SELAYANG
PANDANG
SEJARAH
BANJAR BATUR SARI
TAMPAK DEPAN BANJAR
OLEH
IR. PUTU JANUAR ARDHANA
KEPALA DUSUN BATUR SARI
DESA KESIMAN KERTALANGU
KOTAMADYA DENPASAR
PROVINSI BALI
2012
Selayang Pandang Banjar Batur Sari
Om Awighnamastu Nama Sidem
-----------------------------------------
I.
Pendahuluan
Sejarah terbentuknya Banjar Batur Sari tidak bisa
dilepaskan dari peran Bapak “Made
Rampug”. Kalau tidak karena gagasan beliau mungkin saja Banjar Batur Sari tidak
akan pernah ada seperti sekarang ini. Penulis Ir. Putu Januar Ardhana adalah
merupakan saksi yang tahu persis mulai dari gagasan awal pembentukan sampai
diakuinya banjar Batur Sari sebagai banjar adat
di Desa Kesiman dan Banjar Dinas di lingkungan Desa Kesiman Kertalangu.
Sejarah ini akan penulis mulai dari awal sekali.
Pada suatu pagi, tepatnya pukul 7.30 pagi. Penulis
sedang menyapu di halaman muka, tiba-tiba datang Bapak Made Rampug menghampiri
penulis. Beliau mengutarakan niatnya
untuk membentuk banjar baru di sini.
Alasan beliau untuk membentuk banjar ini sangat
sederhana, karena beliau tidak mebanjar di desa asal beliau. Beliau sendiri berasal dari Banjar Taensiat
Denpasar. Untuk itulah beliau sangat berkeinginan membentuk banjar baru di
sini.
Penulis sendiri sebenarnya baru setahun menempati
rumah penulis di sini, sehingga penulis tidak atau belum mengenal semua
tetangga di sini. Hanya beberapa orang
yang penulis kenal, termasuk Bapak Made Rampug ini. Beliau adalah seorang tukang jahit, yang
rumahnya berhadapan langsung dengan rumah penulis, sehingga hampir setiap saat
penulis bisa ketemu dan bercakap-cakap.
Orangnya sangat keras, bicara seperlunya, semangatnya
menggebu-gebu, berbeda sekali dengan istri beliau yang sangat kalem dan jarang
bicara. Umurnya Bapak Made Rampug kira-kira waktu itu sekitar 50 tahun, dengan
4 orang anak (3 laki-laki dan satu perempuan).
![]() |
Bapak I Made Rampug |
Ketika pertama sekali beliau menyampaikan keinginannya
itu, penulis agak ragu untuk menanggapinya apalagi menerimanya. Keraguan penulis disebabkan karena beberapa alasan,
misalnya jumlah penduduk disini masih sangat sedikit, kira-kira 15 orang.
Kedua, biasanya mereka semua sudah mebanjar adat di masing-masing asalnya. Misalnya sepertti penulis, yang sudah
mebanjar adat di Klungkung.
Tetapi nampaknya, Bapak Made Rampug tidak pernah putus
asa untuk mewujudkan keinginannya membuat banjar ini. Setelah penulis didatangi
berkali-kali oleh Bapak Made Rampug, akhirnya penulis seperti tergerak untuk
memikirkan kembali idea ini. Maka itulah penulis mengkaji dengan hati-hati idea
ini. Setelah agak lama penulis mengkaji idea ini, nampaknya pemikiran Bapak
Made Rampug ini ada benarnya. Terutama
di masa akan datang. Apalagi kasus-kasus adat banyak terjadi terhadap
orang-orang yang jarang pulang kampung karena susuatu dan lain hal.
Maka itu, salah satu jalan pemecahannya adalah menjadi
warga adat disini, apalagi seperti penulis yang sudah mempunyai tanah dan rumah
di sini. Maka itu, ketika sekali lagi beliau menyampaikan keinginan itu,
penulis katakan, penulis sangat berekeinginan untuk membuat banjar di
sini, karena alasan-alasan seperti di atas tadi. Apalagi
desa penulis cukup jauh dari Denpasar sini. Penulis sendiri berasal dari Banjar Banda, Desa
Takmung, Kabupaten Klungkung. Maka itu, sekali lagi penulis katakan sama beliau, penulis sangat
berkeinginan untuk membentuk banjar baru di sini agar dapat mempermudah proses
administrasi.
Maka itu, tawaran
Bapak Made Rampug, untuk membuat banjar segera penulis terima dengan senang hati dan suka
cita.
Nampaknya Idea
pembentukan Banjar ini seperti gayung bersambut, karena tanpa dinyana tawaran
datang dari Bapak Kepala Desa Kesiman Kertalangu, yang ketika itu di jabat oleh
Bapak Wayan Tunas. Beliau mengatakan kepada penulis, sebaiknya di sana
didirikan banjar baru. Alasan beliau, karena dulunya di wilayah Batur sekarang
memang ada banjar di sana. Tetapi karena sesuatu dan lain hal, banjar ini
hilang. Maka itu, beliau selanjutnya
mengatakan, kalau di sana mau dijadikan banjar kembali, beliau meyakinkan
penulis, nantinya pasti akan di bantu oleh pendahulu-pendahulu yang pernah tinggal di Batur yang sekarang
sudah jadi hyang bhatara.
Maka itu, kami merasa besar hati mendengar nasehat dan
pengarahan Bapak Wayan Tunas selaku Kepala Desa waktu itu. Apalagi Bapak Kepala Desa ketika itu
mengatakan, beliau akan memohon kepada pemerintah agar mencabut
jalur hijau di sini. Keyakinan beliau itu berdasarkan adanya satu rumah
tua/kuno yang masih tersisa di sini.
Rumah ini persisnya terletak kira-kira 100 meter dari jalan By Pass I
Gusti Ngurah Rai. Adanya rumah tua ini
menandakan di sini pernah ada banjar katanya.
Terus terang, penulis sendiri belum pernah melihat rumah ini.
Maka itu, akhirnya kami rame-rame melihat rumah itu
dan benar adanya. Rumah ini kelihatannya
seperti rumah-rumah yang ada di Bali pada umumnya. Tetapi yang tersisa adalah sanggah merajan,
dapur dan penunggun karang. Di areal
yang lainnya nampaknya sudah dikontrakkan kepada orang Jawa yang kebanyakan
berprofesi sebagai pemulung. Adapun
pemulung yang pertama mengontrak tanah ini namanya Bapak Tumi.
Sedangkan rumah ini ternyata dihuni oleh seorang
nenek tua yang bernama I Made Sukerti
yang dikelilingi oleh para pengontrak yang semuanya teman-teman dari jawa dan
lombok. Keadaan beliau betul-betul memprihatinkan,
padahal nenek ini adalah sebagai pemilik tanah ini. Luas tanahnya kira-kira 50 are.
Menurut orang-orang yang tinggal disini, nampaknya
nenek ini hampir tidak pernah ada yang menghiraukan. Dari pengamatan penulis, nenek ini
betul-betul berjuang sendiri untuk mempertahankan hidupnya. Menurut para
pengontrak di sini yang rata-rata sebagai pemulung, saudara nenek ini katanya tinggal di Desa
sebelah, tepatnya di banjar Kebon Kori.
![]() |
Kantor Kepala Desa
Kesiman Kertalangu
|
Setelah mendapat dorongan dari Bapak Kepala Desa,
langkah pertama yang penulis lakukan dalam rangka mewujudkan berdirinya banjar ini
adalah, membentuk panitia kecil. Tugas
pertama panitia kecil ini adalah mencari orang-orang yang akan diajak untuk mendirikan banjar. Sebab setahu penulis, orang-orang yang lebih
dahulu tinggal disini, nampaknya semuanya sudah mebanjar di tempat lain. Ada yang mebanjar di Banjar Kesambi, ada yang
mebanjar di Banjar Kertapura, ada yang membanjar di Banjar Kertalangu.
Maka itu, penulis,
sebenarnya agak ragu ketika akan memulai langkah ini. Tetapi karena
kuatnya desakan Bapak Made Rampug dan Bapak Tunas Sebagai Kepala Desa, maka
penulis putuskan untuk melangkah, apapun resikonya akan penulis terima dengan
senang hati.
Yang pertama kami hubungi adalah Bapak Ketut Beratha.
Kenapa beliau kami hubungi pertama?, karena nama beliaulah yang pertama kami
kenal disini. Tetapi sayang beliau tidak mau, karena beliau mengatakan beliau
sudah mebanjar, di banjar Kertapura.
Orang kedua yang kami hubungi adalah Anak Agung
Mudita, yang tinggal di timur pangkung banjar Kesambi. Kenapa juga beliau kami
hubungi, karena kami tahu beliau adalah orang asli dari Kesiman, yaitu dari Puri Kedaton.
Penulis juga mendengar dari warga di sini, beliaulah
yang memperlebar jalan ini, yang dulunya hanya selebar 3 meter. Bahkan beliau
sempat memberi nama jalan ini, dengan
nama jalan matahari.
Beliaupun juga tidak mau ikut bergabung. Karena Beliau
mengatakan sudah mebanjar di banjar Kedaton, bahkan beliau mengatakan tempat
tinggal beliau di sini hanya sementara.
Orang ketiga
yang penulis hubungi adalah Bapak I Made Sumerata, ternyata beliau sangat
antosias memberi dukungan. Bapak Made Sumerata ini sering kami panggil “Bapak Made Beleleng”, karena beliau berasal
dari Buleleng. Selanjutnya Anak Agung Raka, setelah itu baru yang lain-lainnya.
Tetapi seperti yang penulis katakan di muka, sebagian besar mereka sudah
mebanjar di tempat lain. Maka itu, untuk sementara rencana ini tidak bisa kami
lanjutkan, karena salah satu syarat-syarat untuk terbentuknya sebuah banjar
belum terpenuhi. Yaitu jumlah anggota minimal sebagai pendukung terbentuknya
sebuah banjar.
![]() |
Bapak I Made Sumerata
|
Adapun syarat-syarat untuk terbentuknya sebuah banjar adalah,
seperti dikatakan Bapak Kepala Desa Kesiman Kertalangu, ketika Kami menghadap
beliau. Untuk dapat terbentuknya sebuah
banjar ada 3 hal yang harus ada, yaitu,
jumlah warga minimal 40 kepala keluarga, mempunyai tanah balai banjar dan
bangunan balai banjar, dan mempunyai awig-awig banjar.
Syarat kedua dan ketiga dengan cepat bisa terpenuhi.
Untuk tanah balai banjar panitia
meminjam tanah kepunyaan Dr. Leimena. Yang ada di sebelah utara balai banjar
sekarang. Luasnya kurang lebih 10 Ara.
Sedangkan awig-awig, segera bisa
dibuat oleh panitia kecil. Tetapi untuk syarat yang pertama ini yang tidak
bisa dipenuhi segera, karena yang
menyatakan dukungannya waktu itu hanya sekitar 17 orang. Maka itu, untuk sementara proses pembentukan
banjar ini terpaksa ditunda untuk sementara, sambil mencari dukungan dari
teman-teman yang lain.
Dalam kebingungan panitia, ternyata teman-teman yang
sudah mebanjar di tempat lain, dengan berbagai alasan mengatakan akan bergabung
di sini. Bahkan Bapak I Ketut Berata, mengatakan beliau sudah mengundurkan diri
di Banjar Kertapura. Begitu juga Bapak
Wayan Korma dan Bapak Wayan Sukra juga mengatakan sudah mengundurkan diri di
banjar Kesambi.
Dengan bergabungnya teman-teman ini, panitia seperti mendapatkan berkah dari atas.
Dengan masuknya Bapak Ketut Berata dalam panitia kecil ini, panitia kecil ini seperti mendapat
semangat baru.
Langkah
selanjutnya, segera mengumpulkan
anggota, tetapi tetap saja kekurangan, karena teman-teman ini hanya berjumlah
27 orang. Tetapi Bapak Ketut Berata ternyata mempunyai siasat lain waktu itu,
yaitu dengan memasukkan teman-teman yang mempunyai tanah walaupun belum berisi
rumah, juga memasukkan teman-teman yang berstatus mengontrak tanah sebagai anggota banjar, seperti
misalnya Bapak Wayan Sendra (Pak Ubud).
Maka itu, barulah akhirnya anggota ini berjumlah 54 orang.
Dari pengamatan penulis, dari 54 orang itu, semua
wangsa sudah ada disini, yaitu Warga Pasek, Warga Pande, Warga Arya/Satria,
Warga Bujangga, Warga Satria Dalem, Ini
perlu penulis katakan karena memang begitu kenyataannya. Bahkan belakangan
turut bergabung Ida Bagus Abian dari geria Sanur.