Selasa, 26 November 2002


SELAYANG PANDANG
SEJARAH BANJAR BATUR SARI


TAMPAK DEPAN BANJAR


OLEH
IR. PUTU JANUAR ARDHANA
KEPALA DUSUN BATUR SARI

DESA KESIMAN KERTALANGU
KOTAMADYA DENPASAR
PROVINSI BALI
2012
Selayang Pandang Banjar Batur Sari
Om Awighnamastu Nama Sidem
-----------------------------------------


I.              Pendahuluan
Sejarah terbentuknya Banjar Batur Sari tidak bisa dilepaskan dari peran Bapak  “Made Rampug”. Kalau tidak karena gagasan beliau mungkin saja Banjar Batur Sari tidak akan pernah ada seperti sekarang ini. Penulis Ir. Putu Januar Ardhana adalah merupakan saksi yang tahu persis mulai dari gagasan awal pembentukan sampai diakuinya banjar Batur Sari sebagai banjar adat  di Desa Kesiman dan Banjar Dinas di lingkungan Desa Kesiman Kertalangu. Sejarah ini akan penulis mulai dari awal sekali. 

Pada suatu pagi, tepatnya pukul 7.30 pagi. Penulis sedang menyapu di halaman muka, tiba-tiba datang Bapak Made Rampug menghampiri penulis.  Beliau mengutarakan niatnya untuk membentuk banjar baru di sini.

Alasan beliau untuk membentuk banjar ini sangat sederhana, karena beliau tidak mebanjar di desa asal beliau.  Beliau sendiri berasal dari Banjar Taensiat Denpasar. Untuk itulah beliau sangat berkeinginan membentuk banjar baru di sini. 

Penulis sendiri sebenarnya baru setahun menempati rumah penulis di sini, sehingga penulis tidak atau belum mengenal semua tetangga di sini.  Hanya beberapa orang yang penulis kenal, termasuk Bapak Made Rampug ini.  Beliau adalah seorang tukang jahit, yang rumahnya berhadapan langsung dengan rumah penulis, sehingga hampir setiap saat penulis bisa ketemu dan bercakap-cakap.

Orangnya sangat keras, bicara seperlunya, semangatnya menggebu-gebu, berbeda sekali dengan istri beliau yang sangat kalem dan jarang bicara. Umurnya Bapak Made Rampug kira-kira waktu itu sekitar 50 tahun, dengan 4 orang anak (3 laki-laki dan satu perempuan). 
Bapak I Made Rampug

Ketika pertama sekali beliau menyampaikan keinginannya itu, penulis agak ragu untuk menanggapinya apalagi menerimanya.  Keraguan penulis disebabkan karena beberapa alasan, misalnya jumlah penduduk disini masih sangat sedikit, kira-kira 15 orang. Kedua, biasanya mereka semua sudah mebanjar adat di masing-masing asalnya.  Misalnya sepertti penulis, yang sudah mebanjar adat di Klungkung.

Tetapi nampaknya, Bapak Made Rampug tidak pernah putus asa untuk mewujudkan keinginannya membuat banjar ini. Setelah penulis didatangi berkali-kali oleh Bapak Made Rampug, akhirnya penulis seperti tergerak untuk memikirkan kembali idea ini. Maka itulah penulis mengkaji dengan hati-hati idea ini. Setelah agak lama penulis mengkaji idea ini, nampaknya pemikiran Bapak Made Rampug ini ada benarnya.  Terutama di masa akan datang. Apalagi kasus-kasus adat banyak terjadi terhadap orang-orang yang jarang pulang kampung karena susuatu dan lain hal. 

Maka itu, salah satu jalan pemecahannya adalah menjadi warga adat disini, apalagi seperti penulis yang sudah mempunyai tanah dan rumah di sini. Maka itu, ketika sekali lagi beliau menyampaikan keinginan itu, penulis  katakan, penulis  sangat berekeinginan untuk membuat banjar di sini, karena alasan-alasan seperti di atas tadi.  Apalagi  desa penulis cukup jauh dari Denpasar sini. Penulis  sendiri berasal dari Banjar Banda, Desa Takmung, Kabupaten Klungkung. Maka itu, sekali lagi penulis  katakan sama beliau, penulis sangat berkeinginan untuk membentuk banjar baru di sini agar dapat mempermudah proses administrasi.

Maka itu, tawaran  Bapak Made Rampug, untuk membuat banjar segera  penulis terima dengan senang hati dan suka cita.

Nampaknya  Idea pembentukan Banjar ini seperti gayung bersambut, karena tanpa dinyana tawaran datang dari Bapak Kepala Desa Kesiman Kertalangu, yang ketika itu di jabat oleh Bapak Wayan Tunas. Beliau mengatakan kepada penulis, sebaiknya di sana didirikan  banjar baru. Alasan beliau,  karena dulunya di wilayah Batur sekarang memang ada banjar di sana. Tetapi karena sesuatu dan lain hal, banjar ini hilang.  Maka itu, beliau selanjutnya mengatakan, kalau di sana mau dijadikan banjar kembali, beliau meyakinkan penulis, nantinya pasti akan di bantu oleh pendahulu-pendahulu  yang pernah tinggal di Batur yang sekarang sudah jadi hyang bhatara. 

Maka itu, kami merasa besar hati mendengar nasehat dan pengarahan Bapak Wayan Tunas selaku Kepala Desa waktu  itu. Apalagi Bapak Kepala Desa ketika itu mengatakan, beliau akan memohon kepada pemerintah agar  mencabut  jalur hijau di sini. Keyakinan beliau itu berdasarkan adanya satu rumah tua/kuno yang masih tersisa di sini.  Rumah ini persisnya terletak kira-kira 100 meter dari jalan By Pass I Gusti Ngurah Rai.  Adanya rumah tua ini menandakan di sini pernah ada banjar katanya.  Terus terang, penulis sendiri belum pernah melihat rumah ini. 

Maka itu, akhirnya kami rame-rame melihat rumah itu dan benar adanya.  Rumah ini kelihatannya seperti rumah-rumah yang ada di Bali pada umumnya.  Tetapi yang tersisa adalah sanggah merajan, dapur dan penunggun karang.  Di areal yang lainnya nampaknya sudah dikontrakkan kepada orang Jawa yang kebanyakan berprofesi sebagai pemulung.  Adapun pemulung yang pertama mengontrak tanah ini namanya Bapak Tumi.

Sedangkan rumah ini ternyata dihuni oleh seorang nenek   tua yang bernama I Made Sukerti yang dikelilingi oleh para pengontrak yang semuanya teman-teman dari jawa dan lombok.  Keadaan beliau betul-betul memprihatinkan, padahal nenek ini adalah sebagai pemilik tanah ini.  Luas tanahnya kira-kira 50 are. 

Menurut orang-orang yang tinggal disini, nampaknya nenek ini hampir tidak pernah ada yang menghiraukan.  Dari pengamatan penulis, nenek ini betul-betul berjuang sendiri untuk mempertahankan hidupnya. Menurut para pengontrak di sini yang rata-rata sebagai pemulung,  saudara nenek ini katanya tinggal di Desa sebelah, tepatnya di banjar Kebon Kori. 

Kantor Kepala Desa
Kesiman Kertalangu

Setelah mendapat dorongan dari Bapak Kepala Desa, langkah pertama yang penulis lakukan dalam rangka   mewujudkan berdirinya banjar ini adalah,  membentuk panitia kecil. Tugas pertama panitia kecil ini adalah mencari orang-orang yang akan  diajak untuk mendirikan banjar.  Sebab setahu penulis, orang-orang yang lebih dahulu tinggal disini, nampaknya semuanya sudah mebanjar di tempat lain.  Ada yang mebanjar di Banjar Kesambi, ada yang mebanjar di Banjar Kertapura, ada yang membanjar di Banjar Kertalangu.

Maka itu, penulis,  sebenarnya agak ragu ketika akan memulai langkah ini. Tetapi karena kuatnya desakan Bapak Made Rampug dan Bapak Tunas Sebagai Kepala Desa, maka penulis putuskan untuk melangkah, apapun resikonya akan penulis terima dengan senang hati.

Yang pertama kami hubungi adalah Bapak Ketut Beratha. Kenapa beliau kami hubungi pertama?, karena nama beliaulah yang pertama kami kenal disini. Tetapi sayang beliau tidak mau, karena beliau mengatakan beliau sudah mebanjar, di banjar Kertapura.

Orang kedua yang kami hubungi adalah Anak Agung Mudita, yang tinggal di timur pangkung banjar Kesambi. Kenapa juga beliau kami hubungi, karena kami tahu beliau adalah orang asli dari Kesiman,  yaitu dari Puri Kedaton.

Penulis juga mendengar dari warga di sini, beliaulah yang memperlebar jalan ini, yang dulunya hanya selebar 3 meter. Bahkan beliau sempat memberi nama jalan ini,  dengan nama jalan matahari.

Beliaupun juga tidak mau ikut bergabung. Karena Beliau mengatakan sudah mebanjar di banjar Kedaton, bahkan beliau mengatakan tempat tinggal beliau di sini hanya sementara.

Orang  ketiga yang penulis hubungi adalah Bapak I Made Sumerata, ternyata beliau sangat antosias memberi dukungan. Bapak Made Sumerata ini sering kami panggil  “Bapak Made Beleleng”, karena beliau berasal dari Buleleng. Selanjutnya Anak Agung Raka, setelah itu baru yang lain-lainnya.

Tetapi seperti yang penulis  katakan di muka, sebagian besar mereka sudah mebanjar di tempat lain. Maka itu, untuk sementara rencana ini tidak bisa kami lanjutkan, karena salah satu syarat-syarat untuk terbentuknya sebuah banjar belum terpenuhi. Yaitu jumlah anggota minimal sebagai pendukung terbentuknya sebuah banjar.


Bapak I Made Sumerata

Adapun syarat-syarat untuk terbentuknya sebuah banjar adalah, seperti dikatakan Bapak Kepala Desa Kesiman Kertalangu, ketika Kami menghadap beliau.  Untuk dapat terbentuknya sebuah banjar   ada 3 hal yang harus ada, yaitu, jumlah warga minimal 40 kepala keluarga, mempunyai tanah balai banjar dan bangunan balai banjar, dan mempunyai awig-awig banjar.

Syarat kedua dan ketiga dengan cepat bisa  terpenuhi.  Untuk tanah balai banjar panitia  meminjam tanah kepunyaan Dr. Leimena. Yang ada di sebelah utara balai banjar sekarang. Luasnya kurang lebih 10 Ara.  Sedangkan awig-awig, segera  bisa dibuat oleh panitia kecil. Tetapi untuk syarat yang pertama ini yang tidak bisa  dipenuhi segera, karena yang menyatakan dukungannya waktu itu hanya sekitar 17 orang.   Maka itu, untuk sementara proses pembentukan banjar ini terpaksa ditunda untuk sementara, sambil mencari dukungan dari teman-teman yang lain.

Dalam kebingungan panitia, ternyata teman-teman yang sudah mebanjar di tempat lain, dengan berbagai alasan mengatakan akan bergabung di sini. Bahkan Bapak I Ketut Berata, mengatakan beliau sudah mengundurkan diri di Banjar Kertapura.  Begitu juga Bapak Wayan Korma dan Bapak Wayan Sukra juga mengatakan sudah mengundurkan diri di banjar Kesambi.

Dengan bergabungnya teman-teman ini,  panitia seperti mendapatkan berkah dari atas. Dengan masuknya Bapak Ketut Berata dalam panitia kecil  ini, panitia kecil ini seperti mendapat semangat baru.

Langkah  selanjutnya,  segera mengumpulkan anggota, tetapi tetap saja kekurangan, karena teman-teman ini hanya berjumlah 27 orang. Tetapi Bapak Ketut Berata ternyata mempunyai siasat lain waktu itu, yaitu dengan memasukkan teman-teman yang mempunyai tanah walaupun belum berisi rumah, juga memasukkan teman-teman yang berstatus mengontrak  tanah sebagai anggota banjar, seperti misalnya Bapak Wayan Sendra (Pak Ubud).  Maka itu, barulah akhirnya anggota ini berjumlah 54 orang.

Dari pengamatan penulis, dari 54 orang itu, semua wangsa sudah ada disini, yaitu Warga Pasek, Warga Pande, Warga Arya/Satria, Warga Bujangga,  Warga Satria Dalem, Ini perlu penulis katakan karena memang begitu kenyataannya. Bahkan belakangan turut bergabung Ida Bagus Abian dari geria Sanur.


Bapak Drs. Ketut Berata, Sag.
Dengan terpenuhinya jumlah minimal anggota banjar, maka dengan segera  mendaftarkan banjar ini kepada Bapak Kepala Desa Kesiman Kertalangu. Dengan senang hati beliau menerima banjar ini sebagai bagian dari Desa Kesiman Kertalangu.

Dihadapan panitia, beliau berjanji akan membantu proses selanjutnya, agar banjar ini dapat diakui sebagai banjar resmi, asal syarat yang lain segera terpenuhi.

Bahkan dengan berapi-api beliau menantang kami, makin cepat terpenuhinya syarat yang lain makin baik katanya.

Maka itu, sebagai jawaban nyata terhadap tantangan Bapak Kepala Desa, langkah pertama  adalah membuat balai banjar di atas tanah yang di pinjam dari Dr Leimena.


Ketika akan membuat balai banjar ini, anggota warga lagi-lagi urunan mengeluarkan uang, sampai balai banjar darurat  berdiri. Dengan semangat yang luar biasa dari warga akhirnya bangunan ini dapat diselesaikan, betul-betul sederhana tetapi manis.

Setelah itu, barulah panitia mengajukan banjar ini ke Bapak Walikota, melalu Bapak Kepala Desa Kesiman Kertalangu yang pada waktu itu di jabat oleh  Bapak I Wayan Tunas.  Ketika panitia mengajukan, nama banjar ini. Panitia  mempunyai beberapa nama pilihan. Misalnya banjar Sari Mekar, banjar Padang Sari, banjar Jepang, banjar Balian Batur, banjar Batur Sari dan banyak lagi. 

Akhirnya mengkrucut menjadi dua nama yaitu banjar Balian Batur dan banjar Batur Sari.
 

Bapak I Wayan Tunas 


Ada alasan  yang sangat jelas, kenapa panita menimbang  dua nama  ini.  Karena kedua-duanya ada nama “Batur”.  Nama “Balian Batur” jadi pertimbangan, karena  tempat ini dulunya kami yakini merupakan tempat I Balian Batur. Itu Kami yakini, karena nama-nama tempat disekitar ini kebanyakan  seperti yang ada pada cerita I Balian Batur, misalnya ada tempat namanya Celedu Nginyah, Kubur, Rangkan, Kesambi, Sanur.

Sedangkan nama Batur Sari juga diunggulkan oleh teman-teman, karena beberapa alasan, alasan pertama karena  dari  dulu tempat ini dinamakan “Batur” oleh orang-orang  disekitar sini. 
Alasan yang kedua, kita berharap banjar batur ini nantinya bisa menjadi “sarinya” Desa Kesiman Kertalang ini. 

Maka itu akhirnya secara aklamasi nama “Batur Sari” terpilih dan disepakati untuk menjadi nama banjar ini. Nama  Balian Batur sendiri tidak dipakai karena dianggap terlalu serem karena ada nama Baliannya. Disamping itu, nama Batur toh tetap ada.  Semenjak ini,  akhirnya banjar ini resmi kami namakan Banjar Batur Sari, yang bernaung di Desa Kesiman Kertalangu. 

Sedangkan nama jalan yang melintas di Banjar ini kami namakan Jalan Sekar Sari. Ujung baratnya sampai jalan By Pass I Gusti Ngurah Rai, sedangkan ujung timurnya sampai di By Pass Ida Bagus Mantra, dengan panjang 1.670. meter.  Sedangkan yang menjadi wilayah banjar Batur Sari sesuai dengan SK Walikota Denpasar Nomor 366 Tahun 2000 Tentang Penetapan Dusun/Banjar Persiapan Menjadi Dusun/Banjar Definitip, yang panjangnya 1.150. meter dari ujung  barat yang dimulai dari Jalan By Pass I Gusti Ngurah Rai dan berakhir di pangkung kesambi.  Sedangkan balai banjar Batur Sari terletak di meter 400 dari ujung barat jalan sekar Sari.

Nama jalan ini awalnya sebenarnya bernama jalan  jepang, lalu berubah menjadi jalan padang galak, lalu berubah jadi jalan matahari, lalu dirubah menjadi jalan Sekar.  Jalan Sekar ini terpakai cukup lama.  Tetapi ketika Jalan Ida Bagus Mantra diujudkan, maka jalan Sekar terpotong menjadi dua bagian.

Agar tidak terjadi kekeliruan, maka jalan Sekar yang melintasi banjar Batur Sari oleh warga banjar Batur Sari, disepakai menjadi jalan Sekar Sari. Sedangkan yang melintasi banjar lain tetap  bernama jalan Sekar.

Setelah perangkat kerasnya sudah terwujud, maka sekarang tinggal mengisi perangkat lunaknya, seperti kelian banjar dan kelian dinas serta perangkat-perangkat yang lainnya seperti sekretaris, bendahara, dan kelian tempek serta yang lainnya.

Ketika akan memilih kelian banjar adat dan kepala dusun, lagi-lagi panitia  mendapat kesulitan dan sedikit  bingung,  karena semua tidak ada yang mau menduduki  Kelian Banjar Adat dan Kepala Dusun.  Yang pertama  ditunjuk oleh panitia adalah, Bapak Made Sumarata, beliau dengan tegas menolak.  Alasan beliau karena sudah jenuh jadi administrator, makanya beliau mengundurkan diri dari Angkatan laut katanya.

Yang kedua yang dipilih adalah Bapak  Made Rampug, beliau juga tidak mau, karena alasan tertentu yang disampaikan kepada penulis (atas permintaan beliau alasan itu  tidak ditulis disini). Akhirnya panitia memilih penulis menjadi pilihan ketiga. Tugas ini dengan halus penulis tolak, karena  penulis baru saja diangkat menjadi Tenaga Pengajar di Kopertis, sehingga agak sulit mengatur waktu.

Akhirnya panitia  sepakat menunjuk Bapak I Ketut Berata sebagai Kepala Dusun. Sedangkan Kelian Banjar adatnya ditunjuk Anak Agung Ngurah Ketut Ngurah yang berasal dari Puri Kesiman. Sedangkan Penasehat Banjar atau pengelingsir banjar,   kami angkat  A.A. Mayun yang berasal dari Puri Satria  Denpasar.