SEPAK
TERJANG SIRA ARYA GAJAH PARA BRETARA SIRA ARYA GETAS
DI
BALI
OLEH
IR. PUTU
JANUAR ARDHANA
PRATISANTANA
SIRA ARYA GAJAH PARA
BRETARA
SIRA ARYA GETAS
KLUNGKUNG
BALI
2017
Sepak Terjang “Sira Arya Gajah Para
Bretara Sira Arya Getas”
Di Bali
Om, Swastiastu
I.
SELAYANG PANDANG BHATARA KAWITAN
Sembah sujud
hamba ke hadapan Ida Hyang Parama Wisesa, yang melimpahkan segala sifat baik
dan buruk terhadap setiap kehidupan di dunia ini. Semoga tidak ada halangan
dalam pemipilan/penulisan babad atau sastra sejarah ini. Bebaskan hamba dari
segala kesalahan dan kekeliruan, karena kurang paham terhadap Purana Tatwa,
serta dengan hati yang tulus dan suci bermaksud meluruskan ceritra sejarah
leluhur. Semoga Beliau Asung Kertha Wara Nugraha kepada damuh-damuhnya yang
ingin mengetahui lebih jauh tentang keberadaan Bhatara Lalangit pada
jaman dahulu.
Sekali lagi
penulis yang adalah Pratisantana Sira
Arya Gajah Para Bretara Sira Arya
Getas, dengan penuh rasa sujud bakti, mohon ampun kehadapan bhatara lalangit, Sira Arya Gajah Para Bretara Sira
Arya Getas, karena damuh bhatara, berani menulis dan menyebut-nyebut nama
bhatara lelangit. Tetapi tujuan penulis tiada lain hanya ingin berbakti, agar para
damuh bhatara lalangit dapat mengenal lebih jauh tentang kebesaran dan
keagungan bhatara lalangit di jaman dahulu. Sehingga para damuh bhatara berbangga sebagai keturunan Sira Arya Gajah
Para Bretara Sira Arya Getas, sehingga pada masa-masa mendatang dapat lebih
berbakti lagi.
Sebagai orang
Bali yang beragama Hindu, bahwa sangat percaya akan keberadaan roh laluhur.
Maka itu tiada seorangpun yang berani terhadap laluhurnya, apalagi ada sebuah
bisama tentang kawitan atau laluhur, yaitu” Apabila kamu lupa dan lengah
terhadap Kawitan/Kahyangan, mudah-mudahan tidak menentu jalan hidupmu, banyak
halangannya, hana kene hana keto, giat bekerja tetapi kurang makan, tidak
henti-hentinya cekcok di dalam keluarga dan selamanya merasa gundah”.
Maka itu,
wajarlah pada akhir-akhir ini banyak sekali mereka ingin menelusuri, mencari
atau ingin mengetahui laluhurnya atau kawitannya masing-masing, dimana Padarman,
Pura Kawitan, Pura Panti atau Paibon. Tetapi penulis merasa bersyukur karena
sudah dengan jelas mengetahui bahwa penulis merupakan Pratisantana Sira Arya
Gajah Para Bretara Sira Arya Getas, yang tingal di Banjar Banda, Desa Takmung,
Kabupaten Klungkung, Propinsi Bali.
Sedangkan laluhur penulis berasal dari
banjar Pangi, desa Pikat, kabupaten Klungkung, dengan pusat pura Kawitan di desa
Tianyar kabupaten Karangasem.
Hal ini
tentulah tidak terlepas dari kecermatan laluhur penulis, untuk tetap mengingatkan
dan mewariskan bukti-bukti sejarah kepada keturunannya, bahwa mereka adalah
Pratisantana Sira Arya Gajah Para Bretara Sira Arya Getas. Maka itu, sebagai
bukti bakti penulis terhadap laluhur, penulis mencoba memipil/menulis tentang
Keberadaan dan Peranan Sira Arya Gajah Para dan Bretara Sira Arya Getas, ketika
datang ke Bali.
II.
SIAPAKAH
SIRA ARYA GAJAH PARA SIRA ARYA GETAS
Beliau
sebenarnya merupakan dua bersaudara kakak beradik. Sira Arya Gajah Para kakaknya dan adiknya
Sira Arya Getas.
Dalam
Palelintih Sira Arya Gajah Para Bretara Sira Arya Getas. Beliau merupakan keturunan ke sembilan, kalau
dihitung dari Prabhu Darmawangsa. Ayah
beliau adalah Ida Dalem Maneneng. Kenapa beliau disebut Dalem Maneneng, karena
ketika ayah beliau gugur di medan laga, beliau masih dalam kandungan. Sedangkan kakek beliau bernama Jaya Kata yang
tertangkap ketika Kerajaan Kediri diserang oleh Tantara Singasari.
Sedangkan
Kumpi (kompyang beliau) adalah Prabhu Jayakatong yang memerintah di Kerajaan
Kediri atau Kerajaan Gelang-Gelang.
Beliau berteman baik dengan Bupati Madura, Arya Wiraraja, tetapi
pertemanannya ini diakhiri dengan tidak baik, karena Arya Wiraraja memberikan
bocoran kelemahan Prabhu Jayakatong kepada Raden Wijaya (pendiri Majapahit). Buyut beliau bernama Prabhu Dangdang
Gendis. Seperti kita ketahui, Prabhu
Dangdang Gendis adalah seorang penganut Siwa yang sangat dan sangat
panatis. Sehingga beliau pernah berucap,
beliau tidak pernah takut dan tidak akan tunduk kepada siapapun, kecuali pada Dewa
Siwa. Sehingga sekta-sekta lain, selain
sekta Siwa pada waktu ini, tidak mendapat tempat dan merasa tersingkirkan. Karena itu, seluruh sekta-sekta yang ada
waktu itu, semuanya menyingkir ke kekerajaan Singasari. Dilain pihak, kerajaan Singasari seperti
mendapat kekuatan baru dengan kedatangan penganut sekta-sekta ini, yang
dipelopori oleh para Rsi-Rsi mereka.
Dari Singasari
sini dilancarkan propaganda, seolah-olah Prabhu Dandang Gendis tidak
memperhatikan para Mpu dan para Rsi. Padahal yang tidak diperhatikan oleh
beliau adalah Rsi-Rsi dan Mpu-Mpu diluar sekta Siwa. Nampaknya propaganda ini termakan oleh
masyarakat, sehingga banyak sekali masyarakat tidak senang dengan Prabhu
Dangdang Gendis, terutama dari kalangan Mpu dan Rsi. Kesempatan inilah yang dipergunakan oleh
kerajaan Singasari untuk menggempur kerajaan Kediri. Karena merasa terdesak akhirnya, Prabhu
Dangdang Gendis segera memusatkan pikirannya, menggelar rahasia batin, segera
moksa, menuju Siwa Loka.
Sedangkan
leluhur-leluhur beliau adalah Prabhu Jaya Baya, yang namanya tetap harum sampai
sekarang. Salah satu karyanya adalah
ramalam beliau yang sangat terkenal sampai saat ini. Sedangkan Prabhu Erlangga tentulah tidak asing lagi bagi
kita semua. Sedangkan Sri Kameswara, beliau ini memang tidak banyak catatan
sejarah yang ada. Sedangkan Sri
Darmawangsa. Beliau seorang raja yang sangat cerdas dan bercita-cita tinggi. beliau juga seorang sastrawan. Bahkan setiap sastrawan waktu itu semua
memuji-muji keberadaan beliau, sehingga selalu disebutkan dalam setiap hasil
satra waktu itu.
Kembali
diceritakan, Sira Arya Gajah Para Bretara Sira Arya Getas. Pulau Bali bagi beliau
sebenarnya sudah tidak terlalu asing bagi beliau, karena dari kecil sebenarnya
beliau sudah sering dating ke Bali di ajak oleh ayah beliau. Seperti yang tercantum dalam prasasti pura penataran
Tianyar Arya Gajah Para di banjar Gegelang Kelod Kawuh, Desa Gegelang Manggis
Karangasem. Dalam prasasti ini, jelas tertulis disana
bahwa, Ida Dalem Maduwe Gama sering datang ke Bali. Selanjutnya dikatakan,
beliau berputra 2 orang. Yang pertama bernama “I Patih Gajah dan adiknya
bernama I Tangkas Para”. Kalau melihat angka tahun dan jamannya, maka Ida Dalem
Maduwe Gama, dapat penulis simpulkan adalah Ida Dalem Maneneng. Karena pada jaman
itu, hanya beliau yang memakai gelar Dalem. Apalagi selanjutnya dikatakan,
beliau berputra 2 orang laki-laki seperti diatas. Dan kedua putra beliau itu,
dapat penulis simpulkan tentulah Sira Arya Gajah Para dan adiknya Bretara Sira
Arya Getas.
Maka itu,
tidak heranlah, ketika Mahapatih Gajah Mada mengadakan penyelidikan ke Bali,
pembantu utama beliau adalah Sira Arya Gajah Para dan Sira Arya Getas. Dengan pertimbangan yang jelas. Karena Sira
Arya Gajah Para dan Sira Arya Getas dianggap sangat tahu keadaan pulau Bali saat itu. Rasanya tidak mungkin
Mahapatih Gajah Mada mengajak orang yang tidak tahu teritorial. Untuk itulah, akhirnya
kedua arya itu kedarma putra, atau diangkat
sebagai anak angkat oleh Maha Patih
Gajah Mada.
Maka itu
tidak mengherankan ketika Pasukan Majapahit menyerang Pulau Bali, Sira Arya
Gajah Para dan Sira Arya Gertas tidak pernah jauh dari keberadaan Mahapatih
Gajah Mada. Sekarang ini mungkin disebut
Pasukan Pengamanan (Paspam). Hal inilah
yang menyebabkan Sira Arya Gajah Para dan Bretara Sira Arya Getas, kurang dikenal namanya, karena peran beliau
yang mengharuskan untuk tidak boleh dikenal.
Seperti pada umumnya, ciri khas orang-orang yang bertugas di pasukan
pengamanan, misalnya sebagai pasukan pengamanan Presiden (Paspampres). Biasanya kurang terkenal, bahkan tidak
dikenal oleh masyarakat luas, tidak banyak bicara, teliti, cerdas, mewaspadai
setiap tindakan orang, dan kurang materi. Begitu juga halnya Sira Arya Gajah
Para Bretara Sira Arya Getas. Hampir
didalam setiap tulisan sejarah nama beliau tidak pernah tercatat, yang tercatat
tentulah Maha Patih Gajah Mada.
Begitu
juga halnya, ketika pasukan Majapahit dihadang oleh pasukan Bali yang dipimpin
langsung oleh raja Bali pada waktu itu,
yang terkenal sangat sakti, maka Mahapatih Gajah Mada memerintahkan kepada kedua Arya ini untuk menjemput Guru
beliau di Majapahit. Dan tanpa pikir panjang, kedua Arya ini segera berangkat dan mengantarkan Sri Mpu
Soma Kepakisan untuk datang ke Bali untuk menghadapi ilmu niskala yang diterapkan
oleh pasukan Bali. Di Dalam kekawin
Gajah Mada, jelas dikatakan Sri Mpu Soma Kepakisan ketika pergi ke Bali, dikawal
oleh Sira Arya Gajah Para dan Sira Arya Gajah Para Kalih (maksudnya Sira Arya Getas)
III. PENYERANGAN KE BALI
Kembali
diceritakan ketika Raja Putri Tri Bhuana
Tunggadewi, memerintahkan Maha Patih Gajah Mada untuk menggempur pulau Bali,
dalam rangka mewujudkan sumpah Palapanya. Penyerangan terhadap Bali Dwipa ini
sebenarnya merupakan taruhan Maha Patih Gajah Mada, apakah sumpah Palapanya
akan berhasil atau tidak. Maka itu
persiapan perang ini dilakukan dengan sangat
rapi disertai dengan pasukan yang
sangat kuat dan besar.
Pulau Bali
ketika itu, diperintah oleh Sri Aji
Tapeulung yang sangat terkenal, dan sering disebut Raja Beda Muka/Beda Hulu. Raja Beda
Muka merupakan raja yang sangat pandai
dan sangat sakti, apalagi beliau juga di bantu oleh para patih yang sangat
sakti-sakti dan kebal akan senjata.
Misalnya (1) Ki Pasung Grigis yang berdiam di Tengkulak, (2)
Ki Kebo Iwa yang juga bergelar Ki Kebo Taruna, berdiam di Blahbatuh. (3) Demung Ki
Gudug Basur dan Tumenggung Ki
Kalagemet magenah ring Bate Anyar, (4) Maha Patih Girimaya
yang bergelar Ki Ularan berdiam di Patemon Buleleng, (5) Ki
Tunjung Tutur berdiam di Tianyar, (6) Ki Tunjung Biru berdiam
di Tenganan, (7) Ki Buan berdiam di batur, (8) Ki
Tambiyak Berdiam di Jimbaran, (9) Ki Kopang berdiam di Seraya
Karangasem, (10) Ki Kalung
Singkal berdiam di taro. Para Mahapatih inilah yang sangat di andalkan oleh
raja Beda Muka untuk mempertahankan pulau Bali. Maka itu, Ketika Maha Patih
Gajah Mada ingin menaklukkan Pulau Bali, beliau sangat berhati-hati.
Pertama-tama
kriyan patih Gajah Mada, memanggil Arya Damar, atas titah dari Maha Raja Pulau
Jawa, untuk melaksanakan empat daya upaya, menyerang kerajaan Bali. Setelah
siap segala perbekalan dan kendaraan, segeralah beliau berangkat yang diikuti
oleh para Arya semua. Para perwira dan
menteri berkelompok-kelompok menaiki perahu, diiringi oleh para prajurit beliau,
sehingga tepi laut Bali dikelilingi oleh para
tantara Jawa (musuh). Para Arya itu di bagi-bagi oleh Kryan Patih Madha,
utara, timur, barat dan selatan, semuanya penuh, penuh sesak di pantai laut,
dengan masing-masing menempati posisinya, lalu ditambatkannya perahu.
Seperti yang
tercantum dalam prasasti Sira Arya Gajah Para Bretara Sira Arya Getas, Maha
Patih Gajah Mada ketika menyerang pulau bali di dampingi oleh 9 arya pilih
tanding, yaitu (1) Arya Kepakisan,
(2) Arya Wangbang, (3) Arya Damar, (4) Arya
Dalancang, (5) Arya Belog,
(6) Arya Kanuruhan, (7) Arya Kuta Waringin (8) Arya Gajah Para, (9)
Arya Getas). Beliau Arya Damar bertindak sebagai kepala penasehat
pasukan tinggi tersebut.
Adapun Arya
Gajah Para beserta saudara beliau Sira Arya Getas, diikuti oleh Jahaweddhya,
para Gusti dari Majapahit, seperti tiga patih bersaudara, yang bernama Tan
Kawur, Tan Mundur dan Tan Kober. Beliau tiga bersaudara menambatkan perahu
layarnya di Pelabuhan Tejakula, yang menyerang dari barat Toya Anyar. Sedangkan
Mahapatih Gajah Mada sendiri memimpin dari markasnya di hutan pegunungan yaitu
antara gunung Watukaru, danau Beratan dan gunung Tuluk Biyu Batur.
Desa-desa
menjadi kacau balau, semuanya yang ada di kerajaan Bali, peperangan itu sangat
ramai, saling parang memarang, keadaan sangat kacau balau, banyak rakyat yang
tewas, dan menderita, karena keperkasaan serangan dari pulau Jawa. Berhubung
cerita peperangan ini amat panjang, maka tidak akan diceritakan dalam tulisan
ini.
Seperti
sudah disinggung diatas, Sira Arya Gajah Para dan Sira Arya Getas ternyata
beliau mengajak 3 orang wesya (ekonom)
yang bernama (1) Tan Kaur, (2) Tan Kobar, (3) Tan Mundur. Maka itu, menjadi tanggung jawab moral, bagi
setiap keturunan Sira Arya Gajah Para Bretara Sira Arya Getas untuk
mengumpulkan kembali keturunan beliau bertiga ini.
Dari
beberapa sumber yang penulis pernah baca, keturunan dari Tan Kobar, pernah
mengabdi di kerajan Mengwi dan gugur ketika menghadapi pemberontakan ki Balian
Batur. Sedangkan Tan Kaur pernah
mengabdi di desa Mas sebagai bendesa.
Sedangkan keturunan yang lain bermukim di Karangasem.
IV.
SETELAH
PENAKLUKKAN BALI
Sementara
setelah gugurnya raja bali, Maharaja Beda Muka, para Arya majapahit itu, semuanya
kembali ke Jawa menuju kerajaan Majapahit, sehingga keadaan pulau bali menjadi
sangat sunyi senyap, karena belum ada yang memimpin pulau Bali ketika itu.
Setelah sekian lama terjadinya kepakuman kepemimpinan di bali, datanglah Sri Aji
Kresna Kepakisan, yang dinobatkan menjadi raja di pulau Bali. Kedatangan beliau
ke Bali diikuti oleh para 7 arya, yaitu (1) Arya Kepakisan, (2) Arya Wangbang, (3) Arya Kenceng, (4) Arya Dalancang, (5) Arya Belog, (6) Arya Kanuruhan, (7) Arya Kuta Waringin. Beliau
Arya Kuta Waringan bertindak sebagai kepala penasehat pasukan tinggi
tersebut.
Setelah Sri Kresna Kepakisan dinobatkan menjadi raja di
pulau Bali, orang-orang Bali tidak sepenuhnya mau tunduk dan hormat kepada beliau.
Terutama orang-orang Bali yang berada di utara gunung Agung, karena belum ada
atau tidak ada pemimpin yang disegani datang ke sana.
Berdasarkan
nasehat beberapa arya, Sri Kresna kepakisan akhirnya datang ke Jawa untuk
melaporkan hal ini kepada penguasa di Majapahit, agar beliau mau mengutus
seorang yang dapat menentramkan rakyat Bali ini. Akhirnya diambil keputusan
Bahwa ditunjuklah anak Arya Wayahan Dalem Maneneng yang bernama Sira Arya Gajah
Para dan Sira Arya Getas untuk mengemban tugas ini, karena beliau berdua inilah yang menaklukkan daerah
ini pada saat penyerangan pulau Bali dahulu.
Kemudian Sira
Arya Gajah Para dan Sira Arya Getas di desak oleh Raja, dan diperintahkan
langsung oleh Maha Patih Gajah Mada, agar mau sebagai patih Sang Raja di Bali.
Beliau akhirnya menurut, karena ingat
dengan kewajiban sebagai seorang anak. Seorang anak sangat tidak pantas melawan
perintah orang tua, apalagi itu menyangkut Negara. “Demikianlah
memang motto kepemimpinan Arya Wayahan Dalem Maneneng, tetap melaksanakan
keperwiraan utama dan keadilan”.
Akhirnya
kedua arya itu diberikan isteri yang berasal dari keluarga seorang Arya. Kedua
Arya ini akhirnya di ajarkan tentang kewajiban dan tingkah laku seorang
kesatria oleh ayah beliau. Sehingga keduanya diharapkan mampu melaksanakan
cita-cita dan kewajiban sebagai seorang kesatria (pemberani). Selanjutnya Sira Arya Gajah Para, dan
adik beliau bernama Sira
Arya Getas menyembah dan mohon pamit, berdiri dan segera berangkat ke Pulau Bali.
Segera setelah
sampai di laut, segera beliau naik ke perahu, perahu berlayar semilir dengan
tenangnya. Setelah beberapa lama
melewati pertengahan laut, berlabuhlah mereka di Polaki. Untuk sementara
waktu, beliau menumpang di rumah teman
lama beliau yang bernama I Gusti Bendesa
Polaki, yang merupakan keturunan dari Bendesa Mas. Sangat senang hati I Gusti
Bendesa, tulus hatinya dan sangat ramah tamah sambutannya, hormat terhadap
kedua arya tersebut, seperti berbunga-bunga hati sang tuan rumah, lengkap
dengan jamuan penyambutan I Gusti Bendesa Polaki dan disana Sira Arya Gajah
Para dan Sira Arya Getas menginap dua malam
Setelah
bermalam selama 2 hari disini, pada pagi
berikutnya kedua Arya tersebut, diantar
oleh I Gusti Bendesa untuk menghadap Sri Maharaja, yang beristana di
Samprangan. Kisah perjalanan beliau tidak diceritakan lagi. Setelah tiba di
istana raja, beliau langsung mendekat dan menghadap pada baginda raja. Tidak lama kemudian, kedua Arya tersebut dipandang secara seksama
oleh sang raja.
Dengan
sopan dan tulus, Sira Arya Gajah Para dan Sira Arya Getas mengaturkan sembah,
demikian pula I Gusti Bendesa. Sikap kedua Arya ini menimbulkan Kekaguman bagi
setiap orang yang berada di tempat pertemuan (penghadapan), karena tingkah laku
kedua arya tersebut, betul-betul mencerminkan tingkah laku seorang ksatria
mahottama, seperti yang tertulis dalam kitab “nawa natya”. Sang Maha Raja
akhirnya memberikan titah dan petunjuk terhadap kedua Arya tersebut.
Kedua
Arya ini akhirnya dinobatkan menjadi patih dan bertempat di desa Sukengeneb
Toya Anyar, sebelah utara gunung Toh Langkir. Diangkatnya Sira Arya gajah Para
Sira Arya Getas di sana, dengan pertimbangan karena waktu kerajaan Majapahit menyerang Raja Bheda Muka di bawah pimpinan Maha Patih
Gajah Mada, kedua Arya inilah yang menaklukkan desa-desa ini.
Maka itu,
menjadi patuhlah kedua Arya itu, dengan segera menutup penghadapan Raja.
Setelah itu, semuanya mohon pamit kepada Sang Maha Raja, dan permohonannya di
kabulkan.
Setelah
itu Sira Arya Gajah Para Sira Arya Getas, menuju ke daerah utara pulau Bali,
diiringkan oleh rakyat sebanyak 50 orang menuju Sukangeneb, Toya Anar, sebelah utara gunung
Tungtung. Di sana Beliau membuat rumah,
berkedudukan sebagai penguasa masyarakat yang dihormati.
Adapun luas daerahnya adalah,
ketimur sampai di Garbawana (basang alas), ke selatan sampai di Got, ke barat
sampai di Ponjok Batu. Demikianlah kedudukan beliau ketika berkuasa di Sukangeneb Toya Anar, yang di mulai pada tahun 1270 Wara Merakih bulan mati
ke 13.
V.
KETURUNAN SIRA ARYA GAJAH PARA
SIRA ARYA GETAS
Entah berapa
lama Sira Arya Gajah Para menetap di sana, akhirnya punya empat orang putra : yang tertua adalah perempuan, bernama (1) I Gusti Ayu Raras, (2) I Gusti
Ngurah Tyanar, (3) I Gusti Sukangeneb,
(4) Ni Gusti Ayu Tirtha. I Gusti Ayu
Raras, selanjutnya dijadikan istri oleh Sri Aji Kresna Kepakisan, yang
selanjutnya menurunkan santana trah Dalem di Bali. Sedangkan I Gusti Sukangeneb,
kesah ke Pegametan.
Berhubung I
Gusti Ngurah Tianyar merupakan anak tertua, maka beliaulah yang dinobatkan
menggantikan Ayahnya. I Gusti Ngurah Tianyar
menyunting I Gusti Luh Getas,
putranya Arya Getas yang masih ada hubungan keluarga yaitu masih
sepupunya.Dari perkawinannya ini, Beliau mempunyai anak laki laki. Tetapi
Beliau mengambil istri lagi, yang
bernama Ni Dyah Lor. Ni Dyah Lor ini adalah putri Kyayi Ngurah Candhi keturunan
Kuta Wandira.
Dari
perkawinannya dengan Ni Dyah Lor ini, Beliau mempunyai tiga orang anak. Yang tertua perempuan
bernama (1) Ni Gusti luh Tyanar, adiknya
(2) I Gusti Ngurah Tyanar, dan yang terkecil (3) I Gusti Ngurah Kaler.
Ketiganya merupakan cucu Sira Arya Gajah Para. Adapun yang perempuan Ni
Gusti Luh Tyanar, diambil oleh Pedanda Sakti Manuaba, Beliau sebenarnya
sudah menjanda tiga kali. Pertama kali
Beliau disunting oleh anaknya I Gusti
Kekeran, yang masih saudara sepupu.
Sedangkan I Gusti Ngurah Tianyar selanjutnya menggantikan ayahandanya, sesudah mempersunting I Gusti Diah Wwesukla. Sedangkan
I Gusti Ngurah Kaler, tetap berada di Tianyar sebagai orang biasa.
Karena sesuatu
dan lain hal, dua bersaudara ini
berkrelahi sampai keduanya gugur di medan laga. Istrinya I Gusti Ngurah Tianyar selanjutnya membawa
anak-anaknya yang masih kecil ke Swecapura Gelgel. Sedangkan Istrinya I Gusti
Ngurah Kaler yang sedang hamil tua, pergi ke Tangguwesia, Singaraja.
Maka itu,
sebagai Pratisantana Sira Arya Gajah Para, penulis sangat hormat dengan beliau
berdua ini. Penulis tidak bisa membayangkan, kalau saja beliau berdua ini berpikir
pendek waktu itu, mungkin saja kita semua sebagai keturunan Sira Arya Gajah
Para tidak ada di dunia ini.
VI.
KESIMPULAN
Dari
uraian diatas, maka penulis dapat
membuat semacam kesimpulan kecil tentang Ida Bhatara Lalangit Sira Arya Gajah
Para dan Bretara Sira Arya Getas, yaitu
A.
Ketika Maha Patih Gajah Mada menyerang pulau Bali,
beliau mengajak sembilan (9) Arya pilih tanding dan tiga (3) Wesya.
B.
Sira Arya Gajah Para dan Sira Arya Getas merupakan
keturunan satria Kediri yang ikut serta dalam penyerangan terhadap pulau Bali yang dipimpin langsung
oleh Mahapatih Gajah Mada
C.
Sira Arya Gajah Para Bretara Sira Arya Getas juga
membawa tiga orang Wesya ke Bali (Tan Kaur, Tan Kobar, Tan Mundur).
D.
Setelah Bali dapat dikalahkan, semua Arya yang ikut
menyerang pulau Bali, kembali lagi ke Jawa, yang menyebabkan pulau Bali menjadi
sepi (tanpa pemerintahan)
E.
Untuk mengisi kekosongan pemerintahan, Akhirnya diutus
Sri Kresna Kepakisan untuk menjadi raja di Bali yang diiringi oleh tujuh (7)
Arya. Sedangkan Sira Arya Gajah Para dan Sira Arya Getas tidak ikut serta dalam
rombongan ini.
F.
Sira Arya Gajah Para dan Sira Arya Getas, baru datang
lagi ke Bali ketika Sri Kresna Kepakisan
yang menjadi Raja di Bali dengan keraton
beliau di Samprangan, tidak bisa mengatasai pemberontakan di beberapa desa. Mereka tidak mau tunduk dengan penguasa baru,
terutama desa yang ada disebelah utara gunung Tungtung. Maka diperintahkanlah Sira
Arya Gajah Para dan Sira Arya Getas oleh Maha Patih Gajah Mada untuk menjadi
penguasa di sana dengan kedudukan beliau di Tianyar.
G.
Pada generasi ke tiga, terjadi perang saudara antara I
Gusti Ngurah Kaler dengan I Gusti Ngurah Tianyar, karena perselisihan tentang
tata cara upacara atiwa-tiwa (pengabenan) Sira Arya Gajah Para (kakek beliau).
H.
Sebagai keturunan Sira Arya Gajah Para, hendaknya
memberikan apresiasi lebih kepada Istrinya I Gusti Ngurah Tianyar yang bernama
Diah Wwesukla dan istrinya I Gusti Ngurah Kaler, yang sedang mengandung waktu
itu. Karena berkat ketabahan hati beliau
berdua keturunan Sira Arya Gajah Para masih ada sekarang ini
I.
Salah satu pratisentana Sira Arya Gajah Para yang
bernama I Gusti Ngurah Polaki, berubah
secara gaib menjadi macan gading lalu
menjadi pengikut bhatara pura Melanting di Pulaki.
J.
Keturunan I Gusti Arya Getas ada yang menetap di pulau
Lombok, karena titah Raja Gelgel waktu itu.
K.
Pada generasi ke empat, sentana Sira Arya Getas, ada
yang memeluk agama Islam, dan menurunkan trah Lalu di Lombok.
L.
Pura Candi Gora, yang belokasi di tepi pantai desa
Tianyar, merupakan pura yang di buat oleh Sira Arya Gajah Para dan Sira Arya
Getas, ketika beliau pertama kali datang di Bali, untuk menyembah leluhur
beliau di Jawa waktu itu, dan belakangan juga dipakai sebagai tempat madewa
saksi untuk kesetiaan warga Bali Age terhadap pemerintahan Dalem.
M.
Pura Sukengeneb, yang berlokasi di lereng Gunung Agung
bagian utara, dibuat oleh keturunan Sira Arya Gajah Para dan Bretara Sira Arya
Getas, untuk menyembah leluhurnya yang ada di Bali.
N.
Sebagai pratisantana Sira Arya Gajah Para dan Bretara
Sira Arya Getas, seharusnya merasa bertanggung jawab secara moral, terhadap
keturunan tiga wesya yang mengiringi Sira Arya Gajah Para dan Sira Arya Getas,
yaitu Tan Kobar, Tan Kaur dan Tan Mundur.
O.
Sedangkan salah satu meru tumpang 9 (sembilan), yang ada
di lokasi pura Batu Madeg Besakih, yang oleh pemangku di sana dikatakan kepunyaan Sira Arya Gajah Para dan Sira Arya
Getas, hendaknya perlu mendapat kajian dan perhatian dari semeton Sira Aya
Gajah Para Bretara Sira Arya Getas.
Adapun Naskah
ini disusun atas dasar sumber yang sangat terbatas, baik buku sejarah,
prasasti, babad, lontar, maupun pendapat tokoh dan Penglingsir Sira Arya Gajah
Para Bretara Sira Arya Getas, terutama tentang keberadaan dan peranan Sira Arya
Gajah Para dan Bretara Sira Arya Getas, dalam rangka mewujudkan Sumpah Palapa
Gajah Mada. Tetapi didalam penyusunan tulisan ini, ada 2 naskah yang penulis
pakai pedoman pokok, yaitu Babab Sira Arya Gajah Para dan Bretara Sira Arya
Getas yang diterbitkan oleh Keluarga Besar Arya Gajah Para dan Arya Getas.
Sedangkan yang kedua Babad Sira Arya Gajah Para dan Arya Getas yang
penulis dapatkan di Pusat Dokumentasi Propinsi Bali. Sedangkan naskah lainnya penulis ketemukan
terpenggal-penggal, misalnya, di Desa Bajing, Desa Angantelu, Desa Gegelang,
Desa Pangi, sehingga perlu disusun dan ditafsirkan secara cermat menjadi suatu
naskah yang bermakna, sehingga jauh dari unsur Mitos dan Dongeng dan meniadakan
rekayasa yang bisa menyesatkan, sehingga dapat diyakini dan diterima oleh
pembaca.
Naskah ini
tentulah sangat tidak sempurna, maka itu kritik dan saran sangat penulis
harapkan untuk perbaikan selanjutnya.
Om,
Santi, Santi, Santi Om.
(dikumpulkan
oleh Ir. Putu Januar Ardhana. Ketua
Pemangku Pasemetonan Sira Arya Gajah Para Bretara Sira Arya Getas Indonesia)
Silsillah/Pelelintih
Sira Arya Gajah Para
Sri
Maha Raja Manu
Saka
602
![]() |
Sri
Maha Raja Jaya Langit
![]() |
Sri
Werdi Kandayun
![]() |
Sri
Kameswara Para Dewa Sikan
![]() |
Sri
Darmawangsa
Teguh
Ananta Wikrama Tungga Dewa
Saka
895
![]() |
Sri
Kameswara
![]() |
|||
![]() |
Sri Ketha
Darma Sri Erlangga Sri Tunggal Ametung
![]() |
|||
![]() |
Ratu Kili Suci Sri Jaya Bhaya Sri Jaya Sabha Arya Juru
(Arya Tutuan)
![]() |
Sri Jaya Bhaya
Sri Jaya Bhaya
![]() |
|||
![]() |
Prabu Dangdang Gendis Sri Siwa Wandira Sri Jaya
Kusuma
![]() |
![]() |
![]() |
Sri Jaya Katong Sri
Jaya Waringin Sri Wira Kusuma

Sri
Jaya Katha
![]() |
Sri
Wayahan
Dalem
Maneneng Arya Katanggaran Arya
Nudatha
![]() |
|||
![]() |
Sira
Arya Gajah Para Sira
Arya Getas
![]() |
|||
![]() |
I
Gst. Ayu Raras I Gst. Ngr.
Sukengeneb I
Gst. Ngr. Tianyar I Gst. Ayu Tirta
Untuk pedarman arya gajah para sendiri ring pura besakih pura batu madeg nggih ?
BalasHapus