Rabu, 28 Maret 2001

Sejarah Pura Suralaya

SEKILAS PANDANG

TENTANG PURA SURALAYA

                               BANJAR BANDA

 
BAB   I
PENDAHULUAN

 Om, Awighnemastu Nama Sidem

A.  Selayang Pandang Tentang Pura Suralaya

Para pembaca yang penulis hormati, sebelum penulis menghaturkan segala sesuatu tentang Pura Suralaya ini ini, ijinkanlah penulis  menghaturkan  sembah sujud kehadapan Ida Sanghyang Aji Saraswati dan Bhatara Bhatari yang melinggih di Pura Suralaya ini. Mudah-mudahan Beliau Asung Kertha Wara Nugraha kepada penulis serta para damuh-damuh beliau yang ingin mengetahui lebih jauh tentang Pura Suralaya. Khususnya tentang Sejarah Pura, Fungsi Pelinggih dan Pula-Pali yang berlaku pada setiap Odalan, Rerainan (dina/tegak odalan setiap bulannya), Purnama, Tilem,  Kajang Kliwon atau pada setiap harinya.

Seperti diketahui sampai sekarang, pedoman baku tentang pura   yang ada di Bali betul-betul sangat minim, terutama tentang fungsi pelinggih dan pula pali yang dilaksanakan setiap odalan atau pada hari hari penting agama hindu.



1

Sehingga didalam setiap pelaksanaannya selalu memakai pedoman mule keto atau apa yang mereka tahu, sehingga pelaksanaannya menjadi tidak jelas dan berbeda setiap saat. Disamping itu, masalah nama pelinggih atau apa fungsinya serta siapa yang berstana di sana, tentulah tidak semua orang mengetahui. Hal ini karena minimnya bacaan tentang itu.

Maka itu, penulis merasa tergerak untuk menulis tentang keberadaan Pura Suralaya, walaupun sumber-sumber tentang Pura Suralaya sangatlah minim, apalagi pengetahuan penulis tentang pura ini juga sangatlah terbatas. Tetapi berdasarkan keyakinan, Ida Bhatara Lelangit dan Ida Bhatara yang melinggih di Pura Suralaya ini, pastilah akan memberikan restu dan tuntunannya, maka dengan besar hati penulis memberanikan diri untuk menulisnya. Apalagi sekarang sudah banyak diterbitkan buku-buku tentang Agama Hindu, khusunya mengenai Agama Hindu di Bali, yang dapat penulis pakai pedoman dan tuntunan.

Sekali lagi penulis memohon,  dimana penulis yang kebetulan merupakan pretisentana Sira Arya Gajah Para yang lahir di Banjar ini, dengan penuh rasa sujud bakti mohon ampun kehadapan Bhatara Bhatari yang melinggih ring Pura Suralaya.  Karena Damuh Bhatara Bhatari, berani menulis dan menyebut-nyebut nama Bhatara-Bhatari.




2

Tetapi tujuan penulis tiada lain hanya ingin berbakti, agar para damuh Bhatara Bhatari lebih mengenal tentan Pura Suralaya. Semoga setelah mereka mengenal lebih dekat tentang Pura ini, para Damuh Beliau di masa-masa mendatang akan lebih sujud dan berbakti lagi.


B. Selayang Pandang Tentang Banjar Banda

Adapun Pura Suralaya yang penulis jadikan obyek penulisan adalah Merupakan pura kebanggaan dari masyarakat di sini. Seperti diketahui, masyarakat banjar Banda ini merupakan masyarakat yang terdiri dari beragam wangsa. Karena dari pengamatan Penulis Sanggah Kawitan yang ada di Banjar Banda ini cukup beragam. Misalnya disini ada Pemerajan/Sanggah Kawitan Sangging, Pemerajan/Sanggah Kawitan Pulasari, Pemerajan/Sanggah Kawitan Mpu Haji, Pemerajan/Sanggah Kawitan Pasek, Pemerajan/Sanggah Kawitan Arya Gajah Para, Sanggah/Pemerajan Kawitan Arya Kepakisan. Sanggah/Pemerajan ini besarnya juga beraneka ragam dari Tri Lingga, Panca Lingga, Sapta Lingga sampai Ekadasa Pepeking Dewata, semua ada di Banjar Banda ini.

Banjar Banda merupakan Banjar yang cukup Indah dan Tenang dengan letak yang memanjang dari Utara ke Selatan.  Banjar Banda merupakan salah satu Banjar yang ada di Desa Dinas Takmung. Sedangkan Desa Dinas Takmung terdiri dari beberapa banjar seperti misalnya, Banjar Takmung Kangin, Banjar Takmung Kawan, Banjar Banda, Banjar Sidayu Kangin, Banjar Sidayu Kawan, Banjar Lepang, Banjar Umesalakan dan Banjar Losan, yang terbagi menjadi  5 Desa Adat, yaitu Desa Adat Takmung, Desa Adat Lepang, Desa Adat Umasalakan,


4


Desa Adat Sidayu Kawan dan Desa Adat Sidayu Kangin. Desa Adat Takmung terdiri dari Banjar Takmung Kangin dan Kawan, Banjar Losan dan Banjar Banda.

Sebagai konsekwensinya sebagai anggota Desa Adat, maka Banjar Banda ini juga sebagai pengempon Pura Puseh, Pura Dalem dan Pura Bale Agung atau Pura Kahyangan Tiga. Tetapi di Banjar Banda  sendiri seperti penulis kemukakan dimuka, disini juga ada sebuah Pura yang sangat dibanggakan oleh Warganya yaitu Pura Suralaya

Tetapi bagaimana proses dan kapan berdirinya pura ini, tidak satupun bukti tertulis yang dapat penulis temukan. Penulis bahkan sudah menelusuri sejarah ini sampai keberbagai tempat, yang penulis duga ada kaitan dengan banjar ini. Misalnya ke banjar Tihingan, Lepang, Sari Merta Koripan, bahkan sampai ke Dinas Kebudayaan Propinsi Bali.  Tetapi hasilnya nihil. Hanya berupa mitos yang berkembang dimasyarakat, itupun ada beberapa versi.  Tetapi sebagai pedoman sementara penulis mengambil satu versi saja.

Kisah ini sebenarnya dimulai ketika Dalem Klungkung melakukan inspeksi terhadap pasukan beliau yang di tempatkan di perbatasan kerajaan Klungkung dan kerajaan Gianyar.  Nampaknya beliau kemalaman di tempat ini. 


5


Akhirnya beliau memutuskan untuk bermalam di tempat ini. Setelah beliau kembali ke Klungkung, oleh masyarakat desa, di tempat ini didirikan sebuah pura.  Tujuannya tiada lain untuk mengenang, bahwa ditempat ini,  Dalem Klungkung pernah bermalam.

Masalahnya sekarang, kenapa pura ini dinamakan Pura Suralaya? Seperti di Ketahui, Suralaya ini adalah negaranya Bhatara Indra yang sering disebut Indra Loka atau Sorga Loka. Sedangkan Purinya/Istananya bernama ”Puri Kendran”.   Maka itu penulis menduga, Dalem Klungkung ketika itu dianggap Titisan Bhatara Indra yang turun ke dunia.  Maka itulah tempat ini dinamakan Pura Suralaya, yaitu Pura Tempatnya Bhatara Indra yang ada di Dunia.

Hal ini juga diperkuat, dengan ornamen-ornamen  yang ada di Pura ini, hampir seluruhnya menceritakan tentang kebesaran Bhatara Indra.  Misalnya yang ada  di belakang bangunan piasan (sekarang dijadikan aling-aling). Di sana dipahatkan  tentang kisah Arjuna Wiwaha.  Seperti kita ketahui, dalam kisah Arjuna Wiwaha, yang dimulai karena Bhatara Indra sedang kena bencana dan berakhir dengan terbunuhnya Niwatakawaca oleh Arjuna.

Berdasarkan hal tersebut di atas, Pura Suralaya sekarang ini pun diyakini oleh seluruh Anggota Banjar Banda merupakan tempat Bersemayamnya Bhatara Indra.


6

Sebagai peringatan, tonggak berdirinya pura Suralaya ini, terus diperingati sampai sekarang, yaitu Anggar Kasih Medangsia dalam bentuk Piodalan. Piodalan di Pura Suralaya ini berlangsung selama 3 hari, atau nyejer selama 3 hari. 

Sedangkan Kisah dan Sejarah, bagaimana terbentuknya Banjar Banda ini juga masih banyak versi. Sebab sampai saat sekarang, penulis belum menemukan bukti otentik, baik berupa tulisan maupun bukti-bukti lain, tetapi hanya berupa cerita dari beberapa orang tua, itupun beragam adanya. Salah satu dari cerita itu adalah sebagi berikut,

Ketika Raja Klungkung mengadakan penyerangan keberbagai tempat yang ada di barat sungai Bubuh, maka diperintahkanlah prajurit beliau yang berkedudukan di Banjar Ambengan, Batu Tabih, Desa Takmung untuk berangkat.

Ekspedisi ini dimulai dari Pantai Lepang ke barat sampai Pantai Kesiut, dari sana lalu menuju uttara sampai di Tulikup. Dari Tulikup ke timur sampai di sebuah hutan kecil yang sekarang menjadi Banjar Banda ini. Didalam perjalanannya itu, balayuda ini juga membawa oleh-oleh yang diwariskan sampai sekarang yaitu berupa ”Lesung Batu”. Bagi keluarga yang mempunyai Lesung Batu, itu pertanda pengelingsirnya ikut dalam rombongan itu.



7

Setelah lama bermukim disini, Raja Klungkung akhirnya memakai warga ini sebagai ”Tabeng Dada” kerajaan tepi barat.

Pada suatu kesempatan, Raja Klungkung mengadakan kunjungan kesini, semacam inspeksi pasukan. Ketika tiba, beliau dilinggihkan disebuah tempat.  Tempat itu dikemudian hari dibangun sebuah pura. Pura inilah kemudian diberi nama Pura Suralaya. Sekarang masalahnya kenapa banjar ini diberi nama Banda dan kenapa puranya disebut Pura Suralaya. Banda mungkin saja terinspirasi dari ”Jembatan Situbanda” yang dibuat oleh Prabhu Ayodia,  Rama Dewa ketika menyerang Prabhu Alengka Pura, Rahwana. Raja Klungkung mungkin menegaskan dan memesankan  agar Masyarakat yang berdiam disini mempunyai semangat untuk mempertahankan daerahnya seperti Prabhu Rama Dewa ketika membuat jembatan Situbanda itu.

Sedangkan Suralaya adalah merupakan negara dari Dewa Indra. Ketika Raja Klungkung mengadakan lawatan ke sini, beliau bertindak sebagai panglima perang. Kita tahu Dewa Indra adalah dewa perang atau panglima para dewata. Maka itulah tempat peristirahatan belia disini, dinakakan Pura Suralaya.





8


Penulis juga sempat berbincang dengan beberapa ahli kata. Kata Sura Laya mengandung arti yang syarat makna. Suralaya itu, artinya pertahankanlah daerah ini sampai titik darah penghabisan walaupun taruhannya mati. Apabila kamu mati karena mempertahankan daerahmu, kamu akan disebut ”Satria Mahottama”. Inilah yang sekarang disebut dengan istilah ”Puputan”.

Tetapi secara mengejutkan, penulis mendapatkan sebuah salinan rontal dari gria Takmung, yang secara jelas memuat tentang berdirinya sejarah banda ini, termasuk sejarah Pura Suralaya ini.

Adapun naskah lenghkapnya adalah sbb,
“Paman menawe hane kari anak anaking Kyayi Bendul sisaning pejah kararudang ke Badung”, ike kanikayang sire angalih antuk Dalem, I Pandé anawur wacanan Déwagung, sahe  sembah mepamit ke Badung amendak I Gusti Badung, pinake pamacek jagat Tihingan.  I Gusti Pucangan angicén, aris te sire I Gusti Badung jenek ring Tihingan.  Swé te sire ring Tihingan, rumase embang désané kiléning Takmung, raris te sire angalih maring kuloning Takmung pinake pangukuh gelaring Semarepure.  Kicén wadwe olih paman sire I Gusti Kubakal wanging Banjar Ambengan Takmung 30 diri, wekasan mearan Dése Bande, mapan binande sini déning lawan tmes tekaning mangkin, sampun  aswé sire jenek ring  Bande anangun sire parhyangan inaranan Sure Laye.

9

Sure ngaran Wani, puruse.  Laye ngaran prelaye.  Muwah amangun pamerajan linggih dané I Gusti Badung sisi lor Pure Surelaye, ring wétanye Carik Subak Penasan, kidul mewates Pure Dalem Umesalakan, sisi kulon Toye Tukad Bangke”

Maka itu, penulis menyerahkan kepada pembaca untuk menyimak, yang mana yang benar.  Apakah mitosnya atau turunan rontalnya.

Ketika penulis menulis tulisan ini, jumlah penduduk banjar Banda adalah kurang lebih 125 kepala keluarga, termasuk warga banda yang ada di rantauan. Sedangkan mata pencaharian masyarakatnya sebagian besar adalah di bidang pertukangan, sehingga darah seni sebenarnya sudah mengalir dalam diri mereka semenjak lama.

Maka itu tidak mengherankan kalau dari banjar ini lahir seorang Maestro Seni yang sudah sangat terkenal ke manca negara yaitu seorang pelukis yang bernama I Nyoman Gunarsa. Sebagai rasa bangga terhadap banjarnya ini, maka beliau mendirikan sebuah museum seni. Bahkan museum ini, sekarang menjadi semacam Identitas kota Klungkung, khusunya bagi Banjar Banda.          






10

Banjar Banda ini tepatnya terletak 4 Km di barat kota Klungkung, yang dibatasi oleh, batas-batas geografis.   Sebelah Utara adalah banjar Penasan (Desa Tihingan), Di Bagian Barat adalah sungai Kerincing atau sering disebut tukad Bangka (tukad mati), Di Selatan  desa adat Umasalakan dan Sebelah Timur adalah banjar Takmung.

Menurut carita para tetua dan sesepuh banjar Banda, dulunya banjar Banda ini menjadi bagian dari banjar Takmung. Tetapi karena sesuatu hal, maka pada tahun 1940 an, banjar Banda menjadi banjar tersendiri. Sedangkan dari turunan rontal gria takmung juga sangat jelas dikatakan, seperti itu.  Adapun naskah lengkapanya adalah sbb,

Ring tahun maséhi 1942, hane wicare Takmung kelawan Bande mawit saking upacare Pitre Yadnye.  Wanging Bande asétre ring Takmung sinanggeh madoh angawe rompok ring Takmung.  Mahyun te sire angawé rompok nyisi Dese Bande sakte amawe tawulan angeliweri kahyangan dése.  Tan wéhane mapan tan wenang malih amawe tawulan maring dése pekraman, mawit saking ike sawus amitre yadnye, Bande tan malih asétre ring Takmung sahe angawé sétre ature I Mergig (?), mangkane predatanye nguni”.




11

Pada Tahun 1980 an anggota banjar Banda berkisar antara 70 sampai 75 Kepala Keluarga. Sedangkan saat ini (tahun 2012) jumlah anggota banjar Banda ini sudah mencapai kira-kira 125 Kepala Keluarga.

Pada tahun 2009 banjar banda secara defakto memekarkan diri menjadi Desa Adat tersendiri, tetapi sampai buku ini kami tulis, masalahnya belum selesai.  Artinya belum dapat pengakuan resmi dari yang berwenang.
Kerja Bakti

      Selayang Pandang Pura Kahyangan Tiga Suralaya

Rencana pemekaran atau pengembangan banjar banda menjadi desa adat banda memang sudah mengerucut.  Ini artinya masyarakat banjar banda akan membuat pura kahyangan tiga tersendiri dan memisahkan diri dari desa adat Takmung.  
Bapak Nyoman Arka
Kelian Banjar Adat Banjar Banda

Keinginan untuk menjadi desa adat tersendiri  memang sudah ada semenjak lama. Tetapi rencana ini lama terpendam karena sesuatu dan lain hal.  Nampaknya rencana menjadi desa adat tersendiri dicetuskan kembali oleh Bapak I Nyoman Gunarsa. Bahkan beliau menjanjikan, seluruh pembangunan pura dan pembuatan tapakan barong akan di tanggung oleh beliau.

13

Nampaknya tawaran Bapak I Nyoman Gunarsa seperti gayung bersambut. Karena tanpa berpikir terlalu lama, masyarakat banjar banda secara aklamasi menyetujui ajakan Bapak Nyoman Gunarsa ini. 
Add caption
Para Istri-Istri
Persiapan Ngaturang Pecaruan


Ida Ratu Pranda Saking Gria Takmung
Sedang Mamuja Ida Sanghyang Widhi Wasa

Maka itu tindakan pertama yang dilakukan oleh pemuka masyarakat adalah berkonsultasi ke beberapa tempat yang dianggap berkompeten, misalnya ke gria-gria yang ada di lingkungan desa Takmung. Bahkan kebeberapa gria yang ada di sekitar desa Takmung.  Nampaknya semua konsultasi yang dilakukan tidak ada yang memuaskan. Maka itu konsultasi terakhir dilakukan ke Gria Aan.  Nah disinilah akhirnya panitia mendapat kesimpulan, bahwa pura kahyangan tiga bisa dibuat dalam satu areal.  Bahkan ketika hasil konsultasi ini disampaikan, seluruh lapisan masyarakat mendukung, bahwa pura kahyangan tiga ini akan di dirikan di dalam areal pura Suralaya, dengan mengatur beberapa pelinggih yang telah ada. 
Add caption

Warga Banjar Banda Bergotong Royong
Ngasahang Tanah


Bahkan Ida Pedanda Aan, telah memberikan lokasinya.  Pura Dalem di timur menghadap ke barat, pura Puseh di utara menghadap ke selatan dan pura Bale Agung di barat menghadap ke selatan.  Nampaknya rencana ini mendapat tantangan oleh Ida Bagus Suryadarma dari Gria Batutabih.  Bahkan ketika beliau kita undang berdialog di pura suralaya, secara terang-terangan beliau tidak setuju dengan rencana masyarakat banda yaitu mejadi desa adat sendiri.  Sehingga waktu itu terjadi perdebatan yang cukup sengit.  Dari banjar Banda diwakili oleh Bapak I Ketut Arsa Wijaya dan Pemangku Nyoman Suwitra.  Bahkan sampai akhir dialog, beliau tetap tidak setuju.  Maka itu, masyarakat Banda yang dimotori oleh Bapak Nyoman Gunarsa berketetapan pada pendiriaannya, jalan terus, apapun resikonya.





Bapak Kadus
Sedang Mundut Pedagingan
Tindakan pertama yang harus dibuat adalah pura Kahyangan Tiga, meliputi pura Puseh, pura Dalem dan pura Desa yang lazim disebut pura Bale Agung. 


Sesuai dengan saran Ida Pedanda Gria Aan, bahwa ketiga pura tersebut semuanya akan dibuat di dalam areal pura Suralaya.  Bahkan nyukat karangnya dilakukan sendiri oleh Pedanda Aan. Pura Dalem akan dibuat berupa gedong, di timur menghadap kebarat, pura Puseh, dibuat berbentuk meru tumpang 5 di utara menghadap keselatan, dan pura Bale Agung di buat paling barat menghadap keselatan. 
Tetapi ketika diadakan pengukuran, nampaknya ada beberapa pelinggih yang harus digeser, misalnya balai piasan, dan balai pegongan.  Disamping itu, nampaknya tanah atau areal pura ini agak sempit, bahkan bentuknya seperti trapesium. 

Maka itu secara sepontan, lagi-lagi Bapak Nyoman Gunarsa menyumbangkan tanahnya yang ada disebelah barat pura untuk dipakai sebagai perluasan pura. Bahkan tanahnya paling pojok kelod kauh disumbangkan untuk pembangunan kamar kecil.  Maka itu setelah mendapat sumbangan tanah barulah tembok lama di bongkar dan bentuknya seperti sekarang.
Karena ada rencana untuk membuat Barong dan Rangda, maka diputuskan untuk memakai kayu pule yang pernah hidup di pura Prajapati.

Adapun sejarah pohon pule ini adalah sebagai berikut, Di pojok kelod kawuh pura Prajapati tumbuh pohon pule yang sangat besar, bertumpang 5 (lima).

Tetapi pada tahun 2000 ada keinginan masyarakat untuk membuat bale pegongan maka mau tidak mau pohon pule ini harus ditebang.
Add caption
Bapak Nyoman Gunarsa
Sedang Memberikan Petunjuk


Ada beberapa masyarakat yang kurang setuju menebang pohon pule ini, termasuk Bapak Nyoman Gunarsa. Tetapi karena sebagian besar warga berkeinginan membuat bale pegongan maka pohon pule ini diputuskan harus ditebang. Kayunya sebagian besar diambil oleh Bapak Nyoman Gunarsa Sekarang berhubung akan membuat tapakan barong dan rangda,  kayu yang diambil oleh Bapak Nyoman Gunarsa inilah yang akan dipakai. Setelah dicari kerumahnya bapak Nyoman Gunarsa ternyata sebagian besar kayunya hampir rusak (berek) setelah dipilih ada 6 keleng yang masih Bagus. Lalu dibawa ke Suralaya. 




20

Tanggal 7 September 2006, Redite Medangsia kayu ini kembali dihaturkan ke prajapati, dan akan dipendak pada saat penyineban odalan di pura Suralaya yaitu tanggal 12 September 2006, sukra pon medangsia.

Tetapi atas anjuran jero Pemangku Nyoman Suwitra akhirnya diputuskan akan dipendak tanggal 14 September 2006.

Pada Pukul 14.00 Wita, Pada tanggal 14 September 2006, redite pujut, purnama katiga, kajang kliwon  pujut, Dilakukan mendak kayu pule di pura Prajapati. Setelah mengadakan persembahyangan, kayu dipundut ke pura Suralaya.



Potongan Kayu Pole Yang
Akan Dipakai Petapakan
Adapun Yang Mundut (nyuwun) kayu itu adalah Kadek Angga Hendraningrat, Gede Anjas Permana, Wayan Suamba, Wayan Sudira, Wayan Mudana  (Celek), Komang Sweta (Cetu), sedangkan yang negen (karena kayunya besar dan berat) oleh Putu Januar Ardhana, Wayan Dastra, Made Redana dan Made Wista.

Iring-iringan ini juga  diiringi oleh seke bale ganjur dan seluruh warga masyarakat banjar Banda. 


Setelah tiba di pura Suralaya, kayu ini lalu dipendak di depan Pura. Setelah mendapat sesajen lalu di linggihang di balai piasan.

Masyarakat lalu mesanekan sebentar sambil menunggu Ida Dalem Klungkung yang rencananya akan Napak (selaku Brahmana) serta Cokorda Raka Tisnu yang akan membuat Barong dan Rangda (sebagai Sangging).

Tepat Pukul 15.30 yang datang ternyata bukan Ida Dalem Puri Klungkung tetapi Cokorda Alit dari Puri Klungkung.




25

Masyarakat agak kecewa, karena masyarakat berharap yang napak adalah Brahmana bukan welaka. Setelah dikonfirmasi kepada yang menjadi kelian banjar adat Banda, ternyata waktu mengundang Ida Dalem, yang sebagai utusan ternyata tidak tahu siapa itu Ida Dalem dan dimana tempatnya. Para utusan lalu bertanya dimuka Puri Klungkung, pada saat itu kebetulan ada seorang wanita setengah baya lewat disana. Atas petunjuk wanita itu, diajaklah ke tempat Cokorda Alit ini, bukan ke tempat Ida Dalem. Maka itulah yang datang bukan Ida Dalem.


Karena sudah terlanjur, maka masyarakat dapat memakluminya.

Setelah agak lama menunggu, akhirnya Cokorda Raka Tisnu baru datang pukul 18,05 Wita, langsung menuju jerowan. Setelah mesanekan sebentar lalu beliau berdua diberi petunjuk oleh Bapak Nyoman Gunarsa tentang bentuk barong dan Rangda yang akan dibuat.
Add caption

Para Kelian Banjar  Memberikan Petunjuk
Ketika Akan Menanam Pedagingan

Yang sangat ditekankan oleh Bapak Nyoman Gunarsa sebagai yang mempunyai Idea serta sebagai sponsor tunggal untuk pembuatan Barong dan Rangda ini. Beliau menginginkan Rangda (ratu janda) bukan benaru (raksasa).


Bapak Nyoman Gunarsa dan Bapak Nyoman Arka
Nyambrama Cokorde Raka Tisnu dan Cokorda Alit

Rangda menurut beliau berciri khas  cantik, cinging, serta calingnya pendek dan lanying. Sedangkan benaru mukanya seram dan calingnya panjang dan melengkung.

Setelah Cokorda Raka Tisnu mengerti bentuk tapakan yang diinginkan oleh Bapak Nyoman Gunarsa, beliau lalu pergi kepiasan melihat kayu yang akan dipakai. Cokorda Raka Tisnu lalu ngantebang banten pejati. Akhirnya dipilihlah 1 kayu untuk tapakan barong dan 1 kayu untuk tapakan rangda dan 1 kayu untuk tapakan rarung. Sisanya untuk celuluk, lenda-lendi dan yang lainnya. 
Yang pertama dibakalin adalah tapakan barong dibantu oleh Wayan Sudira sebagai tukang gergaji dan beberapa orang sebagai tukang pegang kayu. Setelah selesai barulah ditapak oleh Cokorda Alit.

Tetapi tapakan rangda dan tapakan rarung tidak ditapak waktu itu. Kayu untuk tapakan rangda dan tapakan rarung  hanya disibak. Setelah ini semua kayu dibawa ke Singapadu ke rumahnya Cokorda Raka Tisnu


29

Selama proses pembuatan tapakan ini, menurut Ida Cokorde Raka Tisnu, hampir setiap hari Bapak Nyoman Gunarsa menyempatkan diri untuk menengoknya.

Bahkan  dalam setiap kesempatan datang, Bapak Nyoman Gunarsa selalu memberikan petunjuk kepada Ida Caokorde Raka Tisnu, bahwa tapelnya kurang ini kurang itu.

Tanggal 1 oktober, penulis  berkesempatan melihat tapakan ini di Singa Padu dan mengambil beberapa gambarnya.