi-Rsi mereka. 

Dari Singasari sini dilancarkan propaganda, seolah-olah Prabhu Dandang Gendis tidak memperhatikan para Mpu dan para Rsi. Padahal yang tidak diperhatikan oleh beliau adalah Rsi-Rsi dan Mpu-Mpu diluar sekta Siwa.  Nampaknya propaganda ini termakan oleh masyarakat, sehingga banyak sekali masyarakat tidak senang dengan Prabhu Dangdang Gendis, terutama dari kalangan Mpu dan Rsi.  Kesempatan inilah yang dipergunakan oleh kerajaan Singasari untuk menggempur kerajaan Kediri.  Karena merasa terdesak akhirnya, Prabhu Dangdang Gendis segera memusatkan pikirannya, menggelar rahasia batin, segera moksa, menuju Siwa Loka.




Sedangkan leluhur-leluhur beliau adalah Prabhu Jaya Baya, yang namanya tetap harum sampai sekarang.  Salah satu karyanya adalah ramalam beliau yang sangat terkenal sampai saat ini. Sedangkan  Prabhu Erlangga tentulah tidak asing lagi bagi kita semua.  Sedangkan  Sri Kameswara,  beliau ini memang tidak banyak catatan sejarah yang ada.  Sedangkan Sri Darmawangsa. Beliau seorang raja yang sangat cerdas dan bercita-cita tinggi.  beliau juga seorang sastrawan.  Bahkan setiap sastrawan waktu itu semua memuji-muji keberadaan beliau, sehingga selalu disebutkan dalam setiap hasil satra waktu itu.

Kembali diceritakan, Sira Arya Gajah Para Bretara Sira Arya Getas. Pulau Bali bagi beliau sebenarnya sudah tidak terlalu asing bagi beliau, karena dari kecil sebenarnya beliau sudah sering dating ke Bali di ajak oleh ayah beliau.  Seperti yang tercantum dalam prasasti pura penataran Tianyar Arya Gajah Para di banjar Gegelang Kelod Kawuh, Desa Gegelang Manggis Karangasem.    Dalam prasasti ini, jelas tertulis disana bahwa, Ida Dalem Maduwe Gama sering datang ke Bali. Selanjutnya dikatakan, beliau berputra 2 orang. Yang pertama bernama “I Patih Gajah dan adiknya bernama I Tangkas Para”. Kalau melihat angka tahun dan jamannya, maka Ida Dalem Maduwe Gama, dapat penulis simpulkan adalah Ida Dalem Maneneng. Karena pada jaman itu, hanya beliau yang memakai gelar Dalem. Apalagi selanjutnya dikatakan, beliau berputra 2 orang laki-laki seperti diatas. Dan kedua putra beliau itu, dapat penulis simpulkan tentulah Sira Arya Gajah Para dan adiknya Bretara Sira Arya Getas.

Maka itu, tidak heranlah, ketika Mahapatih Gajah Mada mengadakan penyelidikan ke Bali, pembantu utama beliau adalah Sira Arya Gajah Para dan Sira Arya Getas.  Dengan pertimbangan yang jelas. Karena Sira Arya Gajah Para dan Sira Arya Getas dianggap sangat tahu  keadaan pulau Bali saat itu. Rasanya tidak mungkin Mahapatih Gajah Mada mengajak orang yang tidak tahu teritorial. Untuk itulah, akhirnya kedua arya  itu kedarma putra, atau diangkat sebagai anak  angkat oleh Maha Patih Gajah Mada. 

Maka itu tidak mengherankan ketika Pasukan Majapahit menyerang Pulau Bali, Sira Arya Gajah Para dan Sira Arya Gertas tidak pernah jauh dari keberadaan Mahapatih Gajah Mada.  Sekarang ini mungkin disebut Pasukan Pengamanan (Paspam).  Hal inilah yang menyebabkan Sira Arya Gajah Para dan Bretara Sira Arya Getas,  kurang dikenal namanya, karena peran beliau yang mengharuskan untuk tidak boleh dikenal.  Seperti pada umumnya, ciri khas orang-orang yang bertugas di pasukan pengamanan, misalnya sebagai pasukan pengamanan Presiden (Paspampres).  Biasanya kurang terkenal, bahkan tidak dikenal oleh masyarakat luas, tidak banyak bicara, teliti, cerdas, mewaspadai setiap tindakan orang, dan kurang materi. Begitu juga halnya Sira Arya Gajah Para Bretara Sira Arya Getas.  Hampir didalam setiap tulisan sejarah nama beliau tidak pernah tercatat, yang tercatat tentulah Maha Patih Gajah Mada.


Begitu juga halnya, ketika pasukan Majapahit dihadang oleh pasukan Bali yang dipimpin langsung oleh raja Bali pada waktu itu,  yang terkenal sangat sakti, maka Mahapatih Gajah Mada memerintahkan  kepada kedua Arya ini untuk menjemput Guru beliau di Majapahit. Dan tanpa pikir panjang, kedua Arya ini  segera berangkat dan mengantarkan Sri Mpu Soma Kepakisan untuk datang ke Bali untuk menghadapi ilmu niskala yang diterapkan oleh pasukan Bali.  Di Dalam kekawin Gajah Mada, jelas dikatakan Sri Mpu Soma Kepakisan ketika pergi ke Bali, dikawal oleh Sira Arya Gajah Para dan Sira Arya Gajah Para Kalih (maksudnya Sira Arya Getas)


III.     PENYERANGAN KE BALI
Kembali diceritakan  ketika Raja Putri Tri Bhuana Tunggadewi, memerintahkan Maha Patih Gajah Mada untuk menggempur pulau Bali, dalam rangka mewujudkan sumpah Palapanya. Penyerangan terhadap Bali Dwipa ini sebenarnya merupakan taruhan Maha Patih Gajah Mada, apakah sumpah Palapanya akan berhasil atau tidak. Maka  itu persiapan perang ini dilakukan dengan sangat  rapi disertai dengan pasukan  yang sangat kuat dan besar.

Pulau Bali ketika itu,  diperintah oleh Sri Aji Tapeulung yang sangat terkenal, dan sering disebut  Raja Beda Muka/Beda Hulu. Raja Beda Muka  merupakan raja yang sangat pandai dan sangat sakti, apalagi beliau juga di bantu oleh para patih yang sangat sakti-sakti  dan kebal akan senjata. Misalnya (1) Ki Pasung Grigis yang berdiam di Tengkulak, (2) Ki Kebo Iwa yang juga bergelar Ki Kebo Taruna,  berdiam di Blahbatuh. (3) Demung Ki Gudug Basur dan  Tumenggung Ki Kalagemet magenah ring Bate Anyar, (4) Maha Patih Girimaya yang bergelar Ki Ularan berdiam di Patemon Buleleng, (5) Ki Tunjung Tutur berdiam di Tianyar, (6) Ki Tunjung Biru berdiam di Tenganan, (7) Ki Buan berdiam di batur, (8) Ki Tambiyak Berdiam di Jimbaran, (9) Ki Kopang berdiam di Seraya Karangasem,  (10) Ki Kalung Singkal berdiam di taro. Para Mahapatih inilah yang sangat di andalkan oleh raja Beda Muka untuk mempertahankan pulau Bali. Maka itu, Ketika Maha Patih Gajah Mada ingin menaklukkan Pulau Bali, beliau sangat berhati-hati.

Pertama-tama kriyan patih Gajah Mada, memanggil Arya Damar, atas titah dari Maha Raja Pulau Jawa, untuk melaksanakan empat daya upaya, menyerang kerajaan Bali. Setelah siap segala perbekalan dan kendaraan, segeralah beliau berangkat yang diikuti oleh  para Arya semua. Para perwira dan menteri berkelompok-kelompok menaiki perahu, diiringi oleh para prajurit beliau, sehingga tepi laut Bali dikelilingi oleh para  tantara Jawa (musuh). Para Arya itu di bagi-bagi oleh Kryan Patih Madha, utara, timur, barat dan selatan, semuanya penuh, penuh sesak di pantai laut, dengan masing-masing menempati posisinya, lalu ditambatkannya perahu.



Seperti yang tercantum dalam prasasti Sira Arya Gajah Para Bretara Sira Arya Getas, Maha Patih Gajah Mada ketika menyerang pulau bali di dampingi oleh 9 arya pilih tanding, yaitu (1) Arya Kepakisan, (2) Arya Wangbang, (3) Arya Damar, (4) Arya  Dalancang, (5) Arya Belog, (6) Arya Kanuruhan, (7) Arya Kuta Waringin (8) Arya Gajah Para, (9) Arya Getas). Beliau Arya Damar bertindak sebagai kepala penasehat pasukan tinggi tersebut. 

Adapun Arya Gajah Para beserta saudara beliau Sira Arya Getas, diikuti oleh Jahaweddhya, para Gusti dari Majapahit, seperti tiga patih bersaudara, yang bernama Tan Kawur, Tan Mundur dan Tan Kober. Beliau tiga bersaudara menambatkan perahu layarnya di Pelabuhan Tejakula, yang menyerang dari barat Toya Anyar. Sedangkan Mahapatih Gajah Mada sendiri memimpin dari markasnya di hutan pegunungan yaitu antara gunung Watukaru, danau Beratan dan gunung Tuluk Biyu Batur.

Desa-desa menjadi kacau balau, semuanya yang ada di kerajaan Bali, peperangan itu sangat ramai, saling parang memarang, keadaan sangat kacau balau, banyak rakyat yang tewas, dan menderita, karena keperkasaan serangan dari pulau Jawa. Berhubung cerita peperangan ini amat panjang, maka tidak akan diceritakan dalam tulisan ini.

Seperti sudah disinggung diatas, Sira Arya Gajah Para dan Sira Arya Getas ternyata beliau mengajak 3 orang wesya (ekonom)  yang bernama (1) Tan Kaur, (2) Tan Kobar, (3) Tan Mundur.  Maka itu, menjadi tanggung jawab moral, bagi setiap keturunan Sira Arya Gajah Para Bretara Sira Arya Getas untuk mengumpulkan kembali keturunan beliau bertiga ini.

Dari beberapa sumber yang penulis pernah baca, keturunan dari Tan Kobar, pernah mengabdi di kerajan Mengwi dan gugur ketika menghadapi pemberontakan ki Balian Batur.  Sedangkan Tan Kaur pernah mengabdi di desa Mas sebagai bendesa.  Sedangkan keturunan yang lain bermukim di Karangasem.


IV.           SETELAH PENAKLUKKAN BALI
Sementara setelah gugurnya raja bali, Maharaja Beda Muka, para Arya majapahit itu, semuanya kembali ke Jawa menuju kerajaan Majapahit, sehingga keadaan pulau bali menjadi sangat sunyi senyap, karena belum ada yang memimpin pulau Bali ketika itu. Setelah sekian lama terjadinya kepakuman kepemimpinan di bali, datanglah Sri Aji Kresna Kepakisan, yang dinobatkan menjadi raja di pulau Bali. Kedatangan beliau ke Bali diikuti oleh para 7 arya, yaitu (1) Arya Kepakisan, (2) Arya Wangbang, (3) Arya Kenceng, (4) Arya  Dalancang, (5) Arya Belog, (6) Arya Kanuruhan, (7) Arya Kuta Waringin. Beliau Arya Kuta Waringan bertindak sebagai kepala penasehat pasukan tinggi tersebut. 

Setelah  Sri Kresna Kepakisan dinobatkan menjadi raja di pulau Bali, orang-orang Bali tidak sepenuhnya mau tunduk dan hormat kepada beliau. Terutama orang-orang Bali yang berada di utara gunung Agung, karena belum ada atau tidak ada pemimpin yang disegani datang ke sana.

Berdasarkan nasehat beberapa arya, Sri Kresna kepakisan akhirnya datang ke Jawa untuk melaporkan hal ini kepada penguasa di Majapahit, agar beliau mau mengutus seorang yang dapat menentramkan rakyat Bali ini. Akhirnya diambil keputusan Bahwa ditunjuklah anak Arya Wayahan Dalem Maneneng yang bernama Sira Arya Gajah Para dan Sira Arya Getas untuk mengemban tugas ini, karena  beliau berdua inilah yang menaklukkan daerah ini pada saat penyerangan pulau Bali dahulu.

Kemudian Sira Arya Gajah Para dan Sira Arya Getas di desak oleh Raja, dan diperintahkan langsung oleh Maha Patih Gajah Mada, agar mau sebagai patih Sang Raja di Bali. Beliau akhirnya menurut, karena ingat  dengan kewajiban sebagai seorang anak.  Seorang anak sangat tidak pantas melawan perintah orang tua, apalagi itu menyangkut Negara. “Demikianlah memang motto kepemimpinan Arya Wayahan Dalem Maneneng, tetap melaksanakan keperwiraan utama dan keadilan”.

Akhirnya kedua arya itu diberikan isteri yang berasal dari keluarga seorang Arya. Kedua Arya ini akhirnya di ajarkan tentang kewajiban dan tingkah laku seorang kesatria oleh ayah beliau. Sehingga keduanya diharapkan mampu melaksanakan cita-cita dan kewajiban sebagai seorang kesatria (pemberani). Selanjutnya Sira Arya Gajah Para, dan adik beliau bernama Sira Arya Getas menyembah dan mohon pamit, berdiri dan segera berangkat ke Pulau Bali.

Segera setelah sampai di laut, segera beliau naik ke perahu, perahu berlayar semilir dengan tenangnya. Setelah beberapa lama  melewati pertengahan laut, berlabuhlah mereka di Polaki. Untuk sementara waktu, beliau menumpang di rumah   teman lama beliau yang bernama  I Gusti Bendesa Polaki, yang merupakan keturunan dari Bendesa Mas. Sangat senang hati I Gusti Bendesa, tulus hatinya dan sangat ramah tamah sambutannya, hormat terhadap kedua arya tersebut, seperti berbunga-bunga hati sang tuan rumah, lengkap dengan jamuan penyambutan I Gusti Bendesa Polaki dan disana Sira Arya Gajah Para dan Sira Arya Getas menginap dua malam

Setelah bermalam selama 2 hari disini,  pada pagi  berikutnya kedua Arya tersebut, diantar oleh I Gusti Bendesa untuk menghadap Sri Maharaja, yang beristana di Samprangan. Kisah perjalanan beliau tidak diceritakan lagi. Setelah tiba di istana raja, beliau langsung mendekat dan menghadap pada baginda raja.  Tidak lama kemudian,  kedua Arya tersebut dipandang secara seksama oleh sang raja.

Dengan sopan dan tulus, Sira Arya Gajah Para dan Sira Arya Getas mengaturkan sembah, demikian pula I Gusti Bendesa. Sikap kedua Arya ini menimbulkan Kekaguman bagi setiap orang yang berada di tempat pertemuan (penghadapan), karena tingkah laku kedua arya tersebut, betul-betul mencerminkan tingkah laku seorang ksatria mahottama, seperti yang tertulis dalam kitab “nawa natya”. Sang Maha Raja akhirnya memberikan titah dan petunjuk terhadap kedua Arya tersebut.

Kedua Arya ini akhirnya dinobatkan menjadi patih dan bertempat di desa Sukengeneb Toya Anyar, sebelah utara gunung Toh Langkir. Diangkatnya Sira Arya gajah Para Sira Arya Getas di sana, dengan pertimbangan karena waktu kerajaan  Majapahit menyerang  Raja Bheda Muka di bawah pimpinan Maha Patih Gajah Mada, kedua Arya inilah yang menaklukkan desa-desa ini.

Maka itu, menjadi patuhlah kedua Arya itu, dengan segera menutup penghadapan Raja. Setelah itu, semuanya mohon pamit kepada Sang Maha Raja, dan permohonannya di kabulkan.

Setelah itu Sira Arya Gajah Para Sira Arya Getas, menuju ke daerah utara pulau Bali, diiringkan oleh rakyat sebanyak 50 orang menuju Sukangeneb, Toya Anar, sebelah utara gunung Tungtung. Di sana Beliau membuat rumah,  berkedudukan sebagai penguasa masyarakat yang dihormati.

Adapun luas daerahnya adalah, ketimur sampai di Garbawana (basang alas), ke selatan sampai di Got, ke barat sampai di Ponjok Batu. Demikianlah kedudukan beliau ketika berkuasa  di Sukangeneb Toya Anar, yang di mulai pada tahun 1270 Wara Merakih bulan mati ke 13.


V.               KETURUNAN SIRA ARYA GAJAH PARA SIRA ARYA GETAS
Entah berapa lama Sira Arya Gajah Para menetap di sana, akhirnya punya empat orang putra : yang tertua adalah perempuan,  bernama (1) I Gusti Ayu Raras, (2) I Gusti Ngurah Tyanar,  (3) I Gusti Sukangeneb, (4) Ni Gusti Ayu Tirtha.  I Gusti Ayu Raras, selanjutnya dijadikan istri oleh Sri Aji Kresna Kepakisan, yang selanjutnya menurunkan santana trah  Dalem di Bali. Sedangkan I Gusti Sukangeneb, kesah ke Pegametan. 

Berhubung I Gusti Ngurah Tianyar merupakan anak tertua, maka beliaulah yang dinobatkan menggantikan Ayahnya. I Gusti Ngurah Tianyar   menyunting I Gusti Luh Getas,  putranya Arya Getas yang masih ada hubungan keluarga yaitu masih sepupunya.Dari perkawinannya ini, Beliau mempunyai anak laki laki. Tetapi Beliau   mengambil istri lagi, yang bernama Ni Dyah Lor. Ni Dyah Lor ini adalah putri Kyayi Ngurah Candhi keturunan Kuta Wandira. 


Dari perkawinannya dengan Ni Dyah Lor ini, Beliau mempunyai  tiga orang anak. Yang tertua perempuan bernama (1) Ni  Gusti luh Tyanar, adiknya (2) I Gusti Ngurah Tyanar, dan yang terkecil (3) I Gusti Ngurah Kaler. Ketiganya merupakan cucu Sira Arya Gajah Para. Adapun yang perempuan Ni Gusti Luh Tyanar, diambil oleh Pedanda Sakti Manuaba, Beliau sebenarnya sudah menjanda  tiga kali. Pertama kali Beliau disunting  oleh anaknya I Gusti Kekeran, yang  masih saudara sepupu. Sedangkan I Gusti Ngurah Tianyar selanjutnya menggantikan ayahandanya, sesudah  mempersunting I Gusti Diah Wwesukla. Sedangkan I Gusti Ngurah Kaler, tetap berada di Tianyar sebagai orang biasa.

Karena sesuatu dan lain hal,  dua bersaudara ini berkrelahi sampai keduanya gugur di medan laga. Istrinya  I Gusti Ngurah Tianyar selanjutnya membawa anak-anaknya yang masih kecil ke Swecapura Gelgel. Sedangkan Istrinya I Gusti Ngurah Kaler yang sedang hamil tua, pergi ke Tangguwesia, Singaraja.

Maka itu, sebagai Pratisantana Sira Arya Gajah Para, penulis sangat hormat dengan beliau berdua ini. Penulis tidak bisa membayangkan, kalau saja beliau berdua ini berpikir pendek waktu itu, mungkin saja kita semua sebagai keturunan Sira Arya Gajah Para tidak ada di dunia ini.


VI.            KESIMPULAN
Dari uraian diatas, maka  penulis dapat membuat semacam kesimpulan kecil tentang Ida Bhatara Lalangit Sira Arya Gajah Para dan Bretara Sira Arya Getas, yaitu
A.       Ketika Maha Patih Gajah Mada menyerang pulau Bali, beliau mengajak sembilan (9) Arya pilih tanding dan tiga (3)  Wesya.

B.        Sira Arya Gajah Para dan Sira Arya Getas merupakan keturunan satria Kediri yang ikut serta dalam penyerangan  terhadap pulau Bali yang dipimpin langsung oleh Mahapatih Gajah Mada

C.        Sira Arya Gajah Para Bretara Sira Arya Getas juga membawa tiga orang Wesya ke Bali (Tan Kaur, Tan Kobar, Tan Mundur).

D.       Setelah Bali dapat dikalahkan, semua Arya yang ikut menyerang pulau Bali, kembali lagi ke Jawa, yang menyebabkan pulau Bali menjadi sepi (tanpa pemerintahan)

E.        Untuk mengisi kekosongan pemerintahan, Akhirnya diutus Sri Kresna Kepakisan untuk menjadi raja di Bali yang diiringi oleh tujuh (7) Arya. Sedangkan Sira Arya Gajah Para dan Sira Arya Getas tidak ikut serta dalam rombongan ini.

F.         Sira Arya Gajah Para dan Sira Arya Getas, baru datang lagi ke Bali ketika  Sri Kresna Kepakisan yang  menjadi Raja di Bali dengan keraton beliau di Samprangan, tidak bisa mengatasai pemberontakan  di beberapa desa. Mereka  tidak mau tunduk dengan penguasa baru, terutama desa yang ada disebelah utara gunung Tungtung. Maka diperintahkanlah Sira Arya Gajah Para dan Sira Arya Getas oleh Maha Patih Gajah Mada untuk menjadi penguasa di sana dengan kedudukan beliau di Tianyar.

G.       Pada generasi ke tiga, terjadi perang saudara antara I Gusti Ngurah Kaler dengan I Gusti Ngurah Tianyar, karena perselisihan tentang tata cara upacara atiwa-tiwa (pengabenan) Sira Arya Gajah Para (kakek beliau).

H.       Sebagai keturunan Sira Arya Gajah Para, hendaknya memberikan apresiasi lebih kepada Istrinya I Gusti Ngurah Tianyar yang bernama Diah Wwesukla dan istrinya I Gusti Ngurah Kaler, yang sedang mengandung waktu itu.  Karena berkat ketabahan hati beliau berdua keturunan Sira Arya Gajah Para masih ada sekarang ini

I.          Salah satu pratisentana Sira Arya Gajah Para yang bernama I Gusti Ngurah Polaki,  berubah secara gaib menjadi macan gading lalu  menjadi pengikut bhatara pura Melanting di Pulaki.

J.          Keturunan I Gusti Arya Getas ada yang menetap di pulau Lombok, karena titah Raja Gelgel waktu itu.

K.       Pada generasi ke empat, sentana Sira Arya Getas, ada yang memeluk agama Islam, dan menurunkan trah Lalu di Lombok.

L.        Pura Candi Gora, yang belokasi di tepi pantai desa Tianyar, merupakan pura yang di buat oleh Sira Arya Gajah Para dan Sira Arya Getas, ketika beliau pertama kali datang di Bali, untuk menyembah leluhur beliau di Jawa waktu itu, dan belakangan juga dipakai sebagai tempat madewa saksi untuk kesetiaan warga Bali Age terhadap pemerintahan Dalem.

M.      Pura Sukengeneb, yang berlokasi di lereng Gunung Agung bagian utara, dibuat oleh keturunan Sira Arya Gajah Para dan Bretara Sira Arya Getas, untuk menyembah leluhurnya yang ada di Bali.

N.       Sebagai pratisantana Sira Arya Gajah Para dan Bretara Sira Arya Getas, seharusnya merasa bertanggung jawab secara moral, terhadap keturunan tiga wesya yang mengiringi Sira Arya Gajah Para dan Sira Arya Getas, yaitu Tan Kobar, Tan Kaur dan Tan Mundur.

O.       Sedangkan salah satu meru tumpang 9 (sembilan), yang ada di lokasi pura Batu Madeg Besakih, yang oleh pemangku di sana dikatakan  kepunyaan Sira Arya Gajah Para dan Sira Arya Getas, hendaknya perlu mendapat kajian dan perhatian dari semeton Sira Aya Gajah Para Bretara Sira Arya Getas.

Adapun Naskah ini disusun atas dasar sumber yang sangat terbatas, baik buku sejarah, prasasti, babad, lontar, maupun pendapat tokoh dan Penglingsir Sira Arya Gajah Para Bretara Sira Arya Getas, terutama tentang keberadaan dan peranan Sira Arya Gajah Para dan Bretara Sira Arya Getas, dalam rangka mewujudkan Sumpah Palapa Gajah Mada. Tetapi didalam penyusunan tulisan ini, ada 2 naskah yang penulis pakai pedoman pokok, yaitu Babab Sira Arya Gajah Para dan Bretara Sira Arya Getas yang diterbitkan oleh Keluarga Besar Arya Gajah Para dan Arya Getas. Sedangkan yang kedua Babad Sira Arya Gajah Para dan Arya Getas yang penulis dapatkan di Pusat Dokumentasi Propinsi Bali.  Sedangkan naskah lainnya penulis ketemukan terpenggal-penggal, misalnya, di Desa Bajing, Desa Angantelu, Desa Gegelang, Desa Pangi, sehingga perlu disusun dan ditafsirkan secara cermat menjadi suatu naskah yang bermakna, sehingga jauh dari unsur Mitos dan Dongeng dan meniadakan rekayasa yang bisa menyesatkan, sehingga dapat diyakini dan diterima oleh pembaca.

Naskah ini tentulah sangat tidak sempurna, maka itu kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk perbaikan selanjutnya.

Om, Santi, Santi, Santi Om.

(dikumpulkan oleh Ir. Putu Januar Ardhana.  Ketua Pemangku Pasemetonan Sira Arya Gajah Para Bretara Sira Arya Getas Indonesia)


Silsillah/Pelelintih Sira Arya Gajah Para

Sri Maha Raja Manu
Saka 602



Sri Maha Raja Jaya Langit



Sri Werdi Kandayun



Sri Kameswara Para Dewa Sikan



Sri Darmawangsa
Teguh Ananta Wikrama Tungga Dewa
Saka 895



Sri Kameswara




Sri Ketha Darma                   Sri Erlangga                      Sri Tunggal Ametung




Ratu Kili Suci            Sri Jaya Bhaya    Sri Jaya Sabha          Arya Juru
         (Arya Tutuan)




Sri Jaya  Bhaya
Sri Jaya Bhaya






Prabu Dangdang Gendis    Sri Siwa Wandira                                                             Sri Jaya Kusuma



Sri Jaya Katong                                                                                                              Sri Jaya Waringin                    Sri Wira Kusuma
                                                                                                               (Raden Patah)


Sri Jaya Katha





Sri Wayahan
Dalem Maneneng                             Arya Katanggaran                          Arya Nudatha






Sira Arya Gajah Para               Sira Arya Getas






I Gst.  Ayu Raras    I Gst. Ngr.  Sukengeneb     I Gst. Ngr. Tianyar         I Gst. Ayu Tirta










Pemangku Putu Januar Ardhana
Pemangku A.A.A. Ratih Dewi

1 komentar:

  1. Untuk pedarman arya gajah para sendiri ring pura besakih pura batu madeg nggih ?

    BalasHapus